Supaya Jadi Tempat Bertanya


Pada 1982, perusahaan farmasi dari Amerika Johnson & Johnson didera skandal. Salah satu produknya yang bernama Tylenol tercemar sianida hingga mengakibatkan jatuhnya beberapa korban jiwa di Chicago. Mereka tidak tahu apa penyebabnya dan seberapa jauh kontaminasi ini terjadi. FBI dan FDA (badan POM-nya Amerika) menyarankan untuk melakukan recall terbatas pada Tylenol yang ada di Chicago saja, mereka tidak merekomendasikan untuk melakukan recall nasional karena tidak ada laporan korban di daerah lain, selain itu recall besar-besaran bisa mengakibatkan kepanikan publik.

Di luar dugaan Johnson & Johnson mengabaikan saran itu, mereka memutuskan untuk merecall semua Tylenol yang ada di seluruh Amerika walaupun itu berarti mereka harus merogoh kocek tambahan hingga 100 juta dollar. Seluruh sumber daya perusahaan bergerak menangani krisis ini, banyak pegawai mengerjakan pekerjaan yang biasanya bukan tanggung jawab mereka. Pada akhirnya krisis berlalu dan secara mengejutkan brand Tylenol masih bisa comeback dan laku di pasaran dengan kemasan baru yang lebih aman. Respon krisis Tylenol ini menjadi golden standard penanganan krisis di seluruh dunia.

Respon atas kasus Tylenol bukan semata-mata karena tim PR yang brilian, sesungguhnyalah mereka malah tidak punya PR yang proper saat itu. Tapi Johnson & Johnson adalah perusahaan matang yang bertahun-tahun memegang teguh visi dari founding fathers-nya yang dituangkan dalam sebuah Credo. Visi yang mengakar itu menjadi dasar para top management mengambil keputusan penanganan krisis yang brilian. Berikut penggalan Credo Johnson & Johnson yang jadi dasar dalam mereka berbuat: 

We believe our first responsibility is to doctors, nurses, and patiens; to mothers and fathers and all others who use our products and service.

Credo itu ditulis pada tahun 1943 oleh Robert Wood Johnson. Secara keseluruhan Credo-nya berparagraf-paragraf. Tapi intinya menekankan prioritas Johnson & Johnson secara berurutan adalah: (1) Customers, (2) Employees, (3) Community, (4) Company Stockholders. Yang spesial adalah kalimat-kalimat ini dibicarakan berulang-ulang, ditempel di mana-mana, dan sering diucapkan hingga orang-orang di perusahaan itu menyadari bahwa Credo ini sesuatu, lalu memengaruhi mereka dalam berperilaku dan mengambil keputusan. Credo ini tidak dianggap sebagai corporate buzzword dan tempelan dinding belaka.

Kisah di atas adalah salah satu kisah yang dibahas dalam buku The Culture Code karya Daniel Coyle. Buku ini ditulis berdasarkan penelitian penulis selama 4 tahun di banyak perusahaan dan kelompok yang berhasil di bidangnya. Ada tiga resep menghasilkan kelompok yang sukses yaitu build safety, share vulnerability, dan establish purpose. 

Penjelasan dari dua poin yang pertama, build safety dan share vulnerability, membuat saya ngeh kenapa ada pertemanan yang seru tapi ada juga yang layu. Itu bukan masalah orangnya kurang baik hati, tapi dalam pertemanan itu ada barrier, ada koneksi yang nggak nyambung, ada sinyal dan cue yang hilang, dan ada jaim-jaiman. Lalu juga kenapa ada tim yang sukses dan yang tidak padahal secara kemampuan teknis hampir sama. Tim yang sering ngobrol, evaluasi, bertukar feedback, dan saling terbuka cenderung lebih berhasil daripada yang saling diam karena menghindari konflik dan awkwardness dalam tim. Saling terbuka -> tahu kekurangannya dimana -> cepat diperbaiki. 

Namun poin ketiga agak berbeda, semua orang juga tahu kalau sebuah kelompok perlu tujuan bersama, establish purpose. Yang saya tidak sangka adalah bagaimana caranya kelompok-kelompok yang sukses itu menghadirkan tujuan yang sama pada seluruh anggotanya. Ternyata cara menanamkan tujuan dan nilai adalah sesederhana dengan mengulanginya terus menerus. Catchprase, motto perusahaan, visi misi, dan jargon ternyata benar-benar ada gunanya. Sungguh dulu saya pikir motto perusahaan itu sekedar omon-omon dan kata mutiara dari CEO dan Direksi saja. 



Membaca buku ini membuat saya ingat pernah bekerja di sebuah perusahaan yang saya tidak yakin perusahaan itu punya motto atau tidak. Kalaupun ada sepertinya hanya 1 kalimat yang kurang catchy. Business as usual sih jalan dengan normal, perusahaan tetap mencetak laba, dan tidak ada krisis seperti Johnson & Johnson tadi. Tapi saat resign dari sana jadi ada kegamangan apakah selama disitu saya sudah melakukan sesuatu yang benar dan meaningful karena saya tidak tahu tujuan dan arah besarnya mau kemana selain performance review tahunan.

Saya ingat di sekolah dulu ada papan bertuliskan 'Wawasan Wiyatamandala', sekolah kalian mungkin juga ada. Terus terang saya tidak ingat satu pun isinya karena tidak pernah dibahas dan dibicarakan. Agak berbeda ketika kuliah, ada kalimat yang mungkin diingat banyak mahasiswa:

supaya kampus ini menjadi tempat bertanya dan harus ada jawabnya. 

Kalimat yang terpatri di Plaza Widya Nusantara (PlaWid) ini ditulis oleh Prof Wiranto Arismunandar, mantan rektor ITB. Sebenarnya secara lengkap ada beberapa kalimat, tapi hanya satu itu yang paling saya ingat. Tentu diingat bersama tulisan di tugu sebelahnya: 'Sekali teman tetap teman', yang ini mungkin maksudnya solidaritas tapi malah sering dibercandai mahasiswa sebagai friendzone.

sumber: aryansah.wordpress.com


Walaupun mengingatnya, saya pribadi merasa kalimat itu terlalu berat untuk mahasiswa dan baru merasakan manfaatnya beberapa tahun setelahnya. Saya merasa dalam dunia profesional orang boleh tidak tahu tapi tidak boleh diam tanpa jawaban sama sekali. Yang diharapkan dari seseorang ketika mendapat pertanyaan atau tantangan adalah, ya jawaban. Entah itu bentuknya inquiry, target, request, atau apapun mesti ada jawabnya. Jika harus menjawab tidak tahu atau belum mampu memenuhi target yang ditetapkan, sebisa mungkin dapat menjelaskan kenapa, apa yang salah, dan apa yang bisa dilakukan supaya lebih baik lain waktu. 

