What 'Belum Ada Zonasi' Did To You?


Banyak yang bilang, 'andai dulu sudah ada zonasi, tentu saya yang dari kampung ini tidak akan bisa masuk SMP A, SMA A, lalu kuliah di A, sehingga sekarang jadi A'. 

Meskipun saya juga berasal dari daerah pinggiran kabupaten, somehow ini tidak berlaku untuk saya. Walaupun dari SD sampai SMA di sekolah negeri, saya tidak pernah daftar sekolah pakai NEM dan tidak pernah ikut PPDB. Sehingga ada tidaknya zonasi bisa dibilang nggak ngaruh. Jadi begini..

Waktu SD, orang tua mendaftarkan saya ke sekolah dekat rumah sebagaimana umumnya teman-teman sebaya di sana. Sebuah SD negeri sederhana yang oleh tetangga sekolah lebih akrab disebut SD inpres karena dibangun atas Instruksi Presiden jaman Pak Harto. Sekolah ini seperti gambaran yang muncul di kepala kalian kalau mendengar kata SD di desa. Semua yang daftar kesana diterima, 99% diantaranya adalah warga sekitar. Orang-orang tua menyekolahkan anaknya di sana karena dekat dan tidak perlu nyebrang jalan raya. Cuma ada satu teman saya yang rumahnya agak jauh, dia sekolah di situ karena bapaknya guru. 

Waktu itu di desa saya belum ngetren yang namanya menyekolahkan anak ke sekolah favorit di kota kabupaten, top of mind ketika mendaftar SD ya yang dekat rumah. Favorit atau tidak itu urusan belakangan, yang penting si anak bisa bersosialisasi dan punya teman. SD saya ini favorit tingkat kecamatan saja belum, lomba olahraga sering kalah, drumband alatnya kalah mewah, cuma akademik saja yang lumayan menyala di tahun-tahun terakhir sebelum sekolahnya tutup :)

                  Sekolah kami dari street view

Yes, sekolah kami sudah tutup, angkatan saya adalah lulusan terakhirnya. Saya tidak tahu persis sebabnya, setelah gempa 2006 pemerintah banyak melakukan regrouping dan SD kami adalah salah satu 'korbannya'. Suasananya agak sedih dan marah waktu tahu sekolah akan digabung waktu itu karena dalam banyak aspek sekolah ini sedang tumbuh, lagipula tidak ada SD negeri lain yang dekat dari sana. Pada akhirnya gedung sekolah yang kosong itu dipinjam oleh Muhammadiyah untuk dijadikan SD Muh, adik kelas saya yang masih sekolah pindah nyaris semuanya ke SD Muh itu. Cuma ada satu siswa yang ikut diangkut pindah ke sekolah negeri yang baru, fail banget kebijakannya.

Setelah regrouping itu bapak ibu ex-guru dan alumni masih saling kontak, di beberapa kesempatan kami ketemu dalam acara syawalan saat lebaran. Kami dengar bahwa beberapa guru jadi rebutan sekolah-sekolah lain karena dianggap bagus, saya sih tidak heran karena beberapa guru menurut saya memang pintarnya di atas rata-rata. SD kami kalau lomba ekstrakurikuler babak belur karena keterbatasan fasilitas, tapi kalau lomba matematika-IPA not bad.

Kakak kelas saya juara 1 lomba IPA se kabupaten, sekarang dia sedang PPDS di UGM, S1-nya dulu juga masuk kedokteran UGM jalur reguler. Tahun berikutnya saya juara 2 di ajang yang sama. Di angkatan saya, selain saya saat ini banget ada satu orang di Inggris dan satu orang di Jepang. Memang ini bukan standar 'kesuksesan', but still sampai sekarang masih dongkol kenapa sekolah yang punya potensi, melayani warga beberapa desa, dan dapat nilai ujian akhir daerah ranking 1 sekecamatan (orangnya sekarang di Manchester) malah ditutup dan digabung ke SD yang prestasinya lebih di bawah (tapi lebih tua). Bisanya bilang prestasi sekecamatan aja, karena kalau sekabupaten out of question, sebab ada satu kecamatan di pinggiran Bantul juga yang entah kenapa anaknya pinter-pinter, zonasi benefits them karena sekarang SMA di wilayah itu makin bagus, will get to that.

