Skripsi Nembak


Saya sudah pikirkan dari kemarin tapi belum menemukan kata dalam bahasa Indonesia yang tepat menggambarkan situasi ini, maka saya namai saja momen X. Momen X adalah saat dimana kita, dalam profesi apapun, mempertanggungjawabkan hasil kerja, atau hasil kerja kita dinilai oleh orang yang punya hak/kuasa untuk itu. Dalam momen X ini kita tidak punya tempat berlindung apapun sehingga baik-buruknya atau sukses-gagalnya hasil pekerjaan itu langsung kena ke kita. Momen X seorang dokter barangkali saat ia harus melakukan tindakan yang berkaitan dengan keselamatan pasien. Momen X seorang arsitek atau desainer mungkin saat dia mempresentasikan hasil desainnya pada klien. Momen X pekerja bidang administrasi dan keuangan bisa jadi saat auditor datang. Poinnya adalah setiap profesi ada momen X-nya, dengan kadar tekanan dan pertaruhan yang berbeda-beda. Tolong bantu saya kalau menemukan istilah yang tepat untuk momen seperti itu.


Dalam video penerbangan perdana pesawat N250 di atas, lihatlah bagaimana para engineer bersorak ketika pesawat itu lepas landas. Kerja keras bertahun-tahun bisa jadi berbuah kesuksesan yang layak dirayakan atau sebaliknya jadi sia-sia ditentukan hasil terbang perdana hari itu. Itu adalah momen X bagi mereka. Ada presiden, tokoh internasional, media, dan jutaan mata jadi hakim keberhasilan atau kegagalan mereka. Tidak mau sampai mengumpamakan insiden, tapi bayangkan saja pesawat itu gagal terbang hari itu karena belum siap, atau terpaksa mendarat lebih cepat karena masalah teknis, itu bisa jadi tiket pensiun dini bagi banyak orang. Salah satu dosen saya pernah bilang, momen paling menyeramkan untuk seorang pekerja teknik adalah ketika ia diminta melihat barang yang dia buat digunakan pertama kali.

Saya menulis ini karena gemas dengan fenomena joki skripsi yang saat ini sedang ramai di media sosial. Berdebat dengan penyedia jasa joki tidak akan ada habisnya, mereka akan selalu mencari argumen pembenaran. Bagi saya itu unethical business, titik, nggak peduli apa kata mereka. Saya mau lebih menyoroti dari sisi demand-nya, yaitu mahasiswa yang menggunakan jasa mereka. Alasan yang banyak terlontar adalah nggak punya waktu, nggak bisa nulis, dan mau gampangnya aja. Saya terbayang alasan lain yang belum banyak disebut di internet, yaitu oknum mahasiswa ini tidak siap untuk membuat sesuatu lalu bertanggung jawab atas itu.

Kalau masalahnya waktu, semua mahasiswa punya waktu yang sama. Skripsi atau tugas akhir didesain sedemikian rupa supaya bisa dikerjakan, sesimpel itu. Tugas besar ini diletakkan di semester akhir saat mata kuliah lain sudah selesai dan lulus. Secara kultur mahasiswa tingkat akhir juga sudah lengser dari aktivitas ekstrakurikuler. Alasan waktu ini nggak masuk menurut saya. Kalau jasanya untuk transkrip interview, membantu mencari responden/probandus, atau semacamnya masih oke (S&K berlaku), tapi bukan untuk nulis skripsi. 

Kalau masalah kemampuan, saya nggak memungkiri bahwa membuat karya dari nol dengan guidance minim bisa jadi sulit, apalagi kalau terbiasa hanya mengerjakan soal. Tapi orang-orang yang pakai joki ini minta dibikinkan dari bab 1 yang literally tinggal nulis. Padahal dengan sedikit effort saja bisa cari referensi karya dengan topik yang mirip, lalu tiru kalimatnya dengan parafrase, ini bare minimum banget. Saya yakin bab 1 ini bukan masalah skill, lagipula siapa bilang skripsi harus bagus? Jika di mata kuliah lain oke saja untuk dapat B atau bahkan C, kenapa untuk skripsi dari awal sudah merasa nggak bisa?


Jika skripsi dibuatkan orang lain, ketika nanti tulisannya dikritik atau disalahkan dia akan biasa saja karena itu bukan salahnya sebab orang lain yang bikin. Lebih jeleknya lagi dia bisa komplain pada penyedia jasa joki karena merasa sudah bayar (mahal). Ketika mahasiswa lain syok tulisannya dicoret, dia tidak begitu karena merasa bisa melempar tanggung jawab. Dia tinggal sampaikan ke joki untuk revisi, lalu dia sendiri bisa pergi-pergi.

