Bank Sampah



Saya pernah dengar ada beberapa inisiatif 'Bank Sampah' di Jogja. Tapi sifatnya masih sporadis, di titik tertentu saja, dan tergantung pada beberapa individu yang menjadi inisiator atau pengelolanya. Sementara itu kini saya menemukan ternyata di Belanda sistem menukar sampah dengan uang ini sudah ada dan berjalan nation-wide. Mungkin di negara EU lain juga sudah ada, tapi karena saya belum kemana-mana jadi belum bisa cerita.

Bentuk 'Bank Sampah' di Belanda beda dengan yang ada di Indonesia. Sesungguhnya sistem yang digunakan sangat sederhana, yaitu memberi harga untuk botol plastik kosong. Jadi setiap membeli minuman kemasan, selain membayar harga minuman tersebut kita juga akan kena charge 15c (0.15euro) untuk kemasan 500ml dan 25c (0.25euro) untuk kemasan 1 liter (kalau ndak salah). Ini memang menambah harga yang harus dibayar, tapi kemudian ketika minumannya habis botol tersebut bisa ditukar lagi menjadi uang. Jadi sistemnya deposit atau di sini disebut statiegeld. Ini adalah contoh saat saya membeli teh botol, ada tambahan statiegeld 0.15 di sana.


Apa yang terjadi kemudian? Orang jadi punya motivasi untuk mengumpulkan botol dan kaleng kosong lalu disetorkan kembali melalui mesin yang ada di jaringan supermarket dan stasiun kereta. Kalaupun tidak berminat menukarnya sendiri, botol bisa dibuang ke tempat sampah kering karena nanti akan ada orang yang mengambil untuk ditukarkan. Pada akhirnya, jalanan relatif bebas dari sampah botol dan kaleng, yah walaupun sampah lain tetap ada ya. Di bawah ini adalah bentuk mesin botol dan kaleng di Albert Heijn dan Stasiun Utrecht Centraal.



Ada beberapa syarat agar botol bekas dapat ditukar, yaitu ada logo statiegeld pada botolnya, barcode masih bisa discan, kemasan dalam kondisi baik, serta botol masih bersama dengan tutupnya. Untuk mendukung sistem ini tampaknya tutup botol di Belanda didesain sedemikian rupa sehingga sulit lepas dari botolnya. Dulu saya pikir ini desain jelek, ternyata ini fitur.


Apakah sistem yang sama bisa diterapkan di Indonesia? Bisa, tapi agak sulit menurut saya. Desain tutup botol bisa diubah dan mesin botolnya bisa dibuat/dibeli. Tapi Indonesia itu luas sekali dan kebijakan seperti ini tidak bisa diterapkan hanya di daerah tertentu saja karena nanti harga barang di daerah A bisa beda dengan daerah B, cenderungnya massa akan bergerak ke yang lebih murah. Kedua, mayoritas minuman kemasan dijual lewat usaha umkm, apa iya warung madura mau disuruh narik pungutan harga botol juga? Ketiga, walaupun inisiatif ini tampak sederhana tapi untuk diterapkan di negara sebesar dan berpenduduk sebanyak Indonesia butuh itikad dari pemerintah dan DPR. Hal-hal seperti ini yang perlu dicatat oleh anggota dewan saat studi banding ke luar negeri pakai uang rakyat.

Salam, tulisan ini tidak disponsori oleh Albert Heijn
Chandra

0 comments :

Post a Comment