Edensor



Saya paham konsep bahwa buku tidak seharusnya menjadi barang sekali baca yang setelah selesai tak perlu disentuh lagi. Tapi saya tidak menyangka kalau suatu keadaan bisa membuat kita ingin sekali membaca kembali sesuatu yang dulu pernah dibaca, merasakan emotional exercise-nya, dan menyusuri jalan yang pernah dialami dulu waktu pertama kali membacanya. 

     Bus merayap, aku makin dekat dengan desa yang dipagari tumpukan batu bulat berwarna hitam. Aku bergetar menyaksikan nun di bawah sana, rumah-rumah penduduk berselang-seling di antara jerejak anggur yang telantar dan jalan setapak yang berkelok-kelok. Aku terpana dilanda deja vu melihat hamparan desa yang menawan. Aku merasa kenal dengan gerbang desa berukir ayam jantan itu, dengan pohon-pohon willow di pekarangan itu, dengan bangku-bangku batu itu, dengan jajaran bunga daffodil dan astuaria di pagar peternakan itu. Aku seakan menembus lorong waktu dan terlempar ke sebuah negeri khayalanku yang telah lama hidup dalam kalbuku.
     Aku bergegas meminta sopir berhenti dan menghambur keluar. Ribuan fragmen ingatan akan keindahan tempat ini selama belasan tahun tiba-tiba tersintesa persis di depan mataku, indah tak terperi.
     Kepada seorang ibu yang lewat aku bertanya, "Ibu, dapatkah memberi tahuku nama tempat ini?"
     Ia menatapku lembut, lalu menjawab
     "Sure lof, it's Edensor ...."

Di atas adalah rangkaian paragraf yang menutup buku Edensor karya Andrea Hirata. Buat saya ini adalah paragraf paling memorable dari semua tulisan yang pernah saya baca. "Sure lof, it's Edensor"-nya itu tidak saya lupa sejak baca ini waktu SMA. Kalau baca bukunya pasti tahu bahwa bagian ini semacam callback, dan membacanya menggetarkan karena dieksekusi dengan sangat brilian. Edensor ini sekaligus adalah buku pertama yang saya baca habis secara suka rela bukan karena tuntutan pelajaran Bahasa Indonesia. Kini saya sangat ingin membaca itu lagi setelah tahu bahwa Desa Edensor ini benar-benar ada, dan mungkin, dalam jangkauan (aamiin).


Masalahnya tidak ada buku itu di sini, paling mentok adanya Laskar Pelangi versi terjemahan. Saya sudah coba cari di toko buku fisik maupun online dan tak menemukannya, ebook pun nihil. Satu-satunya cara mendapatkan buku ini adalah beli di Indonesia lalu jastip ke sini, itu cara tercepat dan termurah yang mungkin dilakukan. Akhirnya saya menemukan buku original bekas di Tokopedia. Saya lebih milih buku ori second daripada bajakan (enyahlah buku bajakan!) meskipun harganya lebih mahal. Yes, tampaknya buku ini sudah hampir menjadi collectible items dan harganya makin tergoreng.

Ongkos jastip tidak beda antara saya beli hanya Edensor saja atau sekalian empat-empatnya, akhirnya saya putuskan beli semuanya. Buku-buku ini cetakan awal 2007-2008 sehingga kertasnya sudah agak menguning karena faktor usia, tapi I'm happy with that. Shoutout untuk toko yang menjual buku-buku ini, pelayanannya satset, packing rapi dan aman, dan yang paling penting jujur bahwa bukunya ori, bahkan pembatas bukunya sebagian masih ada. Buku ori walaupun sudah lawas tapi kertasnya nyaman dipegang, hurufnya enak dibaca, dan bau nostalgia. Ini tokonya: Link Tokopedia

                                  Tetralogi

Menulis ini mengingatkan saya kalau orang yang open jastip kemarin belum ngasih tikkie sampai sekarang, nanti saya akan tanya.

Jadi saya membuka 2025 dengan menyelami kembali tetralogi Laskar Pelangi. Apakah saya akan buat review-nya, belum tahu. Lagipula saya rasa semua orang sudah tahu Laskar Pelangi, dan orang yang memang mau baca buku-buku ini kemungkinan sudah membacanya dulu sekali. Doakan saya bisa merawat mereka ini agar umurnya panjang, karena pelajaran yang saya dapat adalah bahwa buku yang kita hendaki belum tentu masih dicetak lagi.