Mahasiswa ini pada akhirnya akan dilatih juga oleh joki supaya bisa menjawab pertanyaan saat sidang. Kalau dia bisa nangkap dan dosen pengujinya kurang peka bisa saja lulus. Tapi mahasiswa ini melewatkan kesempatan berharga untuk membuat sesuatu dan mempertanggungjawabkannya di hadapan orang lain. Skripsi adalah kesempatan terbaik untuk itu karena sifatnya yang long term 3-6 bulan, sudah seperti siklus di pekerjaan yang pakai quarter, semester, dll. Pengguna joki tidak mengalamu itu, lalu mau mengharapkan yang begini siap kerja sebagai fresh graduate?

Ketika bekerja tekanannya lebih berat karena kita dibayar. Kalau dari skripsi saja sudah terbiasa njagakke orang lain ya gimana bisa diharapkan performanya baik ketika dihadapkan problem nyata. Orang yang 100% jujur mengerjakan skripsi saja mobat-mabit di pekerjaan, apalagi ini. Nggak heran kalau perusahaan mensyaratkan pengalaman kerja untuk entry level sekalipun. 

Ini out of topic tapi coraknya sama dan lucu juga kalau diingat-ingat. Kenapa banyak perusahaan atau instansi pemerintah pakai jasa konsultan? Kenapa mereka mau bayar mahal untuk itu? Sementara konsultan belum tentu lebih ahli daripada mereka. itu karena if something goes south mereka mau decision-nya bukan milik mereka :)

Balik lagi ke skripsi, menurut saya kalau memang sulit mencegah mahasiswa mengerjakan dibantu joki atau AI (sama aja?) mending skripsi dan tugas akhir diterapkan untuk yang butuh-butuh saja: kesehatan, saintek, seni & desain, vokasi, dan semacamnya yang dalam profesinya jelas butuh keahlian, otherwise efek buruknya besar. Untuk yang lainnya bisa diganti tugas lain yang sifatnya pengabdian atau tugas sosial, kerja praktek wajib misalnya. Selain itu kasih juga batas waktu tercepat lulus 4 tahun, tidak bisa lebih cepat, supaya mahasiswa tidak bersaing cepet-cepetan lulus dan skripsi bisa dikerjakan secara proper tanpa kekurangan waktu. 

Kalau demand bisa dihilangkan atau setidaknya dikurangi, perusahaan penyedia joki lama-lama akan kehilangan pasar. Saya bilang perusahaan karena mereka sudah ada yang sampai bikin PT. Nge-cancel di media sosial hanya solusi sementara, nanti kalau masyarakat sudah lupa ya mereka bisa berdiri lagi dengan nama yang berbeda. 

Terkahir, buat saya sendiri masa-masa tugas akhir adalah salah satu yang paling berkesan selama kuliah (selain masa TPB). Saya dan dua rekan lab punya jadwal rutin mingguan untuk konsul dengan dosen pembimbing, kalau nggak salah ingat hari rabu. Sebelum itu selalu badan nggak enak karena khawatir progres di minggu itu tidak sesuai dengan ekspektasi dosbing. Tapi ketika bimbingan selesai dan beliau cukup puas rasa leganya luar biasa, biasanya saya rayakan dengan makan apa yang pengen saat itu. Menjelang sidang saya sempat sakit tapi ternyata itu karena tegang saja, selesai sidang langsung sembuh padahal nggak minum obat apa-apa. Rough, tapi memorable.

Kami bertiga satu lab dan tahu apa yang dikerjakan masing-masing orang. Kami tahu pasti tidak ada yang pakai joki karena melihat progres masing-masing hampir setiap harinya. Itu natural saja terjadi, tidak ada aturan yang mengharuskan saling sharing dengan lab-mate agar akuntabilitas terjaga atau progres terverifikasi. Saya sempat dengar kabar burung bahwa di jurusan lain ada yang tidak bisa menjawab saat sidang karena diduga pakai joki, ybs kena hukuman berat. Kami biasa aja mendengar itu karena tidak pernah terpikir untuk pakai joki. 


Di sisi lain prodi juga percaya pada para mahasiswa TA. Kami dianggap sudah setengah bekerja dengan diberi desk masing-masing. Kami diberi akses juga untuk menggunakan alat-alat lab yang diperlukan. Hubungan timbal balik ini sangat produktif dan menghasilkan iklim akademik yang sehat. Endingnya kami dikasih 'liburan' dengan diberangkatkan conference untuk mempresentasikan apa yang kami kerjakan di tugas akhir. Tugas akhir pada akhirnya tidak hanya jadi buku yang dipajang di perpustakaan tapi juga paper yang diterbitkan. Sampai beberapa tahun setelah lulus saya masih dapat email korespondensi yang merespon pekerjaan saya itu, walaupun saya yakin karya saya tidak sempurna karena bagaimanapun itu 'hanya' tugas akhir S1. 


Salam,
Chandra

0 comments :

Post a Comment