Lagipula semakin menua semakin sadar bahwa yang dicari bukan kesempurnaan. Ini mungkin salah satu prinsip penting yang saya pelajari selama kuliah. Reasoning dan limit adalah hal yang banyak ditekankan terutama di semester-semester akhir. Beda dengan TPB yang banyak tugasnya mengejar nilai 100, di semester akhir-akhir justru ditunjukkan dunia nyata tidak bekerja seperti itu. Ada limit atas sesuatu: material akan patah pada batas tertentu, bahan bakar akan habis setelah jarak atau waktu tertentu, beberapa unsur tidak bisa disatukan, menambah fitur sama dengan menambah kerumitan dan biaya, etc etc. Pemahaman seperti ini di-drill terus menerus sampai terbiasa. Menurut saya inilah fungsinya universitas, membentuk cara berpikir dan menjawab. Saya yakin ini juga diajarkan di kampus-kampus lain, nggak ekslusif di tempat saya belajar. Yang saya syukuri adalah di ITB gagasan ini tertuang sampai level 'ideologi' berupa Plaza Widya Nusantara tadi.


Kembali ke bahasan buku The Culture Code dan isinya. Bagi kalian yang suka dengan karya Malcolm Gladwell seperti Blink, Outliers, dan Tipping Point, saya jamin cocok membaca buku ini. Risetnya sama mendalam, cara penyampaiannya serupa, hipotesisnya menarik, penarikan kesimpulannya bold, dan melibatkan riset di perusahaan dan tim ternama seperti Navy SEALs, San Antonio Spurs, sampai IDEO.

Tapi ada hal yang menurut saya kurang dibahas dalam buku The Culture Code ini. Jadi buku ini berbicara tentang faktor tak terlihat yang mendasari hubungan antar manusia dalam sebuah kelompok, faktor tersebut dinamai cue. Cue ini yang sehari-hari sering kita bilang sebagai kesan, chemistry, frekuensi, atau (se)kufu'. Penulis menjelaskan dengan baik apa itu cue tapi tidak cukup menjabarkan darimana datangnya cue ini. Apakah kesamaan suku dan bahasa? Apakah faktor pernah sekolah di tempat yang sama? Apakah karena kesamaan generasi/usia? Atau apa? Lalu saya juga tidak menemukan jawaban apakah 'warna' cue ini bawaan atau bisa kita ubah sesuai keadaan.

Terakhir tentang jargon dan motto. Kalau di Indonesia, corporate motto yang kena di saya adalah "Benar Sejak Awal". Sederhana banget kalimatnya tapi kalau dipikir baik-baik dan dilakukan semua orang efeknya bisa sangat besar bagi sebuah institusi: menghindari perulangan kerja, mengurangi koreksi yang tidak perlu, memastikan on-time delivery, menjaga kondisi mood team, dan pada akhirnya semestinya bisa meningkatkan performa.

Mari senantiasa belajar, semoga dimudahkan.
Sekian dan terimakasih..

Salam,
Chandra

Kill Them With Passes



Pertandingan kemarin sore melawan Brantford menandai dimulainya era Arne Slot di Anfield. Setelah 9 tahun tumbuh dalam asuhan Jurgen Klopp, kini Liverpool dinahkodai manajer baru yang bisa dibilang new kid on the block di kalangan manajer dan tim papan atas. Ada pertanda baik di mana Liverpool berhasil memenangi dua laga awal musim ini lawan Ipswich dan Brentford. Walaupun ujian sebenarnya baru datang akhir pekan nanti saat bertandang ke Man Utd. Namun setidaknya cara bermain Liverpool kemarin sungguh memberikan angin segar dan optimisme di tengah keringnya bursa transfer.

Sudah nampak perbedaan cara bermain Liverpool era Slot dan Klopp. Gegenpresing-nya Klopp masih ada jejaknya namun tidak se-hard core dulu. Kini serangan lebih banyak dibendung dengan overload di tengah bukan pressing di depan. Smart menurut saya karena menghemat energi dan semoga mengurangi potensi cedera, masalah yang selalu datang menghambat usaha jadi juara.

Kedua, yang lebih mencolok adalah perubahan cara build up dari bola panjang menjadi passing pendek. Dulu serangan Liverpool mengandalkan bola direct dari Trent, VVD, Robbo, bahkan Alisson langsung ke Mane dan Salah. Tapi kini Mane sudah pergi, Diaz jago gocek tapi larinya tidak sekencang Mane, sementara Salah sudah menua dan suka tidak suka melambat. 

Sekarang tampak serangan Liverpool dibangun step by step lewat tengah, hadirnya Szobo dan MacAllister memungkinkan ini dilakukan. Hasilnya Liverpool mencatat akurasi passing 92%, rekor tim dalam 20 tahun sejak statistik ini dihitung, dan itu dihasilkan di pertandingan resmi kedua Slot. Impressive! 



Apakah filosofi 'Kill Them with Passes' ini akan sukses? Kita lihat saja nanti. Tapi minimal apa yang diperlihatkan kemarin sangat menghibur, terutama di babak kedua. Liverpool bersama Slot tampaknya bergerak ke arah yang benar setelah di awal sempat muncul keraguan apakah ia cukup kuat untuk meneruskan nama besarJurgen Klopp.


YNWA,
Chandra

pict (1): @LFC

Perjuangan Mengumpulkan Syarat: Apostille



Dokumen yang akan digunakan di luar negeri perlu mendapat Legalisasi atau Apostille. Termasuk diantaranya adalah ijazah, akta lahir, buku nikah, SKCK, dokumen terjemahan, dokumen karantina, dan lain sebagainya. Legalisasi dan Apostille sendiri sebenarnya serupa tapi tak sama, tapi secara umum mayoritas negara di dunia sudah mensyaratkan Apostille, bukan hanya Legalisasi. Anda bisa cek di apostille.ahu.go.id, berdasarkan jenis dokumen dan negara tujuan, Anda akan tahu apakah yang dibutuhkan adalah Apostille atau Legalisasi. Dokumen yang sudah di-apostille akan dibubuhi sertifikat yang menyatakan keabsahan dokumen dan tanda tangannya, bentuknya seperti gambar di atas.

