Supaya Jadi Tempat Bertanya


Pada 1982, perusahaan farmasi dari Amerika Johnson & Johnson didera skandal. Salah satu produknya yang bernama Tylenol tercemar sianida hingga mengakibatkan jatuhnya beberapa korban jiwa di Chicago. Mereka tidak tahu apa penyebabnya dan seberapa jauh kontaminasi ini terjadi. FBI dan FDA (badan POM-nya Amerika) menyarankan untuk melakukan recall terbatas pada Tylenol yang ada di Chicago saja, mereka tidak merekomendasikan untuk melakukan recall nasional karena tidak ada laporan korban di daerah lain, selain itu recall besar-besaran bisa mengakibatkan kepanikan publik.

Di luar dugaan Johnson & Johnson mengabaikan saran itu, mereka memutuskan untuk merecall semua Tylenol yang ada di seluruh Amerika walaupun itu berarti mereka harus merogoh kocek tambahan hingga 100 juta dollar. Seluruh sumber daya perusahaan bergerak menangani krisis ini, banyak pegawai mengerjakan pekerjaan yang biasanya bukan tanggung jawab mereka. Pada akhirnya krisis berlalu dan secara mengejutkan brand Tylenol masih bisa comeback dan laku di pasaran dengan kemasan baru yang lebih aman. Respon krisis Tylenol ini menjadi golden standard penanganan krisis di seluruh dunia.

Respon atas kasus Tylenol bukan semata-mata karena tim PR yang brilian, sesungguhnyalah mereka malah tidak punya PR yang proper saat itu. Tapi Johnson & Johnson adalah perusahaan matang yang bertahun-tahun memegang teguh visi dari founding fathers-nya yang dituangkan dalam sebuah Credo. Visi yang mengakar itu menjadi dasar para top management mengambil keputusan penanganan krisis yang brilian. Berikut penggalan Credo Johnson & Johnson yang jadi dasar dalam mereka berbuat: 

We believe our first responsibility is to doctors, nurses, and patiens; to mothers and fathers and all others who use our products and service.

Credo itu ditulis pada tahun 1943 oleh Robert Wood Johnson. Secara keseluruhan Credo-nya berparagraf-paragraf. Tapi intinya menekankan prioritas Johnson & Johnson secara berurutan adalah: (1) Customers, (2) Employees, (3) Community, (4) Company Stockholders. Yang spesial adalah kalimat-kalimat ini dibicarakan berulang-ulang, ditempel di mana-mana, dan sering diucapkan hingga orang-orang di perusahaan itu menyadari bahwa Credo ini sesuatu, lalu memengaruhi mereka dalam berperilaku dan mengambil keputusan. Credo ini tidak dianggap sebagai corporate buzzword dan tempelan dinding belaka.

Kisah di atas adalah salah satu kisah yang dibahas dalam buku The Culture Code karya Daniel Coyle. Buku ini ditulis berdasarkan penelitian penulis selama 4 tahun di banyak perusahaan dan kelompok yang berhasil di bidangnya. Ada tiga resep menghasilkan kelompok yang sukses yaitu build safety, share vulnerability, dan establish purpose. 

Penjelasan dari dua poin yang pertama, build safety dan share vulnerability, membuat saya ngeh kenapa ada pertemanan yang seru tapi ada juga yang layu. Itu bukan masalah orangnya kurang baik hati, tapi dalam pertemanan itu ada barrier, ada koneksi yang nggak nyambung, ada sinyal dan cue yang hilang, dan ada jaim-jaiman. Lalu juga kenapa ada tim yang sukses dan yang tidak padahal secara kemampuan teknis hampir sama. Tim yang sering ngobrol, evaluasi, bertukar feedback, dan saling terbuka cenderung lebih berhasil daripada yang saling diam karena menghindari konflik dan awkwardness dalam tim. Saling terbuka -> tahu kekurangannya dimana -> cepat diperbaiki. 

Namun poin ketiga agak berbeda, semua orang juga tahu kalau sebuah kelompok perlu tujuan bersama, establish purpose. Yang saya tidak sangka adalah bagaimana caranya kelompok-kelompok yang sukses itu menghadirkan tujuan yang sama pada seluruh anggotanya. Ternyata cara menanamkan tujuan dan nilai adalah sesederhana dengan mengulanginya terus menerus. Catchprase, motto perusahaan, visi misi, dan jargon ternyata benar-benar ada gunanya. Sungguh dulu saya pikir motto perusahaan itu sekedar omon-omon dan kata mutiara dari CEO dan Direksi saja. 



Membaca buku ini membuat saya ingat pernah bekerja di sebuah perusahaan yang saya tidak yakin perusahaan itu punya motto atau tidak. Kalaupun ada sepertinya hanya 1 kalimat yang kurang catchy. Business as usual sih jalan dengan normal, perusahaan tetap mencetak laba, dan tidak ada krisis seperti Johnson & Johnson tadi. Tapi saat resign dari sana jadi ada kegamangan apakah selama disitu saya sudah melakukan sesuatu yang benar dan meaningful karena saya tidak tahu tujuan dan arah besarnya mau kemana selain performance review tahunan.

