Hangat in So Many Levels


Setelah beberapa hari 'musim dingin', aliran udara panas kini berhembus lagi di atas north sea. Matahari bersinar membuat suhu menyentuh 16 derajat siang hari ini. Apa cara terbaik merayakan hari yang cerah? Tentu dengan bertemu orang-orang Indonesia, ngaji ilmu dikit-dikit, dan menyantap makanan hangat. Top. 

Ada banyak lingkaran komunitas Indonesia di berbagai kota di Belanda. Masing-masing dengan agenda, kegiatan, dan segmennya masing-masing. Ada yang isinya ibu-ibu sepuh, ada yg muda mudi, ada yang basisnya mahasiswa, ada yang digerakkan keluarga-keluarga yang sudah lama di Belanda, dan lain sebagainya. Tidak neko-neko, tujuannya ya untuk menjaga silaturahmi, ngobrol-ngobrol (bahasa Indonesia), makan-makan, senang-senang, dan belajar (termasuk anak-anak yang minim pelajaran agama di sekolah). 


Salah satunya Pengajian Ede ini yang kami tahu dari temannya seniornya istri di asrama waktu mahasiswa dulu, yang ternyata suaminya adalah senior saya di kampus. Ya begitulah rumit, di perantauan niche seperti ini getok tular dan six degress of separation bekerja in full flow. Serunya kelompok ini adalah rata-rata pesertanya muda. Ede ini dekat dengan Universitas Wageningen (WUR) jadi banyak mahasiswa Indonesia di sini baik yang master maupun PhD. Ada juga yang bekerja, tapi rata-rata masih relatif baru juga. Karena sama-sama diaspora anyaran jadi obrolan bisa lebih nyambung dan relate. Tentu akan beda kalau orang-orangnya sudah lama di sini atau bahkan sudah generasi kedua atau ketiga (kakek-neneknya yang merantau).




Tempat yang digunakan pengajian adalah ruang serbaguna di sebuah apartemen yang banyak dihuni mahasiswa. Ada beberapa orang Indonesia yang tinggal di sana sehingga memudahkan pengurusan tempat. Selain itu ada pengurus yang mengurus segala kebutuhan acara termasuk makanan utama. Sisanya peserta yang cawe-cawe sukarela seperti urun membawa karpet, potluck, minum, dan lain sebagainya. Pengisi kajiannya adalah seorang ustadz yang kebetulan juga sedang tinggal di sini bersama keluarganya. Jadi konsepnya dari kita oleh kita untuk kita, bukan binaan atau inisiasi institusi luar.

Hari ini menunya bakso malang, kalau saya lihat-lihat acara semacam ini hobi memilih menu berkuah (bulan lalu sotomie). Saya sih setuju ya, makanan kuah hangat langka banget di sini. Belanda punya budaya sup tapi supnya model kental. Dari orang-orang India juga mereka punyanya curry yang kuat dengan rempah-rempahnya. Makanan berkuah yang light, segar, dan hangat ya masakan Indonesia. Ada juga krengsengan kambing yang enak luar biasa, sedekah sekaligus masakan tangan Bu Nina, satu-satunya sesepuh di pengajian ini. Beliau adalah pengusaha katering yang menikah dengan pria Belanda. Sisanya ada buah, gorengan, dan kue untuk cemilannya. Ajang seperti ini jadi kesempatan bertukar info makanan enak dan halal. 



It's fun, kalau di-list faedahnya acara seperti ini menurut yang saya rasakan:
- Belajar ilmu agama tipis-tipis.
- Sharing dari banyak orang soal bagaimana bisa sampai sini, latar belakangnya seperti apa, prosesnya bagaimana, aktivitasnya apa. 
- Berbagi tips soal housing, vacation, administrative things, dan dealing with living in Holland as Indonesian diaspora.
- Unexpextedly ketemu orang dari satu daerah, satu kampus, satu sekolah, atau punya mutual yang tak diduga-duga.
- Makan enak dan berbagi info sourcing makanan yang halal enak murah. Merk apa, beli dimana, etc.
- Ketawa, melepas penat, menghilangkan stress.

Ketika jumlahnya sedikit, ketemu satu orang Indonesia saja blessing, apalagi berkumpul dengan banyak orang. Terjawab pertanyaan saya soal materi pelajaran agama dulu tentang kenapa silaturahi memperpanjang umur. Negara orang bisa jadi punya better living quality, better education, better public transport, better public service, better governance, udara lebih bersih, air kran bisa langsung di minum, better access ke banyak hal, dll. Tapi yang banyak hilang dari orang-orang yang pindah ke sini adalah hilangnya support system. 