Cukup cerita SD-nya, beranjak ke SMP. Di Jogja ada koran Kedaulatan Rakyat (KR). Rumah kami dulu langganan itu sebelum masuknya kanal berita digital. Suatu hari ibu saya melihat iklan di KR tentang try out yang diselenggarakan SMPN 1 Bantul, sekolah paling favorit di Bantul (saat itu, sekarang masih gak ya). Daftarlah saya jadi salah satu dari 1181 peserta, banyak banget sampai harus pinjam ruang kelas SMA 2 yang ada di depannya. FYI info-info event dan lomba seperti ini sering tidak sampai ke SD saya mungkin karena saking 'jauh'-nya, atau barangkali sampai tapi guru tidak mengumumkan karena khawatir dikira mewajibkan ikut. Saya, berdua teman, pernah hampir ikut lomba matematika Pasiad di Kota Jogja, tapi pas sudah dekat batal berangkat :)

Saya merasa inferior di try out itu karena siapalah saya yang dari SD antah berantah ini. Banyak anak-anak dari SD negeri dan swasta bagus di kota kabupaten, rame-ramean pula. Saya mengerjakan soal tanpa ambisi, orang tua menunggu tidak jauh dari lokasi karena dikira acaranya nggak lama. Setelah selesai peserta menunggu proses koreksi sambil lihat-lihat sekolah bagus itu, lalu sekitar satu jam kemudian kami diminta masuk ke dalam ruangan lagi untuk dibagikan hasilnya. Sebelum mengumumkan panitia meminta saya dan satu anak lagi di ruangan kami untuk pindah ke lab biologi, tapi dia tidak bilang untuk apa. Ternyata ranking 1 sampai 20 dari babak pertama tadi dikumpulkan lagi untuk babak final. Serius saya bahkan tidak tahu kalau try out ini ada finalnya, saya cuma ikut karena mau tahu kesiapan saya untuk ujian akhir (dan mau memastikan pensil 2B saya valid dipakai di LJK). Di babak final ini soalnya essay menjurus olim.

Pada akhirnya di final saya nggak menang, dapat rangking 13. Tapi yang paling penting justru pengumuman yang disampaikan kepala sekolah saat pidato penutupan, beliau bilang bahwa di tahun itu SMPN 1 Bantul membuka kelas RSBI alias Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional angkatan pertama. Saya mendaftar karena why not, pendaftaran dan tesnya dilakukan sebelum PPDB reguler sehingga kalau belum diterima pun nanti bisa daftar jalur normal. Lagi-lagi informasi soal RSBI ini tidak sampai ke SD saya, jadi semua info dicari sendiri. Setelah mendaftar ada tes, bridging course selama 2 minggu (sekolah di SMP padahal belum lulus SD), tes lagi, lalu alhamdulillah diterima. Teman seruangan yang dipanggil ke lab biologi tadi akhirnya jadi teman sekelas saya 3 tahun, classmate paling jenius selama saya sekolah. Di antara 20 finalis tadi juga banyak yang berteman sampai sekarang. 

Itu RSBI pertama dan pelaksanaannya sangat serius. Kelas kami diberi komputer, proyektor, AC, meja kursi baru, dan lain-lain. Aktivitas khusus kelas RSBI juga banyak, ekstrakurikulernya beda, ada lomba dan event khusus sekolah RSBI, niat banget lah saat itu karena targetnya untuk menghapus huruf R sehingga menjadi SBI. Walaupun akhirnya malah program RSBI dihentikan karena dianggap tidak sesuai dengan semangat kesetaraan pendidikan. 

Di jenjang berikutnya saya mendaftar RSBI lagi di SMAN 1 Bantul, walaupun kali ini rasa RSBI-nya sudah pudar karena semua kelas statusnya sama, tidak seperti pas SMP yang mana RSBI hanya 2 kelas berisikan 50-an anak. Meski begitu masuknya tetap dengan tes sehingga lagi-lagi saya tidak perlu ikut PPDB. Saya tidak mendaftar PPDB Kota Jogja untuk mencoba masuk sekolah favorit di sana seperti yang banyak dilakukan anak-anak dari kabupaten. Saya tidak daftar karena jarak yang jauh dari rumah dan ada beberapa sebab lain. Jadilah saya seumur hidup tidak pernah mendaftar sekolah pakai NEM, dan karena itulah andaikata saat itu sudah ada zonasi mungkin tidak ada pengaruhnya anyway.

***

Tentang zonasi, kalau saya lihat perdebatan di Twitter itu selalu bertabrakan antara dua pandangan atau prioritas yang berbeda. Orang yang pro zonasi berpendapat bahwa pendidikan mesti adil dan setara, baik secara kualitas maupun akses. Harapannya setara pada kualitas yang tinggi, kalau belum ya mesti maju bareng jangan sampai timpang antara sekolah bagus dan sekolah belum bagus. Sementara itu yang kontra zonasi mengkhawatirkan bahwa akan ada talent berbakat yang tersia-sia hanya karena faktor lokasi rumah yang mana si anak nyaris tidak punya kuasa atas itu. Kesetaraan dan anak berbakat sama-sama penting untuk negara, itu masalahnya.