Dalam kasus saya, dokumen kependudukan (akta lahir saya dan istri) dan dokumen pernikahan (buku nikah) perlu di-apostille untuk digunakan di Belanda. Dua dokumen ini diperlukan untuk mengurus administrasi kependudukan dan mendapatkan BSN number. BSN number ini seperti NIK yang digunakan untuk membuka rekening bank, mendaftar asuransi, dan lain sebagainya. Setiap orang dengan keperluan berbeda punya kebutuhan yang berbeda pula. Sebagai contoh ijazah, apakah ijazah sudah bilingual? Apakah diminta apostille? Silakan dicek untuk kasus masing-masing.

Permohonan apostille diajukan secara online melalui apostille.ahu.go.id. Di sana kita akan diminta membuat akun menggunakan email dan NIK. Setelah akun sukses dibuat kita bisa mulai mengajukan permohonan sesuai jenis dokumen dan negara tujuan. Kita akan diminta mengisi data pemohon berupa nama, email, nomor telepon, jenis kelamin, alamat, NIK, tempat tanggal lahir, dan upload scan KTP. Lalu berikutnya kita diminta mengisi data dokumen seperti tipe dan jenis dokumen, nama dokumen, nomor, tanggal dokumen, jumlahnya, dan upload scan dokumen terkait. Lalu terakhir yang perlu diisi adalah data pejabat publik yang menandatangani dokumen kita dan kantor tempat kita akan mengambil hasil apostille nantinya.

Nantinya ketika permohonan diterima kita akan mendapat voucher untuk melakukan pembayaran. Biaya untuk satu sertifikat apostille adalah 150 ribu (contoh: jika mau meng-apostille 2 buku nikah maka dihitung 2 sertifikat). Setelah membayar kita bisa mengambil sertifikat apostille di Loket Apostille (Jakarta) atau di Kanwil seluruh Indonesia sesuai dengan pilihan pada saat pengajuan. 

Tapi tidak semudah itu kawan, pengajuan apostille akan ditolak jika ada satu saja entry yang salah. Nanti saya jelaskan lebih lanjut, sekarang masuk ke persyaratan dokumennya dulu. Note: kita baru membayar setelah verifikasi sukses, jika pengajuan gagal/tidak lengkap kita tidak bayar apapun.

Buku Nikah
Buku nikah saya terbitan tahun 2020 dan sudah bilingual Indonesia-Inggris, most likely punya Anda juga begitu jika kita seumuran, silakan dicek. Jika belum bilingual Anda punya satu tugas tambahan yaitu mencari penerjemah tersumpah.

Buku nikah pertama-tama perlu dilegalisir oleh KUA Kecamatan tempat buku nikah itu diterbitkan. Untuk melakukan ini Anda tinggal datang saja ke KUA Kecamatan mana Anda dulu menikah dengan membawa buku nikah asli dan fotokopinya. Saya kemarin perlu sekitar 15 menit saja untuk ini karena pejabat yang menandatangani juga ada di tempat. Proses ini tidak dipungut biaya.

Setelah itu dokumen asli dan fotokopi yang sudah dilegalisir dibawa ke Ditjen Bimas Islam Kemenag yang berlokasi di Jalan MH Thamrin Jakarta (bukan yang di Lapangan Banteng). Untuk kasus saya ini relatif mudah karena kebetulan beraktivitas di Jakarta dan hanya perlu naik ojol untuk menuju ke Kemenag. Tapi bersama saya kemarin ada beberapa orang dari luar daerah yang perlu datang ke Jakarta untuk mengurus ini (mungkin sekalian mengurus administrasi yang lain). Cukup salah satu antara suami atau istri yang datang, tidak perlu dua-duanya. Tidak ada biaya yang perlu dibayar dan prosesnya cepat. Pelayanan dokumen masuk sampai jam 12 siang, tapi saya sarankan datang lebih pagi supaya bisa langsung ditangani, saya kemarin datang jam setengah 12 jadi harus nunggu selesai makan siang hehe

Dokumen yang diserahkan dan dilegalisir adalah 2 buku nikah asli dan 3 fotokopi. Satu fotokopian disimpan sebagai arsip dan sisanya diserahkan kembali ke kita. Note: buku nikah ASLI juga dilegalisir (dicap lagi), nantinya justru yang asli ini yang terpakai dan perlu di-apostille. Setelah titik ini buku nikah sudah siap diajukan untuk apostille.


Akta Lahir
Perjalanan apostille akta lahir saya tidak semulus buku nikah. Sebabnya akta saya cetakan tahun 90an yang kertasnya masih kuning itu. Masalahnya bukan di jenis kertas atau font yang masih mesin ketik, tapi pada identitas pejabat penandatangan yang tidak ada di database Kemenkumham. Akibatnya Kemenkumham tidak bisa mengesahkan dokumen akta saya. Kalau mau saya harus datang ke dukcapil membawa surat pengantar dari Kemenkumham untuk meminta sampel tanda tangan pejabat tersebut. Tapi kan (1) saya jadi harus mudik, (2) pejabat yang tanda tangan kemungkinan besar sudah purna tugas, (3) bisa diganti dengan semacam pernyataan dari dukcapil tapi saya nggak yakin itu mudah. Sempat sedikit jengkel sama birokrasi karena kerumitan ini. Sementara itu akta milik istri pernah hilang atau apa sehingga dia buat lagi yang baru tahun 2000an, pejabat yang tanda tangan aktanya ada di database Kemenkumham.

Dari ngobrol-ngobrol saya dapat ide yang sepertinya lebih mudah dilakukan. Saya berpikir bisa nggak ya kalau saya (dan istri) cetak ulang akta baru model sekarang saja? Jika bisa ini akan menyederhanakan banyak masalah: akta baru sudah bilingual, bisa diprint sendiri, dan sudah ditandatangani secara elektronik. Ternyata cetak ulang bisa dilakukan dan bahkan saya nggak harus ke luar kota karena prosesnya bisa lewat aplikasi. Saya segera buat pengajuan online, lalu PDF akta baru saya terima hanya dalam beberapa hari saja. Pergantian akta ini sifatnya penukaran, jadi akta lama dikembalikan ke dukcapil.

