Long Game



Saya dulu pikir bekerja di luar Indonesia itu tidak mungkin. Dalam beberapa kesempatan ke luar negeri saat sekolah dan kuliah, rasanya bandwidth saya sudah habis banyak untuk mengkhawatirkan berbagai hal: tidak nyaman berada di lingkungan berbeda, was-was tidak paham bahasa asing, khawatir kejahatan jalanan, takut nyasar, dan lain sebagainya. Sisa bandwidht-nya hanya cukup untuk mengarungi hari itu yang isinya seminar atau agenda akademik lain. Sementara saya membayangkan andaikan sisa kapasitas itu harus digunakan untuk bekerja rasanya tidak akan cukup. Dari dulu sejak membaca novel Edensor dan nonton Habibie Ainun, bayangan ke luar negeri adalah untuk belajar bukan bekerja. 

Faktor lain adalah saya belum punya contoh orang yang tinggal lama di luar negeri untuk bekerja, jadi saya simply tidak tahu bahwa opsi bekerja di luar negeri itu ada. Padahal untuk bisa menginginkan sesuatu kita perlu tahu bahwa sesuatu itu ada. Sebelum saya tahu ada kue namanya blackforest saya tidak akan punya keinginan makan blackforest. Sama halnya fakta bahwa saya tidak punya kenalan yang beraktivitas di politik praktis atau menjadi elected official membuat saya tidak pernah ada bayangan untuk menjadi bupati.

Lalu seiring berjalannya waktu mulai ada satu dua orang yang saya tahu berkarir di luar negeri. Salah satu yang saya dengar karena tulisannya viral waktu itu adalah Mbak Mona di Amerika, back in SMA-days beliau adalah role model bagi pejuang olim matematika DIY. Tapi saya merasa nggak di level itu, pikir saya ini black swan saja, jadi saya tetap skeptis terhadap kemungkinan berkarir di sana. Saat itu media sosial juga belum sekencang sekarang, jadi informasi soal anak muda Indonesia yang bekerja di luar negeri belum sampai ke saya (atau mungkin saya yang kurang gaul saja).

Babak berikutnya adalah di mana saya mulai melihat eksodus beberapa teman yang pindah bekerja di luar negeri. Awalnya dua, lalu lima, sepuluh, hingga kini belasan atau lebih kenalan langsung sudah jadi ekspat. Kenalan langsung di sini artinya orang yang saya kenal dan mengenal saya, bukan hanya yang saya lihat di layar kaca. Wait, kalau begitu ini bukan black swan lagi. Orang-orang 'pada umumnya' ternyata punya akses juga ke sana. Ini mengubah total cara pandang saya soal bekerja.

I feel like having bigger fish to fry, I'll play the long game.

Waktu itu timeline-nya saya sedang bekerja di sebuah perusahaan finance di Jakarta. Perubahan pandangan saya soal kemungkinan go international membuat yang tadinya saya bekerja untuk hidup dan nabung (Jakartan Dream you know) jadi bekerja untuk mengembangkan diri dan memperbesar peluang ke depan. Di titik itu saya mulai bilang pada orang tua, "sek nggih soal nyicil rumah, kami kayanya nggak selamanya di jakarta, barangkali ada peluang pindah ke luar negeri". Alhamdulillah mereka tidak pernah bilang tidak. Setiap ada teman bertanya soal itu, saya sampaikan jawaban serupa dengan menghilangkan bagian luar negerinya, lebih baik diasumsikan bahwa ingin kembali ke Jogja. I am not correcting them, sampai menjelang hari-H berangkat ke Belanda kemarin pun sangat terbatas orang yang tahu soal rencana ini, I'll get into that.