Perdebatan zonasi sampai di topik boleh tidaknya ada sekolah favorit baik secara faktual maupun konsep, bagaimana mitigasi banyaknya kasus pindah KK untuk daftar sekolah (ini sudah ada sejak jaman saya masuk SMA karena efek kuota luar kota), penting tidaknya peer-teaching, daya tampung sekolah vs populasi, dan lain sebagainya. Menurut saya zonasi ini bisa bagus. Kata kuncinya bisa yang tercetak miring karena ada banyak syarat yang mengikutinya. 

Pertama persentase jalur masuk harus dikalibrasi secara benar sehingga kuota jalur zonasi, prestasi, dan jalur lain 'imbang'. Imbang tidak berarti harus sama secara angka, yang penting aksesibilitas dan meritokrasi bisa jalan berbarengan. Untuk sampai ke kalibrasi yang tepat memang butuh waktu, jadi sangat mungkin akan ada beberapa angkatan yang 'dikorbankan'. Ini juga mesti diperhatikan sampai level kabupaten kota karena tiap daerah punya karakter yang berbeda. 

Kedua, permainan pindah-pindah KK perlu dihentikan karena percuma regulasi bagus kalau pelaksanaan amburadul dan aturan dipencoloti. Sulit? Iya, karena yang harus diawasi banyak banget. Maka turunkan motivasinya dengan menurunkan persentase zonasi yang sekarang minimal 50%, katakan ubah jadi 30-40%, sehingga dorongan orang untuk pindah KK agar memenuhi syarat zonasi berkurang karena lebih longgar lewat jalur lain. Ini relate dengan poin sebelumnya soal kalibrasi.

Ketiga, konsep sekolah favorit itu nggakpapa, nggak mungkin semua bisa setara apalagi kalau menghitung sekolah swasta. Makanya ada yang namanya akreditasi di mana untuk tiap tier ada standarnya. Pastikan akreditasi ini works: kriteria dibuat dengan benar dengan melibatkan ahli lalu penilaian dilakukan oleh asesor yang kompeten, independen, dibayar dengan baik, dan berani bilang jelek jika memang jelek. Kalau akreditasi benar-benar dijalankan, kita bisa ambil titik 'setara' di saat semua sekolah sudah terakreditasi A misalnya. Selanjutnya jika ada sekolah, guru, siswa yang ingin going extra miles ya silakan itu bagus. Pada jangka panjang kita berharap pendidikan se-Indonesia bisa bagus semua jadi perbedaan antara satu sekolah dengan sekolah lain hanya masalah alamat saja. Sekarang seberapa percaya masyarakat dengan akreditasi ketika kampus abal-abal nggak jelas aja bisa kasih gelar Dr HC?

Keempat, ini wildcard. Saya kepikiran, kan ada kuota jalur prestasi, kenapa yang jalur prestasi ini nggak pakai tes saja tapi semua orang boleh daftar regardless tinggal dimana? Dengan begitu yang masuk benar-benar tersaring, bukan berkat nilai raport yang nggak bisa dibandingkan satu sama lain karena yang ngasih nilai beda sekolah dan beda guru (di-incentivize ngatrol-ngatrol nilai juga). Toh nantinya di saat mau kuliah seleksinya ada yang dengan tes juga. 

***

Membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar, itu kan semangatnya. Lihat hasil UTBK SMA di Bantul tahun 2022 ini:

Traditional fav SMA 1 dan 2 turun, sementara yang lain naik. Tapi tidak ada yang lebih signifikan daripada SMAN 1 Sanden. Sanden ini adalah sebuah kecamatan di selatan Bantul yang saya sebut tadi, mepet pantai dan jauh dari kota, tapi terkenal pendidikannya bagus dan anaknya pinter-pinter. Balik ke soal hasil ujian SD, di kecamatan saya nilai tertingginya 27.27 (max 30.00) yang didapat teman sekelas saya. Sementara itu di Sanden adalah 28.80, ini nilai tertinggi se-Bantul tahun itu. Di tryout yang pesertanya 1100an tadi, ada sebuah SD negeri di Sanden yang 'mengirimkan' 5 siswa, 4 diantaranya masuk final 20 besar, that's BPK Penabur number. Di jenjang SMP, 1 Sanden dan 1 Bantul sudah wheel-to-wheel sejak dulu, kini saat zonasi diterapkan SMA di sana jadi sangat terkerek prestasinya. 

Saya sih berharap semoga di Bantul ekuilibrium antara zonasi dan meritokrasi ini sudah atau segera ketemu, jadi sekolah negeri di semua kecamatan bisa terkerek tanpa menyebabkan kemunduran pada sekolah yang sebelumnya sudah baik. Hasil di atas lumayan menaikkan optimisme karena banyak panah hijaunya. Cherrypicking? Maybe yes maybe no, tapi di 2021 lebih gila lagi, 400 peringkat naik wkwk. 