Di Indonesia mungkin kita punya kenalan dokter, di sini mau daftar dokter umum (general practicioner) saja sulit. Di Indonesia mungkin ada kenalan orang yang kerja di dukcapil, asuransi, pajak, polisi, atau lainnya yang bisa ditanya atau dimintai tolong, di sini ya nggak ada. Maka kumpulan seperti ini adalah salah satu support syatem yang paling dekat.

Hangat cuacanya, hangat obrolannya, hangat makanannya.

Thanks,
Chandra







Winter is Coming



Hari selasa (19/11) selepas makan siang saya sedang duduk di depan laptop. Tiba-tiba seorang teman bilang, 'hey, take a break, look at the window!'. Lalu inilah yang saya lihat, salju pertama.



Tidak selalu ada salju di Belanda apalagi ini masih November, maka hujan salju siang itu jadi tontonan. Beberapa orang meninggalkan mejanya untuk keluar hujan-hujanan, termasuk saya. Memang ini bukan salju yang menumpuk tebal, dalam sekejap ia berubah jadi air dan hampir tidak ada beda dengan hujan biasa, tapi tetap salju is salju. Wet snow kalau kata orang-orang. Ini baru permulaan and it's getting serious.

Satu hari kemudian (20/11), hujan salju kembali terjadi dan kali ini lebih deras dan pekat. Untuk beberapa saat salju menutupi halaman dan parkiran apartemen kami. Ini tengah hari tapi suhunya di sekitar 0 derajat celcius. Kali ini saljunya lebih padat, butuh beberapa jam hingga salju luruh dan kembali ke setelan warna autumn.

                               11.20 vs 16.00

Hari ini (22/11) subuh salju kembali turun dengan cukup derasnya. Belum keluarnya matahari membuat salju menumpuk lebih rapat. Menurut prakiraan cuaca, ada potensi nanti siang akan turun hujan air campur salju (wintry mix). Kami sudah mulai bersiasat menyiapkan logistik untuk beberapa hari karena keluar belanja di suhu seperti ini masih berat bagi kami orang dari asia tenggara.


Orang sudah mulai berbagi foto halaman belakangnya yang berwarna putih dan anak-anak yang membuat boneka salju. Kendaraan mulai disarankan mengganti bannya ke ban winter. Warga sudah keluar menggunakan baju berlapis dan jaket waterproof-windproof. 

Salju pertama, winter is coming.


Chandra

00:30


Perbedaan yang saya rasakan antara kuliah dan bekerja adalah intensitas versus durasinya. Satu long duration medium intensity, satunya medium duration high intensity. Ketika kuliah dulu saya masih bisa rileks dan pasif mendengarkan saat dosen mengajar. Hadir setor muka sudah cukup asal tidak bikin gaduh atau tidur di kelas. Santai memang, tapi di sisi lain nanti ketika pulang masih ada tumpukan tugas yang menanti dan menuntut untuk dikerjakan sampai begadang. Menurut kampus, 1 SKS ekuivalen dengan 3 jam aktivitas per minggu: 1 jam di kelas, 1 jam tugas, 1 jam belajar mandiri. Jadi jika sebuah mata kuliah berbobot 3 sks, dosen mendesain bebannya sedemikian sehingga kira-kira mahasiswa akan menghabiskan 9 jam di mata kuliah itu dalam seminggu. Maka untuk jumlah SKS standar yang biasa diambil mahasiswa, anggap 20 SKS, teorinya dalam seminggu dia harus belajar selama 60 jam. Ini belum termasuk kegiatan ekstrakurikuler seperti himpunan, unit kegiatan, dan lomba. 

Sementara itu rata-rata orang bekerja 40 jam per minggu. Lebih pendek, tapi stress dan intensitasnya lebih tinggi karena apa yang dikerjakan adalah kasus di dunia nyata bukan simulasi dan soal ujian lagi, plus kita dibayar untuk melakukan itu. Kalau orang dipaksa bekerja dalam intensitas tinggi selama 60 jam+ seminggu seperti orang kuliah maka sangat mungkin dia akan burnout. 

Tapi kalau lembur sekali-sekali saja boleh lah. Se-worklife balance-worklife balance-nya sini kadang masih perlu bedagang untuk membereskan beberapa hal. Butuh push untuk menjalani lembur setelah hari yang panjang dan melelahkan, apalagi di budaya kerja yang tidak didesain untuk mengakomodir lembur,  saat itulah saya berusaha channeling my mahasiswa energy: membayangkan apa yang biasa saya lakukan dulu, dari mana motivasi dan energi saya dapat, what kept me going ketika lelah, dan berpikir kalau dulu bisa kenapa sekarang tidak.

