Masjid Indonesia



Setelah dua minggu lalu saya mampir Den Haag sebentar usai berkunjung ke Naturalis Biodiversity Center di Leiden (ceritanya di sini), hari Sabtu kemarin saya ke Den Haag lagi untuk menjelajahi lebih banyak kota ini, kali ini berdua bersama istri. Kami punya tiga tujuan utama yaitu mencoba makanan Indonesia di salah satu restoran, jalan-jalan di pusat kota Den Haag, dan mampir salat di masjid Indonesia yang ada di sana. 

Perlu teman-teman ketahui, saat ini kami tinggal di Nijmegen, kota yang tidak terlalu besar dan terletak dekat dengan perbatasan Jerman. Tidak banyak orang Indonesia di kota ini sehingga setelah sebulan di sini kadang kami rindu ngobrol bahasa Indonesia. Sementara Den Haag adalah kota global dan sangat multikultural karena kota ini menjadi 'interface' antara Belanda dan negara lain di seluruh dunia. Banyak kantor organisasi internasional dan kedutaan-kedutaan besar di sana, termasuk kedubes Indonesia. Jarak antara Nijmegen dengan Den Haag adalah sekitar 2 jam perjalanan menggunakan kereta Intercity.


Kami tiba di stasiun Den Haag Centraal sekitar jam 1 siang dan langsung berjalan kaki menuju sebuah rumah makan Indonesia bernama Praboemoelih. Rumah makan ini dikelola oleh keluarga Indonesia dan menyajikan dua menu yang kami inginkan yaitu nasi rames dan pempek. Kami juga memesan es cendol sebagai dessert. Selama di sana saya lihat sebagian besar pengunjung adalah diaspora Indonesia, hanya ada satu dua pengunjung yang saya lihat memesan dengan bahasa Inggris atau Belanda. Kalau dibandingkan dengan Warung Barokah di Amsterdam yang pernah kami coba sebelumnya, Praboemoelih ini punya tempat yang lebih besar dan nyaman, namun secara makanan saya nilai sama enaknya. Warung Barokah menang tipis di harga dan porsinya yang lebih banyak.


Selesai makan kami berjalan di sekitar Centrum Den Haag. Kami mampir ke Toko Ming Kee, sebuah tempat yang menjual berbagai masakan, jajanan, bumbu-bumbu, dan minuman Indonesia yang dikelola keluarga Tionghoa. Kami membeli kue lapis atau yang biasa disebut spekkoek sebagai bekal jalan-jalan. Selanjutnya kami mampir ke masjid Turki yang ada di dekat sana untuk salat Dzuhur. Masjid Indonesia sendiri lokasinya agak berjarak dari Centrum, perlu naik tram untuk kesana jadi kami rencanakan untuk mampirnya nanti saja. 


Sebagai konteks, di musim panas seperti sekarang ini siang hari di Belanda panjang, matahari terbit jam setengah 4 pagi dan terbenam setengah 10 malam, dzuhur di jam setengah 2 siang, dan ashar di jam 6 sore. Dulu awalnya saya merasa aneh melihat jam 9 'malam' tapi hari masih terang, tapi kini mulai merasa nyaman karena siang harinya jadi bisa diisi banyak kegiatan. Saya masih menantikan seperti apa winter nanti, katanya siangnya cuma dari jam 8 pagi sampai 4 sore. 

Di pusat kota Den Haag kami coba masuk beberapa toko, sekedar lihat-lihat tapi nggak beli apa-apa kecuali kacang atom dua kelinci di gerai 'Amazing Oriental', jaringan supermarket yang menjual berbagai barang impor dari Asia, termasuk Indonesia. Setelah itu kami masih punya waktu untuk jalan-jalan, kami manfaatkan untuk pergi ke Scheveningen sebentar. Scheveningen adalah kawasan pantai di pinggiran Den Haag, dari Scheveningen cukup satu kali pakai tram nomor 9 untuk sampai ke dekat Masjid Indonesia Den Haag yang dinamai Masjid Al-Hikmah, jam 6 kurang sedikit kami sudah sampai di sana.


