Diaspora Nordik
Apa buku yang menurutmu sangat bagus hingga membuat kamu ingin baca semua buku dari penulis yang sama? Saya ada beberapa, salah satunya Tipping Point karya Malcolm Gladwell. Sejak itu saya baca semua bukunya yang bisa didapat di toko buku: Blink, Outliers, What the Dog Saw, David and Goliath, Talking to Strangers, The Bomber Mafia, dan tentu saja yang terakhir kemarin Revenge of the Tipping Point yang dirilis pada Oktober 2024 atau sekitar 25 tahun setelah buku pertamanya.
Revenge of the Tipping Point (ROTTP) masih banyak berbicara soal critical mass, epidemi, dan hal-hal viral. Bedanya dengan Tipping Point yang pertama, pada ROTTP ini Gladwell banyak memberikan contoh fenomena sosial yang sifatnya negatif seperti krisis opium, konflik ras, s**cide rate, coronavirus, tren perampokan bank, sampai Holocaust. Malcolm Gladwell mengingatkan bahwa mekanisme sosial yang sama dengan yang menghasilkan kesuksesan marketing bisa juga menyebabkan berbagai masalah sosial hingga kriminal.
Salah satu bahasan dalam Revenge of the Tipping Point adalah small area variation. Ada penelitian pada dokter dan rumah sakit di dua kota di Amerika. Dua kota ini sangat mirip dari segi populasi, ekonomi, dan geografis, tapi somehow dokter-dokter di dua kota ini punya cara pendekatan yang extremely berbeda ketika menangani pasien penyakit dalam. Perbedaan di kota A dan kota B ini sulit dijelaskan secara logis. Lebih mengejutkan lagi ketika ditemukan bahwa ketika ada dokter dari kota A pindah ke kota B, pendekatannya ke pasien akan berubah menyesuaikan dengan cara dokter B, walaupun itu berbeda jauh dengan yang sudah dia lakukan bertahun-tahun di A. Maka kesimpulannya yang membuat berbeda bukan orangnya melainkan tempatnya, ada overstory yang meliputi orang-orang di suatu tempat yang membuat mereka berperilaku sedemikian rupa. Kasus small area variation ini ternyata terjadi di banyak tempat di berbagai bidang.
Saya dulu amazed waktu pertama kali motoran ke BSD karena pengendaranya tertib lalu lintas banget, berhenti di belakang marka, nggak ada yang ngeblong lampu merah, dan ngegasnya sopan. Padahal itu orang-orang yang sama dengan yang berlalulintas secara semrawut di Jakarta dan Tangsel non-pengembang, ya termasuk saya juga.
Bagaimana bisa setelah melewati pagar BSD tiba-tiba orang jadi bijak? Apakah ada tulisan 'Anda memasuki kawasan tertib lalu lintas'? Nggak, nggak ada. Yang terjadi adalah ketika orang memasuki BSD bawaannya segan mau neko-neko karena (1) lingkungan tertata rapi sehingga mengesankan di situ harus tertib dan (2) semua orang do tertib. Orang nggak ingin mencolok ndugal sendiri, orang nggak nyaman berbeda dari yang lain. Jadi yang bikin taat lalu lintas itu overstory, bukan polisi.
Khusus untuk kasus nomnoman yang kebut-kebutan di jalanan BSD di tengah malam itu beda cerita. Dalam kasus ini yang bekerja adalah critical mass, dimana di malam hari mereka merasa jumlah mereka cukup banyak in percentage to general population (karena orang-orang lain dah pada tidur) sehingga mereka merasa bisa melakukan sesuatu. Bareng-bareng terus merasa gagah lah.
Variasi ini tidak harus tempat fisik, coba lihat perbedaan pendapat soal calon presiden kemarin di media sosial yang berbeda: twitter vs instagram vs tiktok. Pada buku ROTTP ini juga diberikan contoh bagaimana media (dalam hal ini TV) memberikan pengaruh ke masyarakat. Media tidak secara hard selling menanamkan suatu paham tapi media bekerja menyatukan orang-orang. Media menyeragamkan cara berpikir audiensnya (pertimbangan penting-tidak penting, etis-tidak etis, dll). Maka citra gemoy diterima berbeda oleh pengguna satu platform dengan platform lainnya, satu bilang lucu satu bilang blas ramasuk.
Setelah tahu soal small area variation tadi, saya jadi mikir sedikit lebih panjang kalau mau membanding-bandingkan sesuatu. Orang berkendara di Jelupang dan BSD saja bisa beda kelakuannya padahal sebelahan, orang tetanggaan saja bisa beda pandangan politiknya hanya karena channel youtube yang disubscribe beda, kok bisa-bisanya ada orang membandingkan pendidikan Indonesia dengan Nordik, atau mendukung PPN 12% dengan argumen pajak tinggi di Eropa. Ya nggak bisa lah. Populasinya beda, iklimnya beda, budayanya beda. Maka lucu aja kalau ada diaspora anyaran yang fafifu soal Indonesia harus begini begitu, lebih lucu lagi melihat tanggapan orang-orang yang nyuruh diam dan menjulukinya diaspora nordik alias norak dikit.
Chandra
0 comments :
Post a Comment