Sekarang menterinya baru, urusan dikdasmen juga dipisah dari dikti. Katanya menteri yang baru menjabat ini juga dipilih karena kompetensi (eks kepala BSNP) bukan konsesi. Mari berharap sambil tetap memberikan kritik konstruktif agar pendidikan di Indonesia semakin maju, semua orang punya akses pada pendidikan yang berkualitas, dan bakat-bakat dari kota besar maupun desa terpencil bisa terfasilitasi. Saya banyak pakai nilai-nilai eksak akademis di sini karena itu yang datanya paling mudah didapat, tapi bakat bukan cuma itu, ada banyak anak punya potensi di bidang seni, olahraga, leadership, bisnis, dan lain sebagainya yang semuanya adalah calon mutiara yang bisa dipoles.

Because while student is 20% of our population, they are 100% of our future - Prince Ea


Thanks,
Chandra

Visa Belanda



Meskipun punya hubungan sejarah, tidak lantas membuat orang dari Indonesia mendapat kemudahan untuk masuk ke Belanda. Pemegang paspor Indonesia tetap harus memiliki visa untuk berkunjung, apalagi jika akan menetap. 

Dalam hal orang-orang yang datang untuk bekerja, proses pencarian visa dan ijin tinggal bisa berbeda-beda. Ini sangat tergantung bagaimana orang tersebut memulai bekerja di Belanda. Saya sendiri kemarin direkrut lewat sebuah recruiting agency yang bersedia memberikan sponsor dan mengurus visa kerja serta ijin tinggal. Dalam kasus lain ada orang yang sudah kuliah di sini lalu lanjut bekerja. Ada juga orang yang datang dulu ke Eropa, dapat visa kerja, baru mencari pekerjaannya. Banyak jalan menuju Roma.

Waktu itu dalam kasus saya, setelah melalui serangkaian interview dan offering selayaknya proses melamar kerja di Indonesia, saya diminta untuk mengirimkan beberapa data dan dokumen, diantaranya:

Untuk diri saya:
1. Data pribadi: first name, surname, tanggal lahir, status perkawinan, alamat, no HP, etc
2. Scan paspor
3. Foto diri
4. Akta lahir dalam bahasa Inggris
5. Antecedent form, form pernyataan bahwa tidak pernah terlibat tindak kriminal atau tinggal secara ilegal

Untuk istri:
1. Data pribadi: first name, surname, tanggal lahir, status perkawinan, alamat, no HP, etc
2. Scan paspor
3. Sponsorship form, menyatakan bahwa dia berada dalam tanggungan saya
4. Akta lahir dalam bahasa Inggris 
5. Antecedent form
6. Buku nikah dalam bahasa Inggris

Jika sudah ada anak, maka dokumen berupa akta lahir, form sponsorship, dan paspor juga akan diminta. Untuk akta lahir dan buku nikah harus dalam bahasa inggris (minimal bilingual) dan di-apostille. Silakan cek apakah dokumen Anda sudah bilingual Indonesia-Inggris atau belum, jika sudah maka good to go tinggal di-apostille saja. Jika belum silakan cari penerjemah tersumpah atau untuk akta lahir bisa cetak ulang akta terbaru di dukcapil. Selanjutnya untuk proses apostille saya tuliskan secara lengkapnya di sini: Apostille

Setelah saya kirimkan data dan dokumen di atas, recruiting agency ini membuatkan kontrak resmi untuk signing, di sana tercantum data pribadi dan paspor saya sebagai ID. Karena sebelumnya saya sudah diberikan summary kontraknya, maka saat signing ya tinggal tanda tangan saja. Setelah itu dengan kontrak yang sudah di-sign, form-form imigrasi, akta lahir, dan buku nikah, rekruiter ini memulai pengajuan visa kami. Sejujurnya saya tidak tahu bagaimana persisnya pengajuan ini karena semuanya diurus oleh mereka. Mereka hanya bilang untuk menunggu selama beberapa minggu sampai approval keluar. Selama menunggu ya tidak ada hal-hal administratif yang dilakukan, paling nyicil browsing apartemen dan mengurus resign dari kantor lama.