Mindset 'play the long game' yang saya temukan saat itu membawa perubahan besar ternyata, baik di dalam maupun di luar pekerjaan. Itu membuat saya jadi jauh lebih positif. Ketika melihat teman seumuran semakin advance dalam karir dan hidupnya saya tidak merasa envy, justru berpikir 'good for you'. Ribut-ribut seasonal soal beasiswa, pejabat yang tidak berhenti memperkaya diri, dan isu politik yang makin mobat-mabit tidak lagi terasa terlalu mengganggu. Saya jadi bisa melepaskan fokus dari hal-hal seperti itu, menjadikan saya jauh lebih tenang dan lebih bisa berpikir ke depan. Istri juga sangat membantu karena dia mengurus hal-hal yang sifatnya harian-bulanan sementara saya berpikir lebih panjang. 

Selanjutnya perpindahan ke Commbank semakin memberi ruang untuk saya karena alhamdulillah semakin tidak perlu mengkhawatirkan urusan harian. Lebih penting dari itu adalah culture Australia-nya memberikan pengalaman internasional walaupun meja kerja saya tetap di Jakarta. Orang-orangnya juga kompeten dan menjadikan saya harus keep up dengan mereka. Kombinasi itu semua selama dua tahun, plus umur yang semakin menua dan gemblengan kehidupan rumah tangga rasanya sejalan dalam membantu persiapan rencana jangka panjang saya.

Lalu datanglah panggilan dari Belanda ini, kebetulan Commbank sedang dalam proses merger (baca soal itu di sini). Klop, jujur saya juga nggak nyangka bisa begini, alhamdulillah berkali-kali. Saya memang mengaktifkan Open for Opportunity (for recruiter only), tapi tidak mengira akan ada recruiter dari belahan dunia lain yang menghubungi. Saya pasang badge 'linkedin helped me get this job' karena prosesnya berawal dari message di platform itu. Saya jawab begitu juga ketika ditanya teman soal ini, tentu dengan detail yang lebih dalam yang tidak bisa saya tuliskan di sini.

Saya menjalani serangkaian interview selama ramadhan kemarin, salah satunya ketika di hari yang sama mengantar istri cabut gigi, what a day. Interview terakhir adalah saat kami dalam perjalanan mudik ke Jogja. Lalu di hari kedua atau ketiga kami di Jogja, saya mendapat kabar bahwa selected. Saat saya sampaikan ke orang tua bahwa saya dapat offering ke Belanda saya bilang untuk jangan memberi tahu siapa-siapa dulu, selain menurut saya ini sensitif, saya khawatir batal atau ada apa-apa dalam prosesnya yang panjang (paspor, visa, dll). Saat itu paspor aktif saja saya belum pegang, here comes cerita membuat paspor percepatan di Wonosobo. Kasarnya saya baru mau bilang ke orang-orang ketika sudah mendarat di Belanda. Pada akhirnya hanya keluarga, saudara, dan orang dekat saja yang tahu, plus orang kelurahan, dukcapil, dan kementerian yang saya temui saat mengurus administrasi. Jujur saya takut prosesnya break down saat semua orang sudah tahu. Sekian persen dari saya masih menganggap ini too good to be true bahkan saat sudah mendarat di Schiphol.

Sekarang doa kami adalah semoga keberadaan kami di sini ini berkah, aman, dan mendatangkan kebaikan buat banyak orang. Alhamdulillah so far so good, kami tidak mendapat kesulitan yang berlebihan di sini. Saya berusaha untuk lebih sering meng-update ke orang tua agar mereka tidak kepikiran. Mungkin bagi mereka ini seperti waktu melepas saya ke Bandung waktu itu, atau mungkin lebih, entahlah. 

Saya yang pernah melalui perubahan dari tidak tahu, lalu black swan, lalu akhirnya 'eh kayanya bisa', berharap lebih banyak orang mengalami realisasi yang serupa. Tidak harus soal bekerja di luar negeri, bisa juga dikaitkan dengan bisnis, keluarga, dan lain sebagainya. Saya sih tidak berharap dianggap jadi teladan atau apa, saya tidak se-noble itu, tapi saya senang kalau bisa menambah keyakinan orang untuk play their own long game.


Salam,
Chandra

0 comments :

Post a Comment