Kini kami jadi punya akta bilingual elektronik. Nomor akta tidak berubah walaupun dicetak ulang. Dokumen elektronik jauh lebih mudah untuk di-apostille karena bisa diverifikasi keaslian dokumennya hanya dengan scan QR. Dengan ini akta lahir kami berdua juga siap untuk diajukan apostille.

Perlu Anda Tahu
Dokumen yang valid tidak serta merta menjamin pengajuan apostille diterima. Secara total saya melakukan lebih dari 20 pengajuan dari 2 akun, tentu lebih banyak yang gagal. Setiap pengajuan apostille akan melalui verifikasi selama 3 hari kerja (kadang lebih) dan jika gagal harus membuat pengajuan ulang dan menunggu another 3 hari, jadi antara Anda bisa one-shot atau siapkan waktu yang cukup (minimal 15 hari kalau mau nyaman).

Berikut penyebab pengajuan-pengajuan saya ditolak:
1. Tidak meng-upload dokumen asli, hanya fotokopinya. Awalnya saya tidak tahu bahwa pada setiap pengajuan ternyata bisa melampirkan lebih dari satu PDF.
2. Pejabat penandatangan tidak ada pada database Kemenkumham dan saya tidak menindaklanjuti sampai dengan 7 hari. Ini kasus dimana saya milih bikin akta baru tadi.
3. Pada apostille buku nikah, nama pejabat saya isi nama pejabat KUA Kecamatan, mestinya diisi nama pejabat tertinggi yang menandatangani yaitu dari Ditjen Bimas Islam Kemenag.
4. Salah tulis nama instansi, pada awalnya saya tidak baca FAQ.
5. Salah tulis jabatan, mestinya 'Pejabat Pencatatan Sipil Kabupaten XXX', saya hanya tulis 'Pejabat Pencatatan Sipil' dan itu disalahkan.
6. Tidak menyertakan surat kuasa saat pengajuan apostille akta lahir istri menggunakan akun saya, ternyata perlu surat kuasa jika nama di dokumen tidak sama dengan pemilik akun walaupun keluarga/satu KK.
7. Salah tulis jabatan penerjemah tersumpah, sebelum cetak ulang akta saya sempat translate akta lama dengan penerjemah.


Terlalu rumit menurut saya, bukan ide yang bagus menuntut penulisan sempurna sementara bentuk inputnya adalah FREETEXT. Orang yang dikejar waktu atau bapak ibu yang sudah sepuh dan tidak terbiasa mengoperasikan komputer kemungkinan bakal kesulitan. Pasti ada yang memanfaatkan ini untuk buka bisnis jasa apostille.

Lega sekali ketika akhirnya apostille kami goal setelah berkali-kali gagal, saya bayar via VA Mandiri, lalu mengambil sertifikatnya di Loket Apostille Kuningan City. Awas jangan salah dengan tempat pengurusan visa yang ramai di mall yang sama, apostille ini ada loketnya sendiri yang bernama Galeri Inovasi AHU. Antrinya tidak banyak sehingga beberapa menit saja keperluan di sini selesai. Tidak perlu mencetak bukti transfer karena di sistem pembayarannya sudah terkonfirmasi. Pegawai juga ramah dan helpfull, good experience.

Satu-satunya pain point dan bagian yang memakan waktu dari apostille ya mengisi form (harus sempurna) dan verifikasinya tadi itu. 


Tapi tetap, terimakasih Dukcapil, KUA, Ditjen Bimas Islam Kemenag, AHU Kemenkumham, Galeri Inovasi AHU, Kuningan City, RM Sederhana, Masjid Al-Hikmah Sarinah, teman-teman yang memberi info soal aplikasi Dukcapil, bapak ojek, mbak-mbak fotokopian, ibu resepsionis Kemenag, kurir JNE, bapak supir angkot, dan semua pihak yang tidak dapat saya sebut satu persatu.


Salam,
Chandra

Masjid Indonesia



Setelah dua minggu lalu saya mampir Den Haag sebentar usai berkunjung ke Naturalis Biodiversity Center di Leiden (ceritanya di sini), hari Sabtu kemarin saya ke Den Haag lagi untuk menjelajahi lebih banyak kota ini, kali ini berdua bersama istri. Kami punya tiga tujuan utama yaitu mencoba makanan Indonesia di salah satu restoran, jalan-jalan di pusat kota Den Haag, dan mampir salat di masjid Indonesia yang ada di sana. 

Perlu teman-teman ketahui, saat ini kami tinggal di Nijmegen, kota yang tidak terlalu besar dan terletak dekat dengan perbatasan Jerman. Tidak banyak orang Indonesia di kota ini sehingga setelah sebulan di sini kadang kami rindu ngobrol bahasa Indonesia. Sementara Den Haag adalah kota global dan sangat multikultural karena kota ini menjadi 'interface' antara Belanda dan negara lain di seluruh dunia. Banyak kantor organisasi internasional dan kedutaan-kedutaan besar di sana, termasuk kedubes Indonesia. Jarak antara Nijmegen dengan Den Haag adalah sekitar 2 jam perjalanan menggunakan kereta Intercity.


Kami tiba di stasiun Den Haag Centraal sekitar jam 1 siang dan langsung berjalan kaki menuju sebuah rumah makan Indonesia bernama Praboemoelih. Rumah makan ini dikelola oleh keluarga Indonesia dan menyajikan dua menu yang kami inginkan yaitu nasi rames dan pempek. Kami juga memesan es cendol sebagai dessert. Selama di sana saya lihat sebagian besar pengunjung adalah diaspora Indonesia, hanya ada satu dua pengunjung yang saya lihat memesan dengan bahasa Inggris atau Belanda. Kalau dibandingkan dengan Warung Barokah di Amsterdam yang pernah kami coba sebelumnya, Praboemoelih ini punya tempat yang lebih besar dan nyaman, namun secara makanan saya nilai sama enaknya. Warung Barokah menang tipis di harga dan porsinya yang lebih banyak.