Thanks,
Chandra



Tweedehands



Di tengah gempuran barang-barang Temu dari Tiongkok,  orang-orang sini tampaknya masih lebih loyal dan percaya pada marketplace lokal Bol.com atau kalau mau lebih global Amazon. Bol.com dan Temu ini analoginya kalau di Indonesia seperti Tokopedia dan Shopee, hanya saja lebih ekstrem lagi. Untuk pernak-pernik, aksesoris, dan fast fashion memang produk made in China/Asia Selatan/Asia Tenggara masuk, tapi untuk barang-barang lanang merk lokal tampaknya masih menang. 

Produk-produk Philips harganya bisa 10 kali lipat lebih mahal daripada kompatriotnya dari China. Tapi produk mereka juga yang paling dicari ketika orang masuk toko elektronik di Belanda. Mahal memang, tapi kualitas dan dirabilitasnya luar biasa. Seorang teman punya pemutar vynil merk Philips yang diproduksi tahun 70an dan sampai sekarang masih berfungsi baik, gokil. Karena itu merk Philips kemudian juga jadi simbol status sosial, walaupun di Belanda masyarakatnya tidak terlalu mementingkan status dan pandangan orang. Babe-babe beli lampu Philips ya karena nggak mau repot bolak-balik ganti lampu, pasang sekali nanti gantinya bisa 20 tahun lagi.

         Klaim Philips soal ketahanan lampunya

Sepeda sebagai moda transportasi favorit orang Belanda juga sama, ada segmentasi merk Belanda dan merk luar. Sepeda buatan Belanda didesain untuk bisa dipakai sampai belasan hingga puluhan tahun. Bahkan seseorang di Reddit bilang 'If you get a Gazelle it will probably last forever' wkwk. Karena durability-nya ini, pasar sepeda bekas jadi sangat besar di Belanda, apalagi harga bekas jauh lebih terjangkau daripada harga barunya. Banyak bengkel dan toko sepeda baru/bekas tersebar di berbagai kota. Pemilik personal pun banyak yang bertransaksi via Marktplaats, sebuah platform jual beli barang bekas seperti Olx. Saya salah satunya, saya sudah beli Gazelle seken di Marktplaats untuk saya dan istri. Kesimpulan saya pas sudah nyoba Gazelle ternyata beneran kokoh dan halus. Nggak heran kalau dulu mbah-mbah dan pakde-pakde middle-upper class di Indonesia suka ngoleksi sepeda merk ini. 

Sepeda kami, hasil berburu di Marktplaats (credit: dok. pribadi)

Saya sudah beberapa kali bertransaksi di Marktplaats, bahkan di waktu senggang saya lumayan sering scroling di bagian In je buurt (in your neigborhood) untuk lihat barangkali ada barang bagus dengan harga menarik. Beberapa kali saya COD, sekalian menguji kemampuan broken Dutch ini untuk ngobrol dengan total stranger yang kadang-kadang tidak terlalu bisa Bahasa Inggris karena sudah sepuh atau tinggal di kawasan yang sangat Dutch. Turnover warga Belanda lumayan tinggi jadi sering ada orang pindahan, biasanya ada barang-barang ajaib dari orang seperti ini.

                        Marktplaats in je buurt

Kalau saya anak Markplaats, istri saya anak flea market. Dia senang sekali window shopping di berbagai flea market, kadang-kadang pulang bawa barang-barang lucu (menurut dia). Favoritnya adalah IJ-Hallen, event flea market terbesar di Eropa yang digelar hari Sabtu-Minggu setiap 3 atau 4 minggu sekali. Lokasinya di Amsterdam dan banyak wisatawan yang juga datang kesana, bukan hanya warga lokal. Kami pernah datang dan beli beberapa barang seperti postcard vintage yang bagus dan sudah tidak ada di toko manapun. Saat musim panas pasarnya digelar outdoor, tapi karena sekarang sedang dingin sebagian besarnya pindah ke dalam ruangan yang sepertinya bekas gudang atau pabrik.

                     Akun Instagram IJ-Hallen

Selain flea market, di Belanda ada banyak Kringloop. Secara bahasa kringloop artinya recycle, jadi mereka adalah toko yang menjual barang-barang bekas yang sudah terkurasi. Jualannya mulai dari furniture, elektronik, buku & ATK, pecah belah, perkakas pertukangan, aksesoris, dan pakaian. Ini bisnis besar, beberapa brand kringloop bahkan punya jaringan toko di beberapa kota besar di Belanda. Kalau saya lihat di masyarakat sini there's no shame pakai barang secondhand karena balik lagi kualitas dan durabilitasnya sangat oke, lifespan-nya masih panjang walaupun sudah pernah dipakai orang. Daripada beli barang baru murah tapi cepat rusak, mending pakai barang bekas merk terjamin yang awet supaya tidak nyampah. Get rid of something seperti perabot yang sudah rusak seringkali harus bayar, nggak bisa asal buang, jadi make sense kalau orang-orang maunya barang yang awet.

