Pasar Malam di Belanda


Coba lihat foto-foto di bawah ini, berasa kaya di Bantul Expo kan ya. 'Pendudukan' Belanda di Indonesia dan Suriname ternyata punya efek yang besar sampai sekarang. Secara jumlah, migran terbanyak di sini memang dari Turki, tapi secara kebudayaan budaya Indonesia (terutama Maluku dan Jawa) lebih terasa menempel dan berterima di masyarakat sini. Salah satu produknya adalah adanya event seperti ini yang diadakan rutin di banyak kota bergiliran, event ini secara literal dinamai pakai bahasa Indonesia: Pasar Malam Istimewa. Foto-foto di tulisan ini saya ambil di pasar malam di Dordrecht hari minggu lalu.










Banyak batik, suvenir, hiasan rumah, sampai guling di jual di tempat ini. Ada juga pernak-pernik khas Suriname yang saya belum terlalu familiar. Sebagian besar penjualnya adalah orang Indonesia atau Suriname asli atau keturunan, plus ada yang bersama pasangan/teman/pegawainya yang orang sini. Kita bisa bertanya atau memesan dalam bahasa Indonesia, bahkan kemarin saya lihat ada yang mau bayar pakai uang rupiah. Selain barang-barang itu banyak juga stand yang menjual makanan seperti martabak (posisinya paling depan, mengingatkan saya pada martabak popular di sekaten), gorengan, sate-satean, bumbu-bumbu, dan makanan berat. Yang bakar sate dan bikin martabak ya orang kita-kita juga.






Meriah sekali acara ini, benar-benar seperti pasar malam di Indonesia. Ada panggung dan sempat ada band yang nyanyi, saya menduga yang tampil adalah keturunan Maluku. Orang lokal sini juga menikmati pertunjukan ini, bagusnya mereka begitu sambil makan pisang goreng bukan minum bir. Meskipun di gambar ini tampak masih siang, sebenarnya ini sudah lebih dari jam 6 sore. Walaupun masih terang jam-jam segini sudah dianggap malam, makan jam segini tetap disebut dinner bukan makan sore.

Saya lihat ada yang menarik di salah satu stand, mereka menjual memorabilia dari Ibu Wieteke van Dort atau yang juga disapa Tante Lien. Beliau adalah yang mempopulerkan lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng (Give Me Nasi Goreng) yang menjadi ikon 'hubungan' budaya Indonesia-Belanda. Lagu ini sudah dibawakan ulang oleh banyak musisi dan menjadi semacam folk song.




Saya sempat ngobrol santai dengan seorang teman dari Amerika Selatan soal 'colonization'. Konsensusnya adalah ya penjajahan itu menyengsarakan, kita tidak ingin itu terjadi pada negara manapun. Penjajahan terbukti mengubah secara drastis cara hidup suatu masyarakat. Di Amerika Selatan pengaruh paling jelas adalah bahasa Spanyol yang digunakan banyak negara yang merupakan bekas jajahan Spanyol. Pada akhirnya it's behind us, kita bisa menghormati dan berdoa untuk pejuang kemerdekaan, tapi kita tidak bisa mengubah masa lalu. Buat dia sekarang efeknya adalah setiap ketemu orang dari Latam (latin america) negara manapun selain Brazil dia bisa bicara bahasa Spanyol walaupun beda negara (dia dari Kolombia), feels more like home katanya. Buat kita ya hasilnya hubungan budaya yang unik antara Indonesia-Belanda-Suriname ini, tiga negara di belahan bumi yang berbeda. Karena masa lalu itulah Pakde Didi Kempot bisa sampai membuat lagu judulnya Angin Paramaribo.

P.S. Saya belum dapat kesempatan ngobrol dengan orang Suriname, kalau suatu waktu ketemu pengen saya ajak ngomong bahasa Jawa.


Salam,
Chandra

0 comments :

Post a Comment