Selesai makan kami berjalan di sekitar Centrum Den Haag. Kami mampir ke Toko Ming Kee, sebuah tempat yang menjual berbagai masakan, jajanan, bumbu-bumbu, dan minuman Indonesia yang dikelola keluarga Tionghoa. Kami membeli kue lapis atau yang biasa disebut spekkoek sebagai bekal jalan-jalan. Selanjutnya kami mampir ke masjid Turki yang ada di dekat sana untuk salat Dzuhur. Masjid Indonesia sendiri lokasinya agak berjarak dari Centrum, perlu naik tram untuk kesana jadi kami rencanakan untuk mampirnya nanti saja. 


Sebagai konteks, di musim panas seperti sekarang ini siang hari di Belanda panjang, matahari terbit jam setengah 4 pagi dan terbenam setengah 10 malam, dzuhur di jam setengah 2 siang, dan ashar di jam 6 sore. Dulu awalnya saya merasa aneh melihat jam 9 'malam' tapi hari masih terang, tapi kini mulai merasa nyaman karena siang harinya jadi bisa diisi banyak kegiatan. Saya masih menantikan seperti apa winter nanti, katanya siangnya cuma dari jam 8 pagi sampai 4 sore. 

Di pusat kota Den Haag kami coba masuk beberapa toko, sekedar lihat-lihat tapi nggak beli apa-apa kecuali kacang atom dua kelinci di gerai 'Amazing Oriental', jaringan supermarket yang menjual berbagai barang impor dari Asia, termasuk Indonesia. Setelah itu kami masih punya waktu untuk jalan-jalan, kami manfaatkan untuk pergi ke Scheveningen sebentar. Scheveningen adalah kawasan pantai di pinggiran Den Haag, dari Scheveningen cukup satu kali pakai tram nomor 9 untuk sampai ke dekat Masjid Indonesia Den Haag yang dinamai Masjid Al-Hikmah, jam 6 kurang sedikit kami sudah sampai di sana.


Sesampainya di Masjid Al-Hikmah ternyata ada banyak orang berlalu-lalang, sebagian besar ibu-ibu yang dari suaranya tampak sedang mengatur makanan, serta ada bapak-bapak yang sedang menyiapkan tempat untuk sebuah acara. Melihat kami berdua yang dari tampilannya jelas orang Indonesia mereka menyapa kami dengan sangat hangat, menanyakan kami tinggal di mana, berasal dari mana di Indonesianya, di Belanda sejak kapan, untuk keperluan apa, dan lain sebagainya. Luar biasa rasanya seperti bertamu ke rumah orang yang sangat mengharapkan kehadiran kita, saya belum pernah disambut sebegininya di sebuah masjid. Salah seorang yang di sana bernama Pak Kris menjelaskan fasilitas yang ada di masjid tersebut, dimana tempat wudhu dan toilet, dimana tempat salatnya, dan kegiatan yang ada di sana. Ternyata kami kepasan datang di Sabtu sore yang mana ada agenda rutin pengajian dari bada Ashar hingga Maghrib. Hari itu tergolong sepi katanya karena sedang musim liburan, dalam kondisi normal lebih ramai lagi dan ada kegiatan seperti TPA.




Selesai salat Ashar beliau bilang ke kami, "jangan pulang dulu ya mas mbak, ini kita ada makan-makan dan pengajian plus yasinan nanti ikut saja". Antrian untuk mengambil makan pun segera terbentuk oleh jamaah, bukan hanya jamaah dari Indonesia tapi juga muslim negara lain yang ikut salat di sana. Sajiannya tentu masakan rumahan khas Indonesia yang disiapkan keluarga-keluarga diaspora. Saya makan sambil berbincang dengan pengurus dan ustadz Masjid Al-Hikmah sementara istri saya bersama ibu-ibu. Selesai makan dan ngobrol sejenak agenda yasinan dan tahlil pun dimulai, saya membatin Ya Allah Maha Baik Engkau, kami ke Den Haag cuma mau main tapi malah Engkau pertemukan dengan orang-orang baik ini. Selesai tahlil ada kultum lalu disambung dialog karena masih ada waktu menuju Maghrib. Saya yang menjadi wajah baru di sana karena baru pertama kali datang didapuk untuk bicara memperkenalkan diri dan dimintai pendapat juga soal topik yang waktu itu di bahas. 




Selesai maghrib kami berbincang lagi dengan beberapa jamaah tentang masjid Al-Hikmah ini. Jadi dulunya bangunan ini adalah sebuah gereja, itulah sebabnya secara eksterior bentuknya tidak seperti sebuah masjid. Gereja itu berdiri dari tahun 50-an, namun pada dekade 90-an ternyata sepi, lalu propertinya dibeli oleh Pak Probosutedjo (adik Presiden Soeharto) dan kemudian diserahkan pada KBRI untuk diurus sebagai masjid oleh komunitas muslim di sini. Masjid ini ramai sampai sekarang dan bukan hanya menjadi tempat ibadah untuk umat muslim (Indonesia dan lainnya) namun juga tempat berkumpul dan belajar bagi diaspora Indonesia.

Saat berpamitan kami dibawakan satu tas besar berisi makanan, benar-benar seperti tamu yang akan pulang dari rumah saudara. Pak Ustadz dan istrinya meminta kami untuk mampir ke rumah beliau jika kapan-kapan datang lagi ke Den Haag. 

Kami berjalan kaki menuju stasiun kereta Den Haag Moerwijk yang tidak jauh dari sana. Karena sudah malam dan sedang ada maintenance pada petak rel sekitar Utrecht-Arnhem, perjalanan jadi lebih lama, jam 1 dini hari kami sampai di rumah setelah naik 3 kereta dan 1 bis. Tapi semua itu sebanding jika dibandingkan dengan apa yang kami dapatkan hari itu: saudara baru, masjid yang nyaman, sambutan yang hangat, makanan Indonesia, teh dan kopi hangat, kota yang megah, obrolan bahasa Indonesia, dan lain sebagainya.