Beberapa minggu kemudian approval dari IND (Instansi Imigrasi Belanda) keluar. Selanjutnya kami dibuatkan appointment untuk datang ke Kedubes Belanda di Jakarta serta memberikan list dokumen yang harus dibawa:

- MVV form yang sudah diisi
- 2 lembar pas foto 3.5 x 4.5 standar visa Belanda
- Surat dari IND
- Paspor asli dan copy, minimal valid sampai 6 bulan ke depan dan punya setidaknya 3 halaman kosong
- Buku nikah

Studio foto biasanya sudah paham dengan kriteria foto visa tiap-tiap negara, jadi cukup menyebutkan negara tujuannya apa mereka sudah tahu standarnya. Kami kemarin foto di Indah Foto Studio Pamulang, tapi cetaknya di Bona Foto Lebak Bulus. Kenapa foto dan cetaknya di tempat yang berbeda, panjang ceritanya. Alhamdulillah pas foto diterima dengan baik.

                      Bona Foto, recommended

Pada hari appointment kami datang ke Kedubes Belanda di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Saya menyarankan jika ada keperluan ke sana mending pakai taksi saja karena tidak ada parkiran kendaraan umum. The last thing you want to worry about when applying for a visa is your parkir motor/mobil. Pintu masuk kedubesnya via Jalan Besakih (samping) bukan Rasuna Said-nya, dan tentu well guarded. Kami datang agak kepagian jadi sebelum masuk makan mie ayam dulu di trotoar samping kedutaan.

Setelah melalui pemeriksaan badan dan barang bawaan, security menunjukkan jalan kemana kami harus menuju. Saya tidak bisa banyak cerita seperti apa di dalam apalagi mengambil foto, for security reason. Tapi proses di sana lumayan singkat, sekitar 15 menit saja per orang, ada beberapa pertanyaan dan pengambilan biometrik. Paspor asli ditinggal karena nantinya akan ditempeli stiker MVV (ijin masuk Belanda). Kami diberikan receipt untuk nantinya mengambil paspor yang selesai diproses pada tanggal yang sudah ditentukan, tanpa perlu membuat appointment lagi. 

Pemandangan dari ruang tunggu Kedubes Belanda di Jakarta, bagian ini masih boleh difoto



Pada hari pengambilan kami datang lagi ke tempat yang sama. Alhamdulillah paspor sudah berstiker MVV yang artinya kami punya ijin masuk ke Belanda sampai 90 hari ke depan. Ibaratnya pintu terbuka selama 90 hari, tapi jika dalam waktu segitu belum berangkat juga maka harus mengulang proses pengajuannya. Setelah itu kami mampir dulu ke Erasmus Huis, sebuah perpustakaan yang ada di dalam komplek kedubes Belanda, sekedar untuk blow off steam karena proses ini lebih menegangkan aslinya daripada kedengarannya.

Untuk setiap proses saya selalu report ke perusahaan, supaya mereka tahu sudah sampai mana. Bukan hanya urusan administrasi tapi juga akomodasi seperti apartemen, tiket pesawat, hotel transit, dan jemputan bandara. Kami diskusi tanggal berapa sebaiknya kami datang ke Belanda, akhirnya diputuskan berangkat beberapa hari sebelum mulai bekerja. Untuk apartemen saya dapat short term place yang saya huni selama 3 bulan di Nijmegen (sekarang sudah pindah). Penerbangannya kami pilih Emirates karena transit di Dubai dan harganya termasuk murah. Beberapa komponen moving cost ditanggung perusahaan, jadi dalam waktu menunggu berangkat ini kami juga men-settle beberapa expense. Selain itu saya juga lanjut mengurus resign dan yang paling seru adalah menjual barang-barang mulai dari raket badminton, sepatu roda, kasur, meja kursi, lemari, kulkas, sampai kendaraan. 

Pada hari H kami berangkat dari Bandara Soekarno Hatta diantar keluarga. Kami tidak pulang ke Jogja dulu, jadi orang tua yang datang ke Jakarta. Penerbangan dari Jakarta ke Dubai menggunakan Boeing 777, lalu dari Dubai ke Amsterdam naik Airbus 380. Sebagai penghobi penerbangan, sulit mendeskripsikan kekaguman pada 2 pesawat raksasa ini, engineering marvel. Belum lagi sistem entertainment yang lengkap dan makanan yang enak. Semua itu untuk harga yang lebih murah dibanding banyak maskapai lain.

                        A380 dan suguhannya


Kami tiba di Schiphol Amsterdam sekitar jam 1 siang waktu Belanda. Proses immigration check-nya agak lama, mungkin karena musim orang liburan. Setelah keluar bandara kami sudah dipesankan taksi oleh perusahaan yang akan mengantar kami ke hotel. Kami tidak langsung ke Nijmegen karena perlu mengambil resident permit dulu di suatu Kota. Sampai di hotel kami langsung check in dan ketemu salah satu orang dari pihak rekruiter. Dia menyerahkan kartu untuk naik transportasi umum dan ada beberapa paperwork yang perlu saya bubuhkan tanda tangan basah. 