        Kringloop tradisional (credit: dok.pribadi)

            Kringloop brand (credit: dok. pribadi)

     Salah satu isi kringloop (credit: dok. pribadi)

Kadang ketika jalan ke flea market atau kringloop, ingatan saya terlempar pada deretan bapak-bapak yang menjual peralatan, aksesoris sepeda/motor, dan barang elektronik bekas yang berjejer sepanjang jalan menuju pasar tradisional sebelah rumah. Paling rame setiap hari minggu pahing karena saat itulah banyak orang libur dan mau self reward. Kadang barang-barangnya nggak make sense buat saya seperti kipas angin tapi baling-balingnya tok atau slebor motor tapi hanya yang depannya. Tapi nyatanya agenda itu bertahan puluhan tahun, jadi InsyaaAllah ya ada berkahnya di sana.

Budaya barang bekas di Jogja secara keseluruhan saya rasa lumayan kuat, setidaknya dibandingkan kota lain yang pernah saya tinggali yaitu Bandung dan Jakarta. Untuk ukuran kota yang tidak terlalu besar ada cukup banyak pasar barang loak yang terkenal seperti Pasar Senthir, Pasar Pakuncen, Pasar Niten, dan Pasar Kotagede (malam). Ini belum menghitung yang digelar di pasar-pasar tradisional di desa atau yang sifatnya insidental seperti sekaten, sunmor, atau event thrifting.

Di rumah saya ada satu sudut berantakan yang isinya toolbox-nya bapak, berbagai macam obeng dan kunci, barang elektronik lawas, oli minyak pelumas, dan lain sebagainya. Maka sekarang salah satu sisi impulsif saya adalah beli kunci pas, obeng, dan kawan-kawannya juga, bahkan di sini pun saya sudah punya. Bapak juga dulu yang mengenalkan pada Pasar Kuncen dan menunjukkan aksi merawat kendaraan tua yang teknologinya jauh lebih primitif jika dibandingkan yang ada saat ini. Sampai sekarang di rumah juga masih ada motor Honda C70 dan Win yang lama-lama jadi collectible items. Maka segala interaksi saya dengan barang bekas ini bukan hanya soal harga yang lebih terjangkau atau sustainability karena turut mengurangi limbah, tapi juga sentimen nostalgia.

Salam,
Chandra





Rekomendasi Restoran Indonesia di Belanda


Katanya Belanda adalah negara yang paling banyak restauran Indonesia-nya di antara negara-negara lain di Eropa. Tentu ini wajar mengingat hubungan sejarah kedua negara dan banyaknya WNI atau warga keturunan Indonesia di Belanda. Berikut adalah lima rekomendasi restoran Indonesia berdasarkan petualangan kuliner kami.

            Warung Barokah (credit: dok. pribadi)

Tapi sebelum itu disclaimer dulu, secara garis besar ada dua jenis restoran Indonesia di Belanda kalau dilihat dari target pasarnya. Tipe pertama adalah yang menyasar orang kulit putih, restoran jenis ini sudah lebih westernized dari segi menu maupun suasana. Makanannya cenderung lebih fancy, harganya lebih tinggi, dan kebanyakan menjual olahan babi dan alkohol. Jenis kedua adalah yang menyasar warga Indonesia, menunya rumahan dan lebih tradisional seperti nasi rames dan cendol, harganya lebih murah, dan kebanyakan halal. Restoran yang kami kunjungi yang model kedua, maka itu juga yang akan kami rekomendasikan di sini.

1. Warung Barokah, Amsterdam

Ini adalah restoran Indonesia pertama yang kami kunjungi dan kami sudah ke sana beberapa kali. Walaupun kecil, tapi kami merasa tempatnya sangat homey dan paling berasa Indonesianya dibandingkan resto-resto yang lain. Bu Sri, sang pemilik restoran, dengan senang hati melayani dan ngobrol bahasa Indonesia dengan para pengunjung. Beliau berasal dari Jawa Timur sehingga di antara menu andalan Warung Barokah adalah rujak cingur dan tahu campur. 

  Ramesan Warung Barokah (credit: dok. pribadi)

Warung Barokah lumayan jadi top of mind ketika bicara tempat makan Indonesia di Belanda dan sudah berulang kali diliput media. Menunya beragam, saya paling suka rames dengan segala pilihan lauk dan sayurnya. Rasanya top tier dan porsinya bikin kenyang. Satu-satunya catatan adalah lokasi Warung Barokah ini agak minggir, sekitar 6 kilometer dari Stasiun Amsterdam Centraal dan perlu naik transportasi umum atau kendaraan untuk ke sana. Tapi tentu worth it untuk makanan, orang-orang, dan tempat senyaman itu. Oh ya, bakso beranaknya juga recommended.