***

Saya ada side project yaitu nge-mapping masjid-masjid di Belanda yang berada pada jalur transportasi atau pusat aktivitas. Ini berangkat dari kesulitan saya pada awalnya untuk mencari tempat salat ketika bepergian. InsyaAllah saya akan coba ceritakan lebih panjang lain waktu dan update terus list ini, tapi sementara berikut untuk preview-nya: Masjid Finder NL

Salam,
Chandra


Pasar Malam di Belanda


Coba lihat foto-foto di bawah ini, berasa kaya di Bantul Expo kan ya. 'Pendudukan' Belanda di Indonesia dan Suriname ternyata punya efek yang besar sampai sekarang. Secara jumlah, migran terbanyak di sini memang dari Turki, tapi secara kebudayaan budaya Indonesia (terutama Maluku dan Jawa) lebih terasa menempel dan berterima di masyarakat sini. Salah satu produknya adalah adanya event seperti ini yang diadakan rutin di banyak kota bergiliran, event ini secara literal dinamai pakai bahasa Indonesia: Pasar Malam Istimewa. Foto-foto di tulisan ini saya ambil di pasar malam di Dordrecht hari minggu lalu.










Banyak batik, suvenir, hiasan rumah, sampai guling di jual di tempat ini. Ada juga pernak-pernik khas Suriname yang saya belum terlalu familiar. Sebagian besar penjualnya adalah orang Indonesia atau Suriname asli atau keturunan, plus ada yang bersama pasangan/teman/pegawainya yang orang sini. Kita bisa bertanya atau memesan dalam bahasa Indonesia, bahkan kemarin saya lihat ada yang mau bayar pakai uang rupiah. Selain barang-barang itu banyak juga stand yang menjual makanan seperti martabak (posisinya paling depan, mengingatkan saya pada martabak popular di sekaten), gorengan, sate-satean, bumbu-bumbu, dan makanan berat. Yang bakar sate dan bikin martabak ya orang kita-kita juga.






Meriah sekali acara ini, benar-benar seperti pasar malam di Indonesia. Ada panggung dan sempat ada band yang nyanyi, saya menduga yang tampil adalah keturunan Maluku. Orang lokal sini juga menikmati pertunjukan ini, bagusnya mereka begitu sambil makan pisang goreng bukan minum bir. Meskipun di gambar ini tampak masih siang, sebenarnya ini sudah lebih dari jam 6 sore. Walaupun masih terang jam-jam segini sudah dianggap malam, makan jam segini tetap disebut dinner bukan makan sore.

Saya lihat ada yang menarik di salah satu stand, mereka menjual memorabilia dari Ibu Wieteke van Dort atau yang juga disapa Tante Lien. Beliau adalah yang mempopulerkan lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng (Give Me Nasi Goreng) yang menjadi ikon 'hubungan' budaya Indonesia-Belanda. Lagu ini sudah dibawakan ulang oleh banyak musisi dan menjadi semacam folk song.




Saya sempat ngobrol santai dengan seorang teman dari Amerika Selatan soal 'colonization'. Konsensusnya adalah ya penjajahan itu menyengsarakan, kita tidak ingin itu terjadi pada negara manapun. Penjajahan terbukti mengubah secara drastis cara hidup suatu masyarakat. Di Amerika Selatan pengaruh paling jelas adalah bahasa Spanyol yang digunakan banyak negara yang merupakan bekas jajahan Spanyol. Pada akhirnya it's behind us, kita bisa menghormati dan berdoa untuk pejuang kemerdekaan, tapi kita tidak bisa mengubah masa lalu. Buat dia sekarang efeknya adalah setiap ketemu orang dari Latam (latin america) negara manapun selain Brazil dia bisa bicara bahasa Spanyol walaupun beda negara (dia dari Kolombia), feels more like home katanya. Buat kita ya hasilnya hubungan budaya yang unik antara Indonesia-Belanda-Suriname ini, tiga negara di belahan bumi yang berbeda. Karena masa lalu itulah Pakde Didi Kempot bisa sampai membuat lagu judulnya Angin Paramaribo.

P.S. Saya belum dapat kesempatan ngobrol dengan orang Suriname, kalau suatu waktu ketemu pengen saya ajak ngomong bahasa Jawa.


Salam,
Chandra

75 Euro Setahun


Sebelum berangkat kemarin bapak meminta saya untuk membagikan kontak teman yang ada di Belanda, sebagai semacam kontak darurat lah. Saya berikan screenshot profil instagram dua teman dekat yang saat ini ada di sini. Satu adalah teman sekelas di kuliah sekaligus teman satu kos yang kini sedang menempuh PhD di TU Delft. Dia sekaligus satu-satunya teman yang sudah saya beri tahu soal kepindahan saya sejak sebelum berangkat. Kebetulan dia juga sudah berkeluarga sehingga banyak hal yang bisa kami tanya mulai dari tempat tinggal, kebutuhan dapur, baju, hingga urusan administrasi. 

Kontak kedua adalah teman satu SMP-SMA yang sedang mengambil S2, sama di TU Delft juga. Saya berikan kontaknya karena kami sudah kenal lama dan akrab, pernah sama-sama di Bandung juga, dan adik saya kenal orangnya. Saya pikir dia baru memasuki tahun ke dua kuliah sehingga setidaknya masih akan di sini satu tahun lagi, ternyata dia lulus tahun ini dan saat saya tiba di Belanda kemarin dia sedang sibuk mempersiapkan ujian arsitekturnya. Setelah selesai ujian dan punya waktu senggang akhirnya kami berkesempatan ketemu di sebuah museum di Leiden: Naturalis Biodiversity Center.


Museum adalah atraksi yang sangat diminati masyarakat lokal maupun wisatawan di Belanda. Pemerintah juga sangat baik dalam memfasilitasi dengan menjaga kualitas museum dan mengadakan sistem subscription untuk museum di sini. Jadi dengan membayar 75 euro, kita akan mendapat museumkaart yang dapat digunakan untuk masuk ke 450+ museum di seluruh Belanda, unlimited. Ini jauh lebih murah daripada membeli tiket harian dimana harganya antara 10-20 euro sekali masuk. Museumkaart dikombinasikan dengan OV-Chipkaart weekend-vrij (kartu transportasi umum berlangganan) adalah kombo sempurna untuk weekend berkualitas dengan harga terjangkau.

Informasi dan pemesanan museumkaart dapat dilihat di museum.nl. Setelah dipesan kartu akan tiba di alamat kita dalam beberapa hari kerja. Jika kita perlu kartu segera karena besok mau ke museum padahal sekarang sudah jumat misalnya, kita bisa membeli kartu temporary secara on the spot di museum tertentu (listnya cek link di atas juga). Jadi jangan khawatir ketika berangkat ke museum belum punya kartunya karena tetap bisa beli di hari yang sama sekalipun. 