                     Pagi pertama di Belanda


Keesokan harinya kami sudah dibuatkan appointment untuk datang ke kantor pemerintah untuk mengambil residence permit. Bentuknya seperti KTP, menjelaskan siapa kami dan untuk alasan apa kami masuk dan tinggal di Belanda. Setelah data-data dan paspor dicek, kartu diberikan ke kami. Apakah dengan begitu urusan kependudukan selesai? Oh tentu saja belum.

Ada appointment berikutnya dengan Gemeente Nijmegen, kurang lebih untuk mendaftarkan diri sebagai warga baru. Kami datang membawa paspor, permit, akta english yang sudah diapostille, dan buku nikah yang juga sudah diapostille. Urusan-urusan kependudukan di sini kebanyakan appointment-based dan sudah ditentukan waktunya sampai per 15 menit, jadi tidak perlu antri lama karena tinggal datang di waktu yang sudah ditentukan. Beberapa hari setelah appointment ini, kami mendapat surat berisi konfirmasi bahwa kami sudah terdaftar dan informasi nomor BSN. 

             Tipikal loket di kantor layanan publik

BSN ini seperti NIK yang nantinya diperlukan untuk membuka rekening bank, mengambil asuransi, dan lain sebagainya. Jadi setelah mendapatkannya saya segera membuka rekening bank 'besar' supaya bisa dipakai gajian sejak bulan pertama. BSN ini juga saya informasikan ke perusahaan karena diperlukan untuk urusan pajak dan lain-lain. Selanjutnya saya juga subscribe asuransi untuk saya dan istri karena ini sifatnya wajib untuk seluruh penduduk. Untungnya di Nijmegen ini tempat yang kami huni sudah full furnished dan full utility sehingga saya tidak perlu buru-buru beli barang-barang dan mengurus tagihan listrik, air, pajak kota, dan internet/TV. 

Appointment selanjutnya adalah untuk tes TBC. Jadi pendatang dari negara-negara yang masih beresiko TBC perlu menjalani screening di Belanda dalam kurun waktu 3 bulan sejak kedatangan. Untuk yang ini saya buat appointment sendiri, bukan seperti appointment-appointment sebelumnya yang dibuatkan oleh perusahaan. Tes TBC dilakukan di GGD, semacam dinas kesehatannya lah. Saya membuat janji dengan GGD Gelderland Zuid di Nijmegen. Untuk orang dewasa metodenya bisa milih antara rontgen atau tes darah. Kami pilih tes darah karena cukup dilakukan 1 kali, sementara jika rontgen besok setelah 6 bulan harus balik lagi. Alhamdulillah hasil tes kami negatif.

Kini kami sudah tidak tinggal di Nijmegen lagi. Dalam proses pindah ini ada urusan dengan Gemeente lagi tapi kali ini bisa online (ada sebuah aplikasi/sistem bernama DigId yang memfasilitasi berbagai macam urusan kependudukan secara online, sangat convenient). Proses ini intinya melaporkan bahwa kita pindah dari alamat lama ke alamat baru. Urusan ini relatif mudah dan cepat, yang lebih menguras tenaga dan waktu justru proses menyiapkan tempat tinggal. Tempat baru yang lebih permanen ini dideliver secara semi-furnished, sudah ada kamar mandi dan dapur yang fungsional tapi perabot lain belum ada. Jadi kami harus membeli beberapa furnitur, pasang internet, dan register account untuk utility. Masih ada urusan yang pending tapi itu bisa nanti, berat juga kalau semua mau diurus bersamaan.

Itu tadi proses yang kami lalui sejauh ini dalam rangka masuk ke Belanda, secara legal tentunya. Balik lagi ke disclaimer di atas, beda kondisi bisa beda pula alurnya. Beda waktu juga bisa membuat alur pengurusan jadi berbeda karena perubahan kebijakan dan regulasi. Ada banyak orang menulis ceritanya masing-masing, ini salah satu yang saya baca waktu itu : Suka Duka Mendapatkan Long Stay Visa. Silakan dicompile dari berbagai sumber, InsyaAllah terbantu.

Beberapa detail dalam perjalanan saya sengaja saya samarkan untuk alasan privacy dan security, tapi kalau saya ditanya langsung dengan senang hati akan coba saya jawab. Semoga bermanfaat.

Thanks
Chandra



#visa #belanda #mvv #longstay #residencepermit #nijmegen #GGD #kedubesbelandajakarta #gemeente #BSN #recruting #netherlands



Fiets Gazelle


Saya sudah mendengar bahwa ada banyak kemiripan kata dari bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia atau Jawa, tapi saya tidak menyangka ada bidang-bidang tertentu yang kemiripannya bukan main. 