Saya ingat di sekolah dulu ada papan bertuliskan 'Wawasan Wiyatamandala', sekolah kalian mungkin juga ada. Terus terang saya tidak ingat satu pun isinya karena tidak pernah dibahas dan dibicarakan. Agak berbeda ketika kuliah, ada kalimat yang mungkin diingat banyak mahasiswa:

supaya kampus ini menjadi tempat bertanya dan harus ada jawabnya. 

Kalimat yang terpatri di Plaza Widya Nusantara (PlaWid) ini ditulis oleh Prof Wiranto Arismunandar, mantan rektor ITB. Sebenarnya secara lengkap ada beberapa kalimat, tapi hanya satu itu yang paling saya ingat. Tentu diingat bersama tulisan di tugu sebelahnya: 'Sekali teman tetap teman', yang ini mungkin maksudnya solidaritas tapi malah sering dibercandai mahasiswa sebagai friendzone.

sumber: aryansah.wordpress.com


Walaupun mengingatnya, saya pribadi merasa kalimat itu terlalu berat untuk mahasiswa dan baru merasakan manfaatnya beberapa tahun setelahnya. Saya merasa dalam dunia profesional orang boleh tidak tahu tapi tidak boleh diam tanpa jawaban sama sekali. Yang diharapkan dari seseorang ketika mendapat pertanyaan atau tantangan adalah, ya jawaban. Entah itu bentuknya inquiry, target, request, atau apapun mesti ada jawabnya. Jika harus menjawab tidak tahu atau belum mampu memenuhi target yang ditetapkan, sebisa mungkin dapat menjelaskan kenapa, apa yang salah, dan apa yang bisa dilakukan supaya lebih baik lain waktu. 

Lagipula semakin menua semakin sadar bahwa yang dicari bukan kesempurnaan. Ini mungkin salah satu prinsip penting yang saya pelajari selama kuliah. Reasoning dan limit adalah hal yang banyak ditekankan terutama di semester-semester akhir. Beda dengan TPB yang banyak tugasnya mengejar nilai 100, di semester akhir-akhir justru ditunjukkan dunia nyata tidak bekerja seperti itu. Ada limit atas sesuatu: material akan patah pada batas tertentu, bahan bakar akan habis setelah jarak atau waktu tertentu, beberapa unsur tidak bisa disatukan, menambah fitur sama dengan menambah kerumitan dan biaya, etc etc. Pemahaman seperti ini di-drill terus menerus sampai terbiasa. Menurut saya inilah fungsinya universitas, membentuk cara berpikir dan menjawab. Saya yakin ini juga diajarkan di kampus-kampus lain, nggak ekslusif di tempat saya belajar. Yang saya syukuri adalah di ITB gagasan ini tertuang sampai level 'ideologi' berupa Plaza Widya Nusantara tadi.


Kembali ke bahasan buku The Culture Code dan isinya. Bagi kalian yang suka dengan karya Malcolm Gladwell seperti Blink, Outliers, dan Tipping Point, saya jamin cocok membaca buku ini. Risetnya sama mendalam, cara penyampaiannya serupa, hipotesisnya menarik, penarikan kesimpulannya bold, dan melibatkan riset di perusahaan dan tim ternama seperti Navy SEALs, San Antonio Spurs, sampai IDEO.

Tapi ada hal yang menurut saya kurang dibahas dalam buku The Culture Code ini. Jadi buku ini berbicara tentang faktor tak terlihat yang mendasari hubungan antar manusia dalam sebuah kelompok, faktor tersebut dinamai cue. Cue ini yang sehari-hari sering kita bilang sebagai kesan, chemistry, frekuensi, atau (se)kufu'. Penulis menjelaskan dengan baik apa itu cue tapi tidak cukup menjabarkan darimana datangnya cue ini. Apakah kesamaan suku dan bahasa? Apakah faktor pernah sekolah di tempat yang sama? Apakah karena kesamaan generasi/usia? Atau apa? Lalu saya juga tidak menemukan jawaban apakah 'warna' cue ini bawaan atau bisa kita ubah sesuai keadaan.

Terakhir tentang jargon dan motto. Kalau di Indonesia, corporate motto yang kena di saya adalah "Benar Sejak Awal". Sederhana banget kalimatnya tapi kalau dipikir baik-baik dan dilakukan semua orang efeknya bisa sangat besar bagi sebuah institusi: menghindari perulangan kerja, mengurangi koreksi yang tidak perlu, memastikan on-time delivery, menjaga kondisi mood team, dan pada akhirnya semestinya bisa meningkatkan performa.

Mari senantiasa belajar, semoga dimudahkan.
Sekian dan terimakasih..

Salam,
Chandra

0 comments :

Post a Comment