Renovasi Masjid


Salah satu fenomena kurang indah yang saya saksikan di ibukota adalah adanya orang-orang yang meminta uang di jalan dengan mengatasnamakan pembangunan masjid. Bermodal steger yang dipasang di samping masjid atau fasad yang tampak tak segera dirampungkan, beberapa orang duduk dan berdiri di jalan sambil mengacungkan jaring yang biasa digunakan menangkap ikan, kadang diiringi rekaman ceramah atau lantunan ayat. 

Foto di bawah ini saya ambil sendiri di suatu sore di daerah Pamulang, kegiatan ini sudah dilakukan berbulan-bulan tanpa terlihat perubahan signifikan pada bangunan masjid, karena masjidnya sebenarnya juga sudah berdiri. Kalau yang sering masuk dari arah barat Jakarta, pasti pernah melihat juga aktivitas serupa di daerah Joglo dan Cipulir.



Menurut saya aktivitas ini tidak elok. Ini merendahkan izzah(kemuliaan)-nya rumah Allah. Pengendara yang lewat di jalan itu belum tentu orang Islam. Seminimal-minimalnya, aktivitas ini menyebabkan macet tambah parah. Kalaupun benar uang yang terkumpul digunakan untuk pembangunan masjid, ini menunjukkan pengurus yang kurang bagus dalam melakukan perencanaan, mestinya renovasi kalau dana sudah ada. Saya masih bisa paham kalau kebutuhannya untuk membeli lahan atau membangun bangunan baru, fundraising sambil jalan. Tapi dalam banyak kasus masjidnya sudah tampak jadi dan sudah digunakan, tidak ada urgensi untuk melakukan renovasi. 

Masjid Jogokariyan di Jogja pernah melakukan renovasi yang memakan biaya hingga 2,4 milyar. Tidak ada pihak masjid minta-minta di jalan. Salah satu upaya penggalangan dana yang pengurus lakukan adalah me-repro sebuah foto arsip masjid yang menampilkan seorang mandor yang sedang mengawasi pembangunan masjid Jogokaryan pada tahun 1960an. Foto itu dicetak besar dan dipigura, lalu diantarkan pada cucu bapak mandor yang ada di foto itu, kebetulan sang cucu sudah jadi pengusaha kayu jati sukses di Jogja. Beliau bersedia datang saat diundang rapat panitia renovasi masjid oleh pengurus. Bahkan demi melanjutkan amal jariyah eyangnya, beliau bersedia secara aklamasi ditunjuk sebagai ketua panitia, sekaligus bersedekah setengah dari biaya keseluruhan. Foto + pendekatan hati = 1,2 M.

Baca juga: Masjid untuk Semua

Oke Masjid Jogokariyan mungkin contoh yang terlalu jauh. Saya mundur ke masjid dekat rumah saya. Masjid ini dulu sangat sederhana, hanya ruang salat saja tanpa serambi. Pelan-pelan bangunan meluas dengan serambi seadanya, lalu makin lama makin disempurnakan dengan lantai dan atap yang rapi. Tempat wudhu, parkiran, sampai gudang juga berikutnya dibangun dengan baik. Progresnya pelan tapi pasti, salah satu alasannya ya menunggu terkumpulnya dana. Biasanya pemasukan paling banyak terjadi saat ramadhan hingga hari raya. Setelah lebaran sering ada improvement bangunan fisik masjid. Benar saja kemarin saat long weekend waisak saya pulang dan saat itu ada kerja bakti merapikan parkiran. Pekerjaan padat karya seperti ngecor akan dilakukan dengan gotong royong warga, hanya hal-hal yang butuh keterampilan khusus yang akan di-outsource ke tukang.

Bukan hanya satu, masjid kampung sejenis banyak menunjukkan pola pembangunan yang serupa. Masjid kami di desa, tidak banyak hal yang bisa diusahakan dari sisi finansial. Pemasukan terbesar dari dua hari raya, plus kalau pas ada donatur mungkin. Sisanya kotak infaq yang ditaruh begitu saja bagi yang hendak mengisi. Tapi saya belum pernah dengar ada warga yang usul untuk pasang jaring di jalan atau minta pada orang yang lewat.

Begini, di tempat saya masjid kebanyakan berafiliasi dengan salah satu antara NU atau Muhammadiyah. Contohnya di masjid saya ada ustadz yang secara rutin dikirim oleh ranting Muhammadiyah untuk mengisi kajian warga. Dalam proses itu tentu ada semacam 'audit' yang akan memicu alarm jika masjid dikelola dengan tidak benar. Ada nama baik organisasi dan gerakan yang dititipkan di sana. Sementara di kota, dengan banyaknya tempat ibadah dan padatnya penduduk saya ragu jaringan pembinaannya bisa seintens di daerah, impact-nya tentu pengawasan yang tidak optimal.

Pemerintah pun sebenarnya punya alat untuk melakukan pengawasan, atau minimal penyuluhan melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kementerian Agama. Menindak secara hukum sih saya pikir nggak bisa, tapi menetapkan prosedur dan melakukan pelatihan manajemen masjid saya pikir bisa dilakukan. Mereka punya data masjid di seluruh Indonesia, bisa lah berangkat dari sana. Saya beberapa kali menulis hal positif soal Kemenag periode sekarang, andai pembinaan masjid ini benar bisa dilakukan wah salut banget.




Saya yakin saya bukan satu-satunya orang yang gusar dengan adanya aktivitas penggalangan dana di jalan yang dilakukan oleh institusi masjid atau yayasan yang mengatasnamakan agama. Ada cara yang lebih pantas untuk fundraising. Kalau akuntabilitas terjaga, jamaah dan donatur akan percaya untuk menitipkan ZIS-nya, bahkan dalam jumlah besar. Alangkah baiknya masjid berfokus pada membangun jamaah, jika jamaahnya tumbuh InsyaAllah masjidnya akan membesar dengan sendirinya sambil jalan.

Kiamat tidak akan terjadi hingga manusia bermegah-megahan dalam membangun masjid,” (HR