Saya kemarin lewat sebuah kawasan berisi beberapa bengkel dan pusat suku cadang mobil. Dari situ saya tahu asbabun nuzul kita di Indonesia menyebut bagian yang berputar dari kendaraan itu ban dan velg. Dalam bahasa Inggris mereka disebutnya tyre dan rims, namun dalam bahasa Belanda ternyata namanya band (banden) dan velg (velgen). Bukan hanya itu, sebutan rem itu juga Dutch, bahkan penulisannya sama, sementara per (pegas) itu dari kata veer. Istilah onderdil juga berasal dari kata onderdeel, sedangkan reting (lampu sein) mirip dengan richting dalam Dutch yang artinya arah. 


Pernah dengar orang-orang tua nyebut kata 'atret' yang artinya memundurkan mobil? Nah dalam bahasa Belanda sebutannya achteruit. Masih banyak yang lain, persneling dari versnelling (dalam English gear), kopling dari koppeling (dalam English clutch), rem tromol dari trommelrem (dalam English drum brake). Bengkel mungkin terinspirasi dari winkel, walaupun winkel punya arti lebih luas sebagai shop. Larangan lewat suatu jalan biasa disebut verboden, itu mentah-mentah copy dari bahasa Belanda. Jalan itu sendiri bahasa sininya weg, makanya di Jogja ada tempat namanya Kewek, itu berasal dari Kerkweg, yang artinya jalan menuju gereja (kerk), mungkin maksudnya yang di Kotabaru. Banyaknya kesamaan ini membuat saya menduga pertukaran budaya banyak terjadi waktu orang dulu berurusan tentang kendaraan dan transportasi. 

Tempat lain di mana banyak kesamaan adalah tempat-tempat di mana terjadi urusan ekonomi. Kita menyebut kantor itu serapan dari kantoor, makelar berasal dari makelaar, dan maskapai dari maatschappij. Tiga kata itu jauh sekali dari kata office, broker, dan carrier, maka tidak mungkin diambil dari English, pasti Dutch. Bicara soal harga, gratis dan korting itu tulisannya plek ketiplek dalam bahasa Belanda. Membeli secara tunai disebutnya contant (jadi kontan), dan bukti pembelian di toko namanya bon. Bapak saya kalau bilang tanda tangan masih teken, dalam Dutch sebutannya handtekening. Sama halnya ketika menyebut menelepon sebagai ngebel, bel berarti call di sini.



Saya dulu merasa heran mendengar istilah paklaring, tidak terdengar seperti kata dalam bahasa Indonesia ataupun Inggris, ternyata itu berasal dari kata bahasa Belanda verklaring yang artinya surat keterangan. Dalam perbankan ada istilah inkaso (collection), itu berasal dari incasso. Sementara itu rekening ditulis serupa dalam bahasa Indonesia dan Belanda.

Banyaknya kesamaan ini entah kenapa melemparkan pikiran saya pada sebuah pasar tradisional dekat rumah. Terutama pada deretan bapak-bapak dan pakde-pakde yang menjual perkakas lanang seperti onderdil sepeda, motor, senter, lampu, dan lain sebagainya yang memanjang di kanan kiri jalan sampai ratusan meter dari pasar. Lalu ada seorang mbah kakung yang datang melihat-lihat dengan menaiki fiets Gazelle-nya.


Salam,
Chandra

Sumber gambar dari google, oleh pemilik usaha masing-masing (Zaanse Banden Centrum dan Makelaar Bert)

Firasat



Bicara soal liga sepakbola di Eropa, top of mind-nya tentu saja Liga Inggris dan Italia, mungkin ditambah Spanyol. Setelah itu baru Belanda dan Jerman yang punya beberapa tim besar seperti Bayern Munich dan Ajax Amsterdam. Tapi buat saya entah bagaimana Liga Belanda justru lebih nempel dibanding yang lain, hanya kalah dengan Liga Inggris yang memang saya ikuti tiap minggunya. Jaman-jamannya PS1, PS2, PES 2013 dulu kalau mau coba main pakai tim 'medioker' saya sering pilih PSV Eindhoven dengan ujung tombaknya Jefferson Farfan, inget banget. Dari situ saya tahu hubungan Phillips dengan PSV, walaupun saya belum tahu Eindhoven itu dimana tepatnya. 

