Firasat



Bicara soal liga sepakbola di Eropa, top of mind-nya tentu saja Liga Inggris dan Italia, mungkin ditambah Spanyol. Setelah itu baru Belanda dan Jerman yang punya beberapa tim besar seperti Bayern Munich dan Ajax Amsterdam. Tapi buat saya entah bagaimana Liga Belanda justru lebih nempel dibanding yang lain, hanya kalah dengan Liga Inggris yang memang saya ikuti tiap minggunya. Jaman-jamannya PS1, PS2, PES 2013 dulu kalau mau coba main pakai tim 'medioker' saya sering pilih PSV Eindhoven dengan ujung tombaknya Jefferson Farfan, inget banget. Dari situ saya tahu hubungan Phillips dengan PSV, walaupun saya belum tahu Eindhoven itu dimana tepatnya. 

Nama Amsterdam dan Den Haag saya tahu dari buku pelajaran IPS, tapi kota-kota lain seperti (NEC) Nijmegen, (Feyenoord) Rotterdam, (Vitesse) Arnhem, (NAC) Breda, (VVV) Venlo, (AZ) Alkmaar, (RKC) Waalwijk, (FC) Groningen, dan (FC) Twente, sampai (FC) Volendam ya saya dapatnya dari bola. Tahun lalu saat Volendam masih di Eredivisie saya sempat nonton siaran langsung pertandingannya di TV. Kok ya ndilalah TVRI Sport beli hak siar Liga Belanda jadi bisa ditonton dari TV Indonesia, ini ada fotonya:


Kemarin saya harus memutuskan mau pasang internet pakai provider apa. Nggak sulit bagi saya untuk memutuskan subscribe ke Ziggo karena itu satu-satunya provider yang pernah saya dengar namanya, lagi-lagi dari bola. Ziggo saat ini jadi sponsor Ajax, sementara joint venture-nya Vodafone semua orang juga tahu pernah pasang logo di jersey MU. KPN dan Odido bisa jadi bagus juga, tapi buat saya belum familiar saja karena baru saya dengar saat di sini. 

Ini mungkin bukti suksesnya marketing Ziggo atau sayanya saja yang gampang kemakan iklan. Tapi lebih dalam ya sepertinya memang jodohnya dengan Ziggo. Katanya keberuntungan itu adalah bertemunya persiapan dan kesempatan. Nggak nyangka ternyata jam-jam main PES dan nonton bola saat itu bisa di-log sebagai 'persiapan' kini setelah kesempatan relokasi ini datang. Sebab dengan begitu urusan per-wifi-an yang sangat krusial dalam perkara remote working ini jadi lebih mudah dibereskan. 


Keakraban saya dengan sepakbola Belanda ini cuma salah satu dari beberapa 'firasat' yang baru saya sadari sekarang. Dua tahun terakhir saya suka ngobrol soal peninggalan masa kolonial di Indonesia, kebetulan ada teman yang punya interest yang sama. Topiknya mulai dari jembatan tua, bekas pabrik gula, rel kereta, stasiun, bekas landhuis, dan lain sebagainya. Di YouTube ada video TEDx soal Stasiun Radio Malabar di Bandung selatan yang keren banget, ini salah satu video yang saya tonton berulang-ulang sejak dulu. Di Instagram juga ada akun mfatoni86 yang mengunggah situs-situs peninggalan Belanda dan keadaannya sekarang serta rizki.rmadhani yang membahas tempat-tempat di Jabodetabek dan asal usulnya yang kalau dirunut banyak berhubungan dengan masa kolonial. 



Saya juga sempat melakukan sedikit eksplorasi soal lukisan Pangeran Diponegoro setelah nonton film Mencuri Raden Saleh. Ternyata lukisan itu ada 2 versi, versi pertama adalah karya Raden Saleh dimana orang-orang Belanda-nya dilukis secara *redacted*. Lalu versi lainnya dilukis oleh Nicolaas Pieneman yang tentu saja mengambil POV Belanda. Topik-topik seperti ini entah kenapa menjadi minat saya beberapa waktu terakhir padahal saat itu sama sekali belum ada bayangan akan pindah kesini. 

Saya ternganga lebar waktu menemukan bahwa jembatan kereta bekas Belanda pada video mfatoni86 di atas hanya berjarak 150 meter dari kantor imigrasi Wonosobo. Yang mana itu adalah kantor imigrasi satu-satunya di sekitar DIY yang memungkinkan saya untuk membuat paspor untuk ke Belanda di hari pertama setelah libur lebaran. I can't believe my eyes waktu melewati terowongan itu. Ya Allah..




Waktu sampai sini makin banyak easter egg yang saya temui. Take out-nya sih saya pikir ya memang harus begitu jalannya kali ya. Setelah enam tahun di Bandung terasa cukup lalu pindah ke Jakarta. Lalu lima tahun setelahnya sudah selesai yang ingin dilakukan di Jakarta lalu pindah ke Belanda. Saya masih antara percaya tidak percaya dengan firasat. Tapi saya lebih yakin bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan. Kadang saya memalingkan muka ketika di jalan melihat sebuah klinik, karena saya tidak ingin tahu klinik ada di mana, karena saya tidak ingin sakit. Ini karena saking seringnya ketemu momen 'oh yang dulu itu gunanya ini'.

Kenapa mendaftar beberapa beasiswa dan gagal semua.  Kenapa T&ES tutup dan CommBank merger.  Kenapa (baru) kebeli mobil di 2 tahun usia pernikahan. Kenapa harus ke Jakarta dulu. Kenapa harus ngekos di Ciledug dulu. Kenapa ketemu orang-orang tertentu. Kenapa pergi ke tempat-tempat tertentu. Kenapa memilih ini bukan itu. Kenapa harus dapat masalah dulu. Kenapa harus kena humbling dulu. Kenapa harus A dulu, lalu B, baru C. At the end it falls in perfect fit.

Elingo sliramu marang embun enjang kang prasaja
Nemoni sliramu tumekaning cahya
Ingatkah engkau kepada angin yang berhembus mesra
Yang 'kan membelaimu, cinta 


Thanks
Chandra

0 comments :

Post a Comment