Sesampainya di Masjid Al-Hikmah ternyata ada banyak orang berlalu-lalang, sebagian besar ibu-ibu yang dari suaranya tampak sedang mengatur makanan, serta ada bapak-bapak yang sedang menyiapkan tempat untuk sebuah acara. Melihat kami berdua yang dari tampilannya jelas orang Indonesia mereka menyapa kami dengan sangat hangat, menanyakan kami tinggal di mana, berasal dari mana di Indonesianya, di Belanda sejak kapan, untuk keperluan apa, dan lain sebagainya. Luar biasa rasanya seperti bertamu ke rumah orang yang sangat mengharapkan kehadiran kita, saya belum pernah disambut sebegininya di sebuah masjid. Salah seorang yang di sana bernama Pak Kris menjelaskan fasilitas yang ada di masjid tersebut, dimana tempat wudhu dan toilet, dimana tempat salatnya, dan kegiatan yang ada di sana. Ternyata kami kepasan datang di Sabtu sore yang mana ada agenda rutin pengajian dari bada Ashar hingga Maghrib. Hari itu tergolong sepi katanya karena sedang musim liburan, dalam kondisi normal lebih ramai lagi dan ada kegiatan seperti TPA.




Selesai salat Ashar beliau bilang ke kami, "jangan pulang dulu ya mas mbak, ini kita ada makan-makan dan pengajian plus yasinan nanti ikut saja". Antrian untuk mengambil makan pun segera terbentuk oleh jamaah, bukan hanya jamaah dari Indonesia tapi juga muslim negara lain yang ikut salat di sana. Sajiannya tentu masakan rumahan khas Indonesia yang disiapkan keluarga-keluarga diaspora. Saya makan sambil berbincang dengan pengurus dan ustadz Masjid Al-Hikmah sementara istri saya bersama ibu-ibu. Selesai makan dan ngobrol sejenak agenda yasinan dan tahlil pun dimulai, saya membatin Ya Allah Maha Baik Engkau, kami ke Den Haag cuma mau main tapi malah Engkau pertemukan dengan orang-orang baik ini. Selesai tahlil ada kultum lalu disambung dialog karena masih ada waktu menuju Maghrib. Saya yang menjadi wajah baru di sana karena baru pertama kali datang didapuk untuk bicara memperkenalkan diri dan dimintai pendapat juga soal topik yang waktu itu di bahas. 




Selesai maghrib kami berbincang lagi dengan beberapa jamaah tentang masjid Al-Hikmah ini. Jadi dulunya bangunan ini adalah sebuah gereja, itulah sebabnya secara eksterior bentuknya tidak seperti sebuah masjid. Gereja itu berdiri dari tahun 50-an, namun pada dekade 90-an ternyata sepi, lalu propertinya dibeli oleh Pak Probosutedjo (adik Presiden Soeharto) dan kemudian diserahkan pada KBRI untuk diurus sebagai masjid oleh komunitas muslim di sini. Masjid ini ramai sampai sekarang dan bukan hanya menjadi tempat ibadah untuk umat muslim (Indonesia dan lainnya) namun juga tempat berkumpul dan belajar bagi diaspora Indonesia.

Saat berpamitan kami dibawakan satu tas besar berisi makanan, benar-benar seperti tamu yang akan pulang dari rumah saudara. Pak Ustadz dan istrinya meminta kami untuk mampir ke rumah beliau jika kapan-kapan datang lagi ke Den Haag. 

Kami berjalan kaki menuju stasiun kereta Den Haag Moerwijk yang tidak jauh dari sana. Karena sudah malam dan sedang ada maintenance pada petak rel sekitar Utrecht-Arnhem, perjalanan jadi lebih lama, jam 1 dini hari kami sampai di rumah setelah naik 3 kereta dan 1 bis. Tapi semua itu sebanding jika dibandingkan dengan apa yang kami dapatkan hari itu: saudara baru, masjid yang nyaman, sambutan yang hangat, makanan Indonesia, teh dan kopi hangat, kota yang megah, obrolan bahasa Indonesia, dan lain sebagainya.




***

Saya ada side project yaitu nge-mapping masjid-masjid di Belanda yang berada pada jalur transportasi atau pusat aktivitas. Ini berangkat dari kesulitan saya pada awalnya untuk mencari tempat salat ketika bepergian. InsyaAllah saya akan coba ceritakan lebih panjang lain waktu dan update terus list ini, tapi sementara berikut untuk preview-nya: Masjid Finder NL

Salam,
Chandra


0 comments :

Post a Comment