2. Toko Ming Kee, Den Haag

Meskipun konsepnya Chinese take out, Ming Kee menjual beraneka macam masakan Indonesia yang bahkan belum tentu ada di tempat lain, seperti lele goreng. Kami sudah ke Ming Kee beberapa kali dan bisa dibilang jadi salah satu favorit kami. Harganya paling murah dibanding yang lain, satu porsi nasi ayam goreng hanya €7.5 dan banyak menu yang masih di bawah €10. Untuk desert, es cendolnya mantep apalagi kalau beli yang ukuran besar.

   Ayam goreng di Ming Kee (credit: dok. pribadi)

Ada 2 Ming Kee di Den Haag, satu Ming Kee 'halal' ini yang menjual masakan Indonesia, satu lagi yang pure Chinese. Bagusnya, mereka memisahkan semuanya secara ketat, meskipun berdekatan hanya beda gang, pengunjung tidak bisa pesan dari satu Ming Kee untuk dimakan di Ming Kee yang satunya, jadi alat masak dan makan pun terpisah. Secara lokasi, Ming Kee sangat mudah dijangkau dari Den Haag Centraal dan kawasan perbelanjaan Spui.


3. Pempek Elysha, Den Haag

Sesuai namanya, spesialis Elysha ada di pempeknya yang memang sangat enak. Bahkan kalau dibandingkankan dengan pempek di Indonesia pun rasanya tidak kalah. Restoran ini sangat cocok untuk penggemar pempek dan yang kangen jajanan ini. Beberapa restoran Indonesia lain punya menu pempek sebagai snack, tapi kalau mau yang paripurna ya sebaiknya coba langsung punya Elysha.

       Pempek kapal selam (credit: dok. pribadi)

Selain itu Pempek Elysha juga menyajikan berbagai masakan Indonesia lain seperti olahan ayam, bebek, ikan, ketoprak, tahu telur, es cendol, es durian, dan lain sebagainya. Lokasinya masih di Den Haag tapi bukan di centrum, satu kali naik tram dari stasiun centraal dan Anda akan sampai di tempatnya.


4. Masakan Padang Lapek, Den Haag

Ini adalah Restoran Padang paling terkenal di Belanda bahkan Eropa. Banyak orang Indonesia dari berbagai negara datang ke sini, wajar kalau warungnya selalu penuh sampai kadang perlu waiting list. Padahal restoran ini belum lama pindah tempat baru yang lebih besar dari sebelumnya (hanya depan-depanan dengan kios lamanya sih). Daftar menunya layaknya restoran Padang di Indonesia: rendang, ayam pop, tunjang, kerupuk kulit, daun singkong, dll. 

       Rendangnya Lapek Jo (credit: dok. pribadi)

Waktu kesini kami pesan rendang daging dan ayam pop, dua menu yang menurut kami representatif untuk menilai sebuah restoran masakan Padang. Enak, nggak jauh dari Padang Sederhana lah kalau di Indonesia. Mampu menghadirkan rasa Padang di tempat yang tidak terlalu kaya akan spices ini sungguh sesuatu yang patut diapresiasi. Jadi pay a visit kalau kalian datang ke Belanda.


5. Toko Bersama, Amsterdam

Satu restoran favorit lain di Amsterdam, Toko Bersama juga sangat layak jadi pilihan ketika ingin makan masakan Indonesia. Lokasinya tidak terlalu jauh dari centraal, hanya sekitar 3 kilometer. Menu ramesnya lengkap dan sangat bersaing secara rasa dan harga, rasa sayur bayamnya cocok banget untuk saya yang biasanya kurang doyan sayur. Mereka punya sambal homemade yang juga enak. Tapi memang selain rames tidak terlalu banyak pilihan menu lainnya.

    Rames di Toko Bersama (credit: dok. pribadi)

Pelayanannya sangat oke, saat itu kami datang waktu warung belum buka, tapi karena pemiliknya tahu di luar dingin kami dipersilakan menunggu di dalam, bahkan dibuatkan teh hangat gratis. Mereka punya sebuah rak besar berisi bahan-bahan masakan Indonesia dan Asia pada umumnya seperti kecap ABC dan saus Sriracha.