Tapi kartu sementara ini hanya berlaku selama 31 hari dan hanya bisa digunakan untuk masuk museum maksimal 5 kali, sebelum masa berlaku habis kartu harus sudah didaftarkan dengan identitas kita untuk mendapat museumkaart personal. Kalau kelewat ya kartu tidak bisa didaftarkan, uang yang sudah dibayarkan hangus. Meski museumkaart ini coverage-nya luas, tetap disarankan untuk mengecek museum yang akan dikunjungi karena masih ada museum yang belum termasuk/tidak menerima museumkaart, ada juga yang menerima tapi masih mengenakan biaya masuk beberapa euro.

Teman saya merekomendasikan museum Biodiversity ini karena katanya pernah mendapat penghargaan museum terbaik Eropa, saya lupa tanya penghargaan apa dan dari siapa. Tapi saya lumayan tertarik dengan topik biodiversity ini dan fakta bahwa lokasinya di Leiden, tempat yang sering saya dengar sejak saat di Indonesia. Tentu museum ini termasuk dalam cakupan museumkaart. Museum ini dapat dijangkau dengan berjalan kaki dari stasiun Leiden Centraal selama kurang lebih 10 menit. Museumnya besar dan lantainya banyak, namun pintu masuknya tidak begitu mencolok sehingga kami sempat harus memutari setengah gedung untuk mencarinya. Setelah masuk kami menuju ke loker room yang disediakan untuk menaruh barang bawaan sehingga kita bisa menikmati museum tanpa keberatan membawa barang yang tidak diperlukan.

Karena kami sudah memiliki kartu (punya saya kartu sementara yang saya beli hari sebelumnya di salah satu museum di Nijmegen), kami langsung ke resepsionis untuk scan kartu. Resepsionis dengan ramah bertanya 'Dutch or Engels?', setelah kami bilang Engels ia menjelaskan garis besar museum ini dalam bahasa Inggris. Dia juga memberi tahu bahwa dalam 15 menit lagi akan ada presentasi singkat dari salah satu peneliti tim Naturalis di salah satu ruangan pameran. Turns out researcher yang jadi pembicara adalah orang Indonesia, wangun.



Selesai mendengarkan paparan, kami mulai menjelajah museum mulai dari lantai paling atas turun ke bawah (p.s. ternyata kami salah, mestinya story-nya dari bawah ke atas). Museum ini menghayati arti kata 'bio' dan 'diversity' secara sangat serius. Mereka membahas biodiversity dari makhluk hidup sel tunggal hingga manusia dan dinosaurus. Manusia pun dibahas dari so-called manusia purba hingga kehidupan manusia modern. Di museum ini ditunjukkan koleksi asli fragmen tempurung kepala, gigi, dan limbs manusia purba yang ditemukan Eugene Dubois di Jawa.


Untuk kategori binatang semua jenis hewan yang imaginable ada di sana, bahkan sebagian baru saya tahu adanya. Binatang yang sudah punah seperti mammoth dan dinosaurus pun dibahas, tentu dengan penjelasan yang sangat memuaskan pikiran dan rasa ingin tahu. Binatang dari proses kelahiran hingga mati dan dekomposisi-nya dijelaskan, memperkaya koleksi yang sudah sangat beragam. Hal yang paling gokil menurut saya adalah mereka punya koleksi tulang T-rex yang nyaris utuh! 



Saya tidak terlalu paham istilah dalam permuseuman, tapi sebagai pengunjung awam ini adalah museum terbaik yang pernah saya kunjungi sejauh ini. Bangunannya keren, megah, dan bersih, sangat representatif sebagai tempat mencari hiburan sekaligus belajar, tentu accessible untuk anak kecil, lansia, dan penyandang disabilitas. Koleksinya lengkap, dikurasi dengan baik, dan dilengkapi penjelasan dengan kalimat-kalimat yang berbobot tapi tetap enjoyable. Selain itu museumnya terasa hidup karena adanya kru yang dengan senang hati menjelaskan dan menjawab pertanyaan pengunjung serta peneliti yang rutin mempresentasikan risetnya sesuai jadwal.

Selesai mengunjungi seluruh lantai kami mengambil barang di locker room lalu jalan keluar. Kami kembali menuju stasiun Leiden Centraal untuk mengambil kereta ke arah Den Haag. Di sana kami makan siang di salah satu dari banyak (mungkin puluhan) warung makan Indonesia yang ada di kota itu. 

By the way, teman saya ini lulusan arsitek, silakan simak portfolionya di sini: Portfolio






Salam,
Chandra





Long Game



Saya dulu pikir bekerja di luar Indonesia itu tidak mungkin. Dalam beberapa kesempatan ke luar negeri saat sekolah dan kuliah, rasanya bandwidth saya sudah habis banyak untuk mengkhawatirkan berbagai hal: tidak nyaman berada di lingkungan berbeda, was-was tidak paham bahasa asing, khawatir kejahatan jalanan, takut nyasar, dan lain sebagainya. Sisa bandwidht-nya hanya cukup untuk mengarungi hari itu yang isinya seminar atau agenda akademik lain. Sementara saya membayangkan andaikan sisa kapasitas itu harus digunakan untuk bekerja rasanya tidak akan cukup. Dari dulu sejak membaca novel Edensor dan nonton Habibie Ainun, bayangan ke luar negeri adalah untuk belajar bukan bekerja. 

Faktor lain adalah saya belum punya contoh orang yang tinggal lama di luar negeri untuk bekerja, jadi saya simply tidak tahu bahwa opsi bekerja di luar negeri itu ada. Padahal untuk bisa menginginkan sesuatu kita perlu tahu bahwa sesuatu itu ada. Sebelum saya tahu ada kue namanya blackforest saya tidak akan punya keinginan makan blackforest. Sama halnya fakta bahwa saya tidak punya kenalan yang beraktivitas di politik praktis atau menjadi elected official membuat saya tidak pernah ada bayangan untuk menjadi bupati.