Nama Amsterdam dan Den Haag saya tahu dari buku pelajaran IPS, tapi kota-kota lain seperti (NEC) Nijmegen, (Feyenoord) Rotterdam, (Vitesse) Arnhem, (NAC) Breda, (VVV) Venlo, (AZ) Alkmaar, (RKC) Waalwijk, (FC) Groningen, dan (FC) Twente, sampai (FC) Volendam ya saya dapatnya dari bola. Tahun lalu saat Volendam masih di Eredivisie saya sempat nonton siaran langsung pertandingannya di TV. Kok ya ndilalah TVRI Sport beli hak siar Liga Belanda jadi bisa ditonton dari TV Indonesia, ini ada fotonya:


Kemarin saya harus memutuskan mau pasang internet pakai provider apa. Nggak sulit bagi saya untuk memutuskan subscribe ke Ziggo karena itu satu-satunya provider yang pernah saya dengar namanya, lagi-lagi dari bola. Ziggo saat ini jadi sponsor Ajax, sementara joint venture-nya Vodafone semua orang juga tahu pernah pasang logo di jersey MU. KPN dan Odido bisa jadi bagus juga, tapi buat saya belum familiar saja karena baru saya dengar saat di sini. 

Ini mungkin bukti suksesnya marketing Ziggo atau sayanya saja yang gampang kemakan iklan. Tapi lebih dalam ya sepertinya memang jodohnya dengan Ziggo. Katanya keberuntungan itu adalah bertemunya persiapan dan kesempatan. Nggak nyangka ternyata jam-jam main PES dan nonton bola saat itu bisa di-log sebagai 'persiapan' kini setelah kesempatan relokasi ini datang. Sebab dengan begitu urusan per-wifi-an yang sangat krusial dalam perkara remote working ini jadi lebih mudah dibereskan. 


Keakraban saya dengan sepakbola Belanda ini cuma salah satu dari beberapa 'firasat' yang baru saya sadari sekarang. Dua tahun terakhir saya suka ngobrol soal peninggalan masa kolonial di Indonesia, kebetulan ada teman yang punya interest yang sama. Topiknya mulai dari jembatan tua, bekas pabrik gula, rel kereta, stasiun, bekas landhuis, dan lain sebagainya. Di YouTube ada video TEDx soal Stasiun Radio Malabar di Bandung selatan yang keren banget, ini salah satu video yang saya tonton berulang-ulang sejak dulu. Di Instagram juga ada akun mfatoni86 yang mengunggah situs-situs peninggalan Belanda dan keadaannya sekarang serta rizki.rmadhani yang membahas tempat-tempat di Jabodetabek dan asal usulnya yang kalau dirunut banyak berhubungan dengan masa kolonial. 



Saya juga sempat melakukan sedikit eksplorasi soal lukisan Pangeran Diponegoro setelah nonton film Mencuri Raden Saleh. Ternyata lukisan itu ada 2 versi, versi pertama adalah karya Raden Saleh dimana orang-orang Belanda-nya dilukis secara *redacted*. Lalu versi lainnya dilukis oleh Nicolaas Pieneman yang tentu saja mengambil POV Belanda. Topik-topik seperti ini entah kenapa menjadi minat saya beberapa waktu terakhir padahal saat itu sama sekali belum ada bayangan akan pindah kesini. 

Saya ternganga lebar waktu menemukan bahwa jembatan kereta bekas Belanda pada video mfatoni86 di atas hanya berjarak 150 meter dari kantor imigrasi Wonosobo. Yang mana itu adalah kantor imigrasi satu-satunya di sekitar DIY yang memungkinkan saya untuk membuat paspor untuk ke Belanda di hari pertama setelah libur lebaran. I can't believe my eyes waktu melewati terowongan itu. Ya Allah..




Waktu sampai sini makin banyak easter egg yang saya temui. Take out-nya sih saya pikir ya memang harus begitu jalannya kali ya. Setelah enam tahun di Bandung terasa cukup lalu pindah ke Jakarta. Lalu lima tahun setelahnya sudah selesai yang ingin dilakukan di Jakarta lalu pindah ke Belanda. Saya masih antara percaya tidak percaya dengan firasat. Tapi saya lebih yakin bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan. Kadang saya memalingkan muka ketika di jalan melihat sebuah klinik, karena saya tidak ingin tahu klinik ada di mana, karena saya tidak ingin sakit. Ini karena saking seringnya ketemu momen 'oh yang dulu itu gunanya ini'.

Kenapa mendaftar beberapa beasiswa dan gagal semua.  Kenapa T&ES tutup dan CommBank merger.  Kenapa (baru) kebeli mobil di 2 tahun usia pernikahan. Kenapa harus ke Jakarta dulu. Kenapa harus ngekos di Ciledug dulu. Kenapa ketemu orang-orang tertentu. Kenapa pergi ke tempat-tempat tertentu. Kenapa memilih ini bukan itu. Kenapa harus dapat masalah dulu. Kenapa harus kena humbling dulu. Kenapa harus A dulu, lalu B, baru C. At the end it falls in perfect fit.

Elingo sliramu marang embun enjang kang prasaja
Nemoni sliramu tumekaning cahya
Ingatkah engkau kepada angin yang berhembus mesra
Yang 'kan membelaimu, cinta 


Thanks
Chandra