Saya punya kebiasaan beranjak tidur jam 00:30 waktu di Bandung dulu. Ini sweetspot buat saya, jam segitu biasanya kegiatan sudah rampungan atau bisa dianggap cukup, tapi tidak terlalu pagi juga sehingga menyebabkan kurang tidur. Saya tandai kalau tidur jam 01.30, hanya mundur 1 jam dari kebiasaan, paginya badan nggak karuan banget dan recovery-nya butuh setengah hari sendiri. Kebiasaan saya adalah tutup laptop dan buku jam 00:30, gosok gigi dll, nyetel ESPNFC di NET sambil mengaktifkan timer biar TV mati sendiri, lalu mapan tidur. Biasanya saya bisa terlelap dalam 30 menit ditemani analisis para pandit ESPN Indonesia, tapi kalau mblandang ya sampai ke acara Breakout yang dibawakan Boy William dan Sheryl Sheinafia di jam 01:00. Saya nggak terlalu suka acaranya, tapi terlalu tanggung kalau harus bangun lagi karena TV saya tidak ada remote-nya. Paginya salat subuh, cek-cek HP, dan menyiapkan segala yang dibutuhkan hari itu, lalu jalan keluar sarapan nasi kuning.

Malam ini saya lalukan itu, setelah istri tidur saya buka laptop lagi dan bekerja sampai 00:30. Tidak ada yang nyuruh, ini inisiatif sendiri untuk nyicil kerjaan minggu depan. Sangat-sangat tabu bagi orang sini untuk bekerja di malam minggu. Kalau kata buku The Good Enough Job (Simone Stolzoff), ada istilah integrator dan separator. Budaya Indonesia itu integrator, jadi di tengah-tengah jam kerja bisa disusupi aktivitas pribadi seperti ambil rapot anak, perpanjang SIM, dan beberes rumah tapi tidak keberatan untuk mulai kerja lebih awal atau selesai kerja lebih akhir. Sementara Belanda sangat separator, mereka secara tegas memisahkan jam kerja dan jam pribadi. Saya bahkan punya teman yang di jam kerja handphone-nya dimatikan karena tidak ingin terganggu urusan selain kerjaan. Orang sini kalau makan siang jam 1 teng sudah balik meja, nggak molor sampai setengah 2 karena keasyikan ngobrol. Di sisi lain jam 5 waktunya pulang ya pulang. Tenggo adalah budaya, kalau kerja lebih dari itu malah dipandang aneh. Kami-kami anak baru dari Asia dan Amerika Latin culture shock dengan ini.


Saya batasi sampai 00:30 karena saya ingin functioning properly esok hari. Pada akhirnya saya tidur jam 1 lewat sedikit, mirip-mirip dulu. Bedanya sekarang tidak ada ESPNFC dan Breakout, diganti dengan YouTube dan Noice kalau mau ada backsound pengantar tidur. Pagi harinya tidak ada lagi nasi kuning, harus terima roti tawar dikasih blue band dan meses. Tapi Alhamdulillah pagi ini saya punya cukup kesadaran dan waktu untuk menulis ini. Balik lagi karena budaya yang sangat separator, di hari senin sampai jumat sulit buat saya menemukan bandwidth untuk membuat tulisan, maka postingan saya dua bulan terakhir rata-rata di akhir pekan.

Menulis ini mengingatkan pada tempat kami biasa sarapan di Bandung dulu, nasi kuning dan sambalnya enak banget, semoga bapak ibu sehat dan bahagia selalu.



Thanks,
Chandra

Starstruck


Orang bisa starstruck misalnya saat bertemu public figure yang ia ikuti kehidupannya, seniman yang ia sukai karyanya, politisi yang ia dukung sejak lama, penulis yang bukunya ia baca, dan lain sebagainya. Saya barusan starstruck karena ketemu sebuah lukisan.



Padahal seharusnya lukisan ini memancing rasa marah atau minimal gusar. Sebab apa yang digambarkan di sana adalah salah satu momen paling miris dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme, yaitu peristiwa penjebakan Pangeran Diponegoro. Perang yang dipimpin Pangeran Diponegoro adalah salah satu yang paling berat bagi Belanda walaupun secara durasi relatif pendek, hanya 5 tahun dari 1825 sampai 1830. Ini perang yang sangat membangkrutkan sampai-sampai secara tidak langsung menyebabkan Belgia merdeka dari Belanda.