Lalu seiring berjalannya waktu mulai ada satu dua orang yang saya tahu berkarir di luar negeri. Salah satu yang saya dengar karena tulisannya viral waktu itu adalah Mbak Mona di Amerika, back in SMA-days beliau adalah role model bagi pejuang olim matematika DIY. Tapi saya merasa nggak di level itu, pikir saya ini black swan saja, jadi saya tetap skeptis terhadap kemungkinan berkarir di sana. Saat itu media sosial juga belum sekencang sekarang, jadi informasi soal anak muda Indonesia yang bekerja di luar negeri belum sampai ke saya (atau mungkin saya yang kurang gaul saja).

Babak berikutnya adalah di mana saya mulai melihat eksodus beberapa teman yang pindah bekerja di luar negeri. Awalnya dua, lalu lima, sepuluh, hingga kini belasan atau lebih kenalan langsung sudah jadi ekspat. Kenalan langsung di sini artinya orang yang saya kenal dan mengenal saya, bukan hanya yang saya lihat di layar kaca. Wait, kalau begitu ini bukan black swan lagi. Orang-orang 'pada umumnya' ternyata punya akses juga ke sana. Ini mengubah total cara pandang saya soal bekerja.

I feel like having bigger fish to fry, I'll play the long game.

Waktu itu timeline-nya saya sedang bekerja di sebuah perusahaan finance di Jakarta. Perubahan pandangan saya soal kemungkinan go international membuat yang tadinya saya bekerja untuk hidup dan nabung (Jakartan Dream you know) jadi bekerja untuk mengembangkan diri dan memperbesar peluang ke depan. Di titik itu saya mulai bilang pada orang tua, "sek nggih soal nyicil rumah, kami kayanya nggak selamanya di jakarta, barangkali ada peluang pindah ke luar negeri". Alhamdulillah mereka tidak pernah bilang tidak. Setiap ada teman bertanya soal itu, saya sampaikan jawaban serupa dengan menghilangkan bagian luar negerinya, lebih baik diasumsikan bahwa ingin kembali ke Jogja. I am not correcting them, sampai menjelang hari-H berangkat ke Belanda kemarin pun sangat terbatas orang yang tahu soal rencana ini, I'll get into that.

Mindset 'play the long game' yang saya temukan saat itu membawa perubahan besar ternyata, baik di dalam maupun di luar pekerjaan. Itu membuat saya jadi jauh lebih positif. Ketika melihat teman seumuran semakin advance dalam karir dan hidupnya saya tidak merasa envy, justru berpikir 'good for you'. Ribut-ribut seasonal soal beasiswa, pejabat yang tidak berhenti memperkaya diri, dan isu politik yang makin mobat-mabit tidak lagi terasa terlalu mengganggu. Saya jadi bisa melepaskan fokus dari hal-hal seperti itu, menjadikan saya jauh lebih tenang dan lebih bisa berpikir ke depan. Istri juga sangat membantu karena dia mengurus hal-hal yang sifatnya harian-bulanan sementara saya berpikir lebih panjang. 

Selanjutnya perpindahan ke Commbank semakin memberi ruang untuk saya karena alhamdulillah semakin tidak perlu mengkhawatirkan urusan harian. Lebih penting dari itu adalah culture Australia-nya memberikan pengalaman internasional walaupun meja kerja saya tetap di Jakarta. Orang-orangnya juga kompeten dan menjadikan saya harus keep up dengan mereka. Kombinasi itu semua selama dua tahun, plus umur yang semakin menua dan gemblengan kehidupan rumah tangga rasanya sejalan dalam membantu persiapan rencana jangka panjang saya.

Lalu datanglah panggilan dari Belanda ini, kebetulan Commbank sedang dalam proses merger (baca soal itu di sini). Klop, jujur saya juga nggak nyangka bisa begini, alhamdulillah berkali-kali. Saya memang mengaktifkan Open for Opportunity (for recruiter only), tapi tidak mengira akan ada recruiter dari belahan dunia lain yang menghubungi. Saya pasang badge 'linkedin helped me get this job' karena prosesnya berawal dari message di platform itu. Saya jawab begitu juga ketika ditanya teman soal ini, tentu dengan detail yang lebih dalam yang tidak bisa saya tuliskan di sini.

Saya menjalani serangkaian interview selama ramadhan kemarin, salah satunya ketika di hari yang sama mengantar istri cabut gigi, what a day. Interview terakhir adalah saat kami dalam perjalanan mudik ke Jogja. Lalu di hari kedua atau ketiga kami di Jogja, saya mendapat kabar bahwa selected. Saat saya sampaikan ke orang tua bahwa saya dapat offering ke Belanda saya bilang untuk jangan memberi tahu siapa-siapa dulu, selain menurut saya ini sensitif, saya khawatir batal atau ada apa-apa dalam prosesnya yang panjang (paspor, visa, dll). Saat itu paspor aktif saja saya belum pegang, here comes cerita membuat paspor percepatan di Wonosobo. Kasarnya saya baru mau bilang ke orang-orang ketika sudah mendarat di Belanda. Pada akhirnya hanya keluarga, saudara, dan orang dekat saja yang tahu, plus orang kelurahan, dukcapil, dan kementerian yang saya temui saat mengurus administrasi. Jujur saya takut prosesnya break down saat semua orang sudah tahu. Sekian persen dari saya masih menganggap ini too good to be true bahkan saat sudah mendarat di Schiphol.

Sekarang doa kami adalah semoga keberadaan kami di sini ini berkah, aman, dan mendatangkan kebaikan buat banyak orang. Alhamdulillah so far so good, kami tidak mendapat kesulitan yang berlebihan di sini. Saya berusaha untuk lebih sering meng-update ke orang tua agar mereka tidak kepikiran. Mungkin bagi mereka ini seperti waktu melepas saya ke Bandung waktu itu, atau mungkin lebih, entahlah. 

Saya yang pernah melalui perubahan dari tidak tahu, lalu black swan, lalu akhirnya 'eh kayanya bisa', berharap lebih banyak orang mengalami realisasi yang serupa. Tidak harus soal bekerja di luar negeri, bisa juga dikaitkan dengan bisnis, keluarga, dan lain sebagainya. Saya sih tidak berharap dianggap jadi teladan atau apa, saya tidak se-noble itu, tapi saya senang kalau bisa menambah keyakinan orang untuk play their own long game.


Salam,
Chandra