00:30
Perbedaan yang saya rasakan antara kuliah dan bekerja adalah intensitas versus durasinya. Satu long duration medium intensity, satunya medium duration high intensity. Ketika kuliah dulu saya masih bisa rileks dan pasif mendengarkan saat dosen mengajar. Hadir setor muka sudah cukup asal tidak bikin gaduh atau tidur di kelas. Santai memang, tapi di sisi lain nanti ketika pulang masih ada tumpukan tugas yang menanti dan menuntut untuk dikerjakan sampai begadang. Menurut kampus, 1 SKS ekuivalen dengan 3 jam aktivitas per minggu: 1 jam di kelas, 1 jam tugas, 1 jam belajar mandiri. Jadi jika sebuah mata kuliah berbobot 3 sks, dosen mendesain bebannya sedemikian sehingga kira-kira mahasiswa akan menghabiskan 9 jam di mata kuliah itu dalam seminggu. Maka untuk jumlah SKS standar yang biasa diambil mahasiswa, anggap 20 SKS, teorinya dalam seminggu dia harus belajar selama 60 jam. Ini belum termasuk kegiatan ekstrakurikuler seperti himpunan, unit kegiatan, dan lomba.
Sementara itu rata-rata orang bekerja 40 jam per minggu. Lebih pendek, tapi stress dan intensitasnya lebih tinggi karena apa yang dikerjakan adalah kasus di dunia nyata bukan simulasi dan soal ujian lagi, plus kita dibayar untuk melakukan itu. Kalau orang dipaksa bekerja dalam intensitas tinggi selama 60 jam+ seminggu seperti orang kuliah maka sangat mungkin dia akan burnout.
Tapi kalau lembur sekali-sekali saja boleh lah. Se-worklife balance-worklife balance-nya sini kadang masih perlu bedagang untuk membereskan beberapa hal. Butuh push untuk menjalani lembur setelah hari yang panjang dan melelahkan, apalagi di budaya kerja yang tidak didesain untuk mengakomodir lembur, saat itulah saya berusaha channeling my mahasiswa energy: membayangkan apa yang biasa saya lakukan dulu, dari mana motivasi dan energi saya dapat, what kept me going ketika lelah, dan berpikir kalau dulu bisa kenapa sekarang tidak.
Saya punya kebiasaan beranjak tidur jam 00:30 waktu di Bandung dulu. Ini sweetspot buat saya, jam segitu biasanya kegiatan sudah rampungan atau bisa dianggap cukup, tapi tidak terlalu pagi juga sehingga menyebabkan kurang tidur. Saya tandai kalau tidur jam 01.30, hanya mundur 1 jam dari kebiasaan, paginya badan nggak karuan banget dan recovery-nya butuh setengah hari sendiri. Kebiasaan saya adalah tutup laptop dan buku jam 00:30, gosok gigi dll, nyetel ESPNFC di NET sambil mengaktifkan timer biar TV mati sendiri, lalu mapan tidur. Biasanya saya bisa terlelap dalam 30 menit ditemani analisis para pandit ESPN Indonesia, tapi kalau mblandang ya sampai ke acara Breakout yang dibawakan Boy William dan Sheryl Sheinafia di jam 01:00. Saya nggak terlalu suka acaranya, tapi terlalu tanggung kalau harus bangun lagi karena TV saya tidak ada remote-nya. Paginya salat subuh, cek-cek HP, dan menyiapkan segala yang dibutuhkan hari itu, lalu jalan keluar sarapan nasi kuning.
Malam ini saya lalukan itu, setelah istri tidur saya buka laptop lagi dan bekerja sampai 00:30. Tidak ada yang nyuruh, ini inisiatif sendiri untuk nyicil kerjaan minggu depan. Sangat-sangat tabu bagi orang sini untuk bekerja di malam minggu. Kalau kata buku The Good Enough Job (Simone Stolzoff), ada istilah integrator dan separator. Budaya Indonesia itu integrator, jadi di tengah-tengah jam kerja bisa disusupi aktivitas pribadi seperti ambil rapot anak, perpanjang SIM, dan beberes rumah tapi tidak keberatan untuk mulai kerja lebih awal atau selesai kerja lebih akhir. Sementara Belanda sangat separator, mereka secara tegas memisahkan jam kerja dan jam pribadi. Saya bahkan punya teman yang di jam kerja handphone-nya dimatikan karena tidak ingin terganggu urusan selain kerjaan. Orang sini kalau makan siang jam 1 teng sudah balik meja, nggak molor sampai setengah 2 karena keasyikan ngobrol. Di sisi lain jam 5 waktunya pulang ya pulang. Tenggo adalah budaya, kalau kerja lebih dari itu malah dipandang aneh. Kami-kami anak baru dari Asia dan Amerika Latin culture shock dengan ini.
Saya batasi sampai 00:30 karena saya ingin functioning properly esok hari. Pada akhirnya saya tidur jam 1 lewat sedikit, mirip-mirip dulu. Bedanya sekarang tidak ada ESPNFC dan Breakout, diganti dengan YouTube dan Noice kalau mau ada backsound pengantar tidur. Pagi harinya tidak ada lagi nasi kuning, harus terima roti tawar dikasih blue band dan meses. Tapi Alhamdulillah pagi ini saya punya cukup kesadaran dan waktu untuk menulis ini. Balik lagi karena budaya yang sangat separator, di hari senin sampai jumat sulit buat saya menemukan bandwidth untuk membuat tulisan, maka postingan saya dua bulan terakhir rata-rata di akhir pekan.
Menulis ini mengingatkan pada tempat kami biasa sarapan di Bandung dulu, nasi kuning dan sambalnya enak banget, semoga bapak ibu sehat dan bahagia selalu.
Thanks,
Chandra
0 comments :
Post a Comment