Karena sudah sangat merugikan, Belanda memutuskan untuk menjebak Pangeran Diponegoro dengan cara mengajak melakukan perundingan. Namun licik, saat perundingan sedang berlangsung Pangeran Diponegoro malah ditangkap. Peristiwa itu dipotret melalui lukisan oleh dua orang berbeda, yaitu Nicolaas Pieneman dari Belanda dan Raden Saleh dari Indonesia. Sudut pandangnya tentu berbeda, siapa yang melukis dia yang bercerita. Pada versi Pieneman, ditampilkan seolah Pangeran Diponegoro menyerah pada Belanda. Sementara pada lukisan Raden Saleh ditunjukkan bahwa Pangeran Diponegoro dikhianati dan ditangkap, bentuk fisik orang kulit putihnya sengaja dibuat kurang proporsional sebagai bentuk protes. 

Versi Raden Saleh
Judul: Penangkapan Pangeran Diponegoro (Gevangenname van Prins Diponegoro)
Tahun: 1857
Saat ini disimpan di: Museum Kepresidenan, Yogyakarta, Indonesia

Versi Nicolaas Pieneman
Judul: The Arrest of Diponegoro by Lieutenant General De Kock
Tahun: circa 1830-1835
Saat ini disimpan di: Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda

Peristiwa ini sendiri terjadi pada 28 Maret 1830 di Wisma Residen Kedu di Magelang. Di hari itu pula Pangeran Diponegoro diasingkan, tampak pada lukisan Pieneman Jenderal De Kock menunjuk ke arah kereta yang akan membawa Pangeran Diponegoro ke Semarang, Batavia, Manado, lalu Makassar. Ini berbeda dengan gambaran Raden Saleh dimana digambarkan Pangeran Diponegoro menegakkan kepalanya dan berdiri sejajar dengan De Kock. 

Adanya dua lukisan untuk peristiwa yang sama ini menjadi bahasan di kalangan kritikus seni. Muncul banyak persepsi seperti lukisan Pieneman berlatar siang hari sementara milik Raden Saleh ambigu antara pagi atau petang, mengisyaratkan kolonialisme akan berakhir dan kemerdekaan akan lahir. Lukisan Raden Saleh juga digambar dari sudut bangunan yang berbeda, kemungkinan untuk tidak menampilkan bendera Belanda. Pendukung Pangeran Diponegoro pada lukisan Raden Saleh ada yang menggunakan pakaian bangsawan dan pakaian santri, ini untuk menunjukkan persatuan. Selain itu tentu proporsi tubuh tadi, raut muka, tone warna, dan suasana jadi pembeda dua lukisan di atas.

Beberapa fakta menarik:
- Raden Saleh bertahun-tahun belajar seni di Eropa atas biaya pemerintah Belanda, di sana ia belajar salah satunya dari Nicolaas Pieneman. Jadi kedua seniman ini punya hubungan guru-murid.
- Raden Saleh tidak pernah bertemu Pangeran Diponegoro. Tapi pada lukisannya ia menyisipkan wajahnya menjadi salah satu pengikut Pangeran Diponegoro sebagai tanda bahwa ia berada di pihaknya.
- Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro aslinya adalah ucapan terimakasih Raden Saleh pada raja Belanda atas biaya yang sudah diberikan selama belajar, lukisan itu sempat disimpan di berbagai tempat di Belanda sebelum direpatriasi ke Indonesia pada 1970.
- Lukisan sempat direstorasi pada 2012 karena mengalami kerusakan.
- Lukisan Pieneman awalnya adalah milik keluarga De Kock kemudian didonasikan ke kerajaan Belanda. Dari caption yang ada di museum, diakui bahwa peristiwa itu adalah sebuah 'betrayal'.


Di luar apa yang diceritakan Pieneman melalui lukisannya yang ada di Rijksmuseum, seberapa bagus estetikanya, dan bagaimana museum menampilkannya, mungkin ini adalah titik terdekat yang pernah saya capai dengan sejarah Pangeran Diponegoro. Dan sebagai orang Jawa khususnya Jogja/Mataram, buat saya ini sesuatu. Bukan orangnya, hanya cerita dan peninggalannya sudah cukup membuat starstruck. 

Lukisan ini didisplay di ruangan yang menyimpan barang-barang seputar Dutch East Indies. Di sana ada buku Max Havelaar karya Multatuli, ilustrasi baju bangsawan Jawa, maket pasar tradisional, foto-foto KNIL, lukisan Postweg (Jalan Raya Pos), lukisan pabrik gula di Jawa Tengah, dan beberapa barang dari Suriname, Antilles, dan Jepang.