Itu tadi beberapa restoran favorit kami. Sebagai honorable mention ada beberapa tempat lain seperti Iboenda (Amsterdam), Pasundan (Nijmegen), dan Praboemoelih (Den Haag). Semoga bermanfaat, ambil baik-baiknya saja.

Thanks,
Chandra

Antwerp


Antwerp adalah kota besar Belgia yang letaknya paling dekat dengan Belanda. Dari mana saja di Belanda Antwerp bisa dicapai lewat perjalanan darat dalam 3 jam atau kurang, alternatif lainnya bisa menggunakan kereta yang mana akan lebih cepat lagi. Stasiun Antwerp Centraal disebut-sebut sebagai salah satu bangunan stasiun paling cantik di Eropa. Stasiun yang umurnya sudah lebih dari 1 abad ini akan menyambut pengunjung dari berbagai penjuru karena stasiun ini merupakan salah satu hub penting jaringan kereta Belgia yang juga melayani perjalanan internasional. Kalau dilihat desainnya, stasiun ini dibangun bukan hanya atas pertimbangan fungsional tapi juga estetika.

    Antwerp Centraal Station (credit: dok. pribadi)

Centraal Station di malam hari (credit: dok. pribadi)

Dari stasiun, tourist akan berbondong-bondong berjalan ke arah kawasan Grote Martk (Pasar Gede). Sepanjang sekitar 1.5 kilometer, berderet kafe, restoran, shopping outlet, dan toko perhiasan. Salah satu penggerak ekonomi Antwerp adalah bisnis jewelry terutama diamond yang banyak dipasok dari Tiongkok. Saking baiknya hubungan dagang Antwerp dengan negeri tirai bambu itu, pemerintah RRT sampai membangunkan monumen Nello & Patrasche sebagai ucapan terimakasih, monumen itu berupa sebuah patung marbel berbentuk anak kecil dan anjing yang berselimut. 

    Patung Nello & Patrasche (credit: dok. pribadi)

Patung ini berada di pelataran katedral Onze-Lieve-Vrouwe, sebuah gereja di pusat Antwerp yang juga jadi destinasi para wisatawan. Gereja ini dikelilingi bangunan dengan arsitertur khas Eropa lama. Salah satu unique selling point dari Antwerp ini adalah bercampurnya arsitektur lawas dan modern yang saling berdampingan. Beberapa toko souvenir tersedia di sini, menyediakan cenderamata berupa postcard, magnet kulkas, kaos, dan lain sebagainya. 

Hanya selangkah dari sana tibalah kita di Grote Markt. Area ini seperti city center-nya Antwerp sekaligus halaman Stadhuis (balaikota). Pada akhir tahun kemarin sedang berlangsung sebuah festival winter market sehingga di lokasi ini banyak berdiri stall yang menjual jajanan, cadeau (gift shop), dan aksesoris. Tumplek blek para wisatawan berbelanja atau sekedar mengabadikan momen di sana. Di depan Stadhuis berdiri sebuah patung Brabo monument yang sudah berdiri sejak abad 18.

  Stadhuis, Brabo, dan market (credit: dok. pribadi)

Bergeser sedikit dari kawasan Grote Markt, pengunjung bisa menjumpai sebuah sungai yang membelah kota Antwerp. Di tepian sungai ini ada sebuah benteng tua yang ikonik yang dinamai Het Steen. Sama seperti banyak kota di Benelux, Antwerp punya lumayan banyak museum dan salah satu yang terkenal adalah MAS Museum. Saya kemarin tidak sempat kesana, tapi katanya di museum ini pengunjung bisa naik ke rooftop untuk menikmati pemandangan kota Antwerp dari atas.

Karena banyaknya wisatawan dan mungkin terkait juga hubungan dagang Antwerp-China tadi, pilihan kuliner di Antwerp sangat beragam. Ada jajanan tradisional Belgia sepergi waffle, ada kafe dengan nuansa western, italiano, latin america, middle east, sampai asian. Bahkan hanya 200 meter dari stasiun sentral Antwerp ada kawasan Pecinan yang sudah pasti di dalamnya banyak toko-toko dan tempat makan oriental. Untuk mencari makanan halal juga tidak sulit, ada sebuah gerai ayam goreng halal Belchicken yang selalu ramai karena selain makanannya enak dan tempatnya luas, mereka tetap buka di libur natal. Lalu ada juga warung wok halal bernuansa thai-viet yang menyajikan mie hangat yang cocok sekali untuk orang asia kedinginan seperti kami.

    Wok bami halal, fuiyoohh (credit: dok. pribadi)


                                   -Antwerp-
           Antwerp, Belgium (credit: dok. pribadi)

Thanks,
Chandra