Prayer Room



"Excuse me Ma'am, I'm new here, do you know any prayer room in this building?", tanya saya pada seorang ibu-ibu yang sedang mengurus perkakas kantor. Beliau berjilbab, jadi saya yakin muslim. Beliau bukan dari Indonesia, timur tengah most likely, tapi sepertinya sudah lama di Belanda kalau saya lihat dari bahasanya yang sudah lancar. 

"Ah pray? Moslem?", jawab si ibu sambil tangannya menunjukkan gestur takbir. Saya lihat mukanya agak berbinar menjawab pertanyaan saya. Mungkin tidak tiap minggu ada yang bertanya begitu. "Come", lanjutnya lalu langsung berjalan menuju pintu. Dia pamit pada rekan-rekannya untuk pergi sebentar menunjukkan tempat salat pada saya, "He's moslem", katanya. Mereka tidak keberatan, justru membukakan pintu sambil tersenyum. Saya bergegas mengambil tas karena saat itu memang sudah jam pulang lalu langsung mengikuti langkahnya. 

Ruangan demi ruangan kami lewati dan beberapa orang kami temui. Si ibu banyak bertegur sapa dalam bahasa Belanda, saya hanya bilang Hi, nice day, dan thank you saja. Lalu tibalah kami di ruang laktasi. Ternyata ruangan ini yang kerap dipakai karyawan muslim untuk beribadah. Tempatnya bersih, ada kran, dan bisa dikunci sehingga cocok untuk tempat salat.


Di kantor ini tidak ada mushola. Setelah saya baca-baca dan lihat-lihat memang tidak lumrah ada tempat ibadah (agama apapun) di kantor dan tempat umum lainnya di Belanda. Ada pemisahan yang tegas antara area publik dan area privat. Kantor adalah area publik sementara agama dan keyakinan adalah urusan privat. Sebagai sesama warga tetap saling menghormati dan menjaga, tapi keep your faith at home, kira-kira begitu pahamnya. Maka sebagai muslim yang pelaksanaan ibadahnya overlap dengan jam kerja, kami harus pintar-pintar mencari solusinya.

Setelah sampai di ruang laktasi tadi, si ibu menjelaskan bagaimana cara mengunci pintu dan lain sebagainya. Beliau lalu pamit untuk melanjutkan pekerjaannya. Tidak lama berselang saya juga keluar karena sebenarnya saya sudah salat, sebelumnya saya salat di locker room. Saya tanya prayer room untuk mencari tahu barangkali ada ruang yang dedicated berfungsi sebagsi mushola. Locker room-nya sendiri kondusif buat salat. Ada shower di sana yang bisa saya pakai untuk wudhu, biasanya shower ini digunakan karyawan yang mandi di kantor, misalnya karena ke kantor dengan bersepeda jarak jauh. Tapi dengan ketemunya ruang laktasi ini saya jadi tahu tempat salat yang direkomendasikan oleh muslim yang sudah lama bekerja di sana.

Saya agak terbantu dengan jam salat saat ini dimana hanya salat dzuhur yang waktunya jatuh pada jam kerja, sementara ashar ada di jam 6. Di musim dingin nanti siang hari akan memendek sehingga kedua salat akan berada di jam kerja. Tapi at least dengan bantuan ibu itu saya sudah tahu di mana bisa melaksanakan salat secara privat. Adanya WFH juga memudahkan karena membuat saya tidak perlu ke ruang laktasi setiap hari.

Belanda sepertinya memang punya kebijakan yang menyuruh perusahaan untuk memberlakukan hybrid working meskipun sudah tidak darurat covid. WFH sangat membantu terutama pada hari Jumat karena saya jadi mudah untuk menentukan mau salat jumat di masjid mana. Seperti kemarin saya jumatan di masjid Turki yang letaknya 7 menit jalan kaki dari tempat saya tinggal. Diaspora Turki dan Maroko adalah yang paling rajin mendirikan masjid di sini, orang Indonesia numpang salat saja.

Perbedaan yang saya temui di sini adalah diwajibkannya masuk masjid dan salat menggunakan kaos kaki, katanya untuk mencegah jamur. Secara pelaksanaan ibadah mirip dengan di Indonesia, perbedaan ada pada khotbahnya yang menggunakan bahasa Turki. Ini adalah foto masjid tempat saya jumatan kemarin, tidak terlalu besar dan secara bentuk lebih mirip rumah, tapi dalamnya bersih, nyaman, dan hangat.


Sebenarnya selama kita tinggal atau bekerja di kota besar di Belanda, selalu ada masjid dalam jangkauan, walking distance lah. Saya menemukan masjid di sekitar saya dengan memasukkan keyword 'masjid', 'mosque', atau 'moskee'. Di jumatan kemarin saya tidak melihat wajah Indonesia satupun, mungkin karena memang tidak banyak orang kita di Nijmegen atau karena sedang pada pergi bekerja sehingga salat di tempat lain. Tapi minggu lalu ketika jumatan di Utrecht saya lihat beberapa orang pakai batik. 

Utrecht memang lebih kota besar dibanding Nijmegen. Banyak orang yang bilang Utrecht adalah kota yang sangat expat-friendly. Saya belum ke kota besar lain seperti Den Haag, Rotterdam, Leiden, dan Amsterdam sehingga belum menyaksikan sendiri kondisinya. Tapi dengan besarnya komunitas expat dan Indonesian di sana saya pikir setidaknya sama friendly-nya dengan Utrecht. 

Gambar masjid yang saya jadikan sampul di atas adalah masjid tempat saya salat jumat minggu lalu, salat jumat perdana saya di Belanda. Untuk yang satu ini benar-benar berbentuk masjid dan lokasinya sangat strategis karena dekat dengan stasiun Utrecht Centraal. Di dekatnya banyak toko halal yang menjual makanan timur tengah dan bahan makanan dari Asia. Soal makanan insyaAllah di tulisan lainnya.






Setelah hampir 30 tahun jadi mayoritas, kini saya berada pada posisi minoritas. Tentu salat di sini tidak semudah di Indonesia yang di segala tempat ada masjid atau mushola. Bahkan kalau perlu mampir di restoran fastfood atau minimarket untuk numpang salat pun bisa. Di sini sebelum pergi ke suatu tempat harus cek dulu apakah di sana ada masjid, berapa jauh jaraknya, stasiun mana saja yang di dekatnya ada masjid sehingga kalau perlu bisa mampir, dan di tempat kerja mesti kreatif mencari tempat yang bisa dipakai untuk salat.

Tapi sisi positifnya adalah ikatan antar muslim di sini kuat, tanpa peduli dari negara mana atau warna kulitnya apa. Muka saya tidak cukup timur tengah sehingga beberapa kali orang masih perlu mengkonfirmasi bahwa saya muslim. Tapi saat bersama istri, orang langsung tahu kami islam. Beberapa kali kami ketemu muslim lain di jalan atau toko dan mereka mengucap assalamualaikum. Waktu saya pertama ke masjid Turki dan masih bingung soal kaos kaki, tempat wudhu, dll orang-orang di sana menjelaskan dengan ramah. Tidak terasa ada gatekeeping meskipun tahu saya bukan orang Turki dan kesulitan memahami beberapa signage. 

Kami belum mengalami puasa ramadhan, salat ied, kurban, dan beberapa ibadah lain di sini. Doakan kami bisa istiqomah dalam menjalankan ibadah dan mampu mengatasi kesulitannya jika ada. Kami mencoba untuk mencari jalan tengah antara menghormati budaya lokal dan menjalankan kewajiban, navigating through it.


Chandra

0 comments :

Post a Comment