Lukisan Diponegoro membuat kunjungan ke museum hari ini bukan hanya sekedar hiburan tapi juga pelajaran sejarah. Ruangan yang memajang sejarah kolonialisme ini jadi yang paling lama saya tongkrongi dan paling banyak ambil gambarnya. Padahal ini hanya sebagian kecil dari Rijksmuseum, bagian lain memajang karya seni terutama lukisan dari berbagai abad dan era, mulai 1100-an hingga 1800-an. Ada juga perpustakaan dengan koleksi ribuan buku yang kalau di deskripsinya dituliskan sampai 1 kilometer, mungkin itu kalau bukunya dijejer-jejer. Technically in museum terbaik dan 'termahal' yang pernah saya kunjungi.





Tentang Rijksmuseum, ini adalah salah satu museum yang jadi destinasi wisata favorit di Amsterdam. Orang yang mau datang harus reservasi dulu secara online di rijksmuseum.nl. Ini untuk mengontrol jumlah pengunjung saking banyaknya yang mau masuk. Pemegang museum kaart tidak perlu membayar tiket lagi tapi tetap perlu reservasi. Museum ini berada di kawasan Museumplein, berdekatan dengan Van Gogh Museum (ini juga harus reservasi), Stedelijk Museum, dan Moco Museum. Dari stasiun Amsterdam Centraal pengunjung bisa naik tram dan turun di halte Museumplein atau Rijksmuseum. 



Pieneman sudah, mungkin nggak ya suatu hari lihat lukisan asli versi Raden Saleh?

Chandra

Fall Back


Saya sengaja melek sampai jam 3 pagi di malam minggu kemarin hanya untuk menyaksikan perubahan jam di handphone. Fenomena ini yang pertama untuk saya dan saya tidak berniat melewatkannya.



Di zona Central Europe, setelah waktu menunjukkan 2:59:59, ia berbalik ke 2:00:00. Ini terjadi satu kali dalam setahun saat pergantian musim panas ke musim gugur. Kebalikannya nanti saat pergantian musim dingin ke musim semi jamnya akan maju satu jam. Handphone, laptop, dan perangkat modern lainnya otomatis menyesuaikan tanpa perlu intervensi pengguna. Tapi untuk barang-barang analog seperti jam dinding dan oven tetap perlu, jadi anjurannya 'set your clock one hour back before going bed on saturday'. Saya membayangkan di jaman dulu waktu semua jam masih tradisional pasti ada orang yang lupa mengeset jamnya lalu datang kepagian ke suatu tempat atau acara.


Aktivitas masyarakat tidak terganggu karena perubahan ini terjadi pada semua orang. Semua tetap pada jadwal biasanya, yang bekerja 9 to 5 tetap datang dan pulang di jam yang sama, toko yang tutup jam 6 tetap akan tutup di jam itu, jadwal perjalanan bis dan kereta juga tidak ada perubahan. Justru poinnya adalah 'menggeser' jam kegiatan masyarakat relatif terhadap posisi matahari agar orang tidak perlu keluar rumah kepagian. Ini adalah foto waktu sebelum fall back saya keluar di sekitar jam 7.30. Masih gelap karena syuruq saja belum. Nanti semakin mendekat ke musim dingin malamnya akan lebih panjang lagi yang berarti sunrise-nya makin telat.


Sementara itu karena mengacu pada posisi matahari, waktu salat maju satu jam. Di bawah ini adalah jadwal salat hari sabtu versus minggu sebelum dan sesudah fall back. Jam yang baru ini lumayan mirip dengan jadwal salat di Indonesia, tapi yang paling menyenangkan adalah jam salat dzuhur/jumat yang jatuh di jam istirahat kerja. Kalau mau puasa durasinya juga sudah cukup pendek.



Sekarang selisih waktu Belanda dengan Indonesia bagian barat jadi 6 jam. Yang ngikutin bola mungkin ngeh di saat-saat begini 12.30 kick-off-nya Liga Inggris berubah jam tayang dari jam 18.30 jadi 19.30, sementara Liga Champion jam 3 pagi. Berasa makin jauh saja dari rumah padahal jaraknya tidak berubah. Tapi jujur sebagai first timer perubahan dari GMT+2 ke GMT+1 ini serasa memberikan bonus tambahan jam tidur 1 jam setidaknya di hari-hari awal. 

Overall nyaman, mari sambut perubahan dengan tangan terbuka walaupun rada kademen. There's always first time of everything.

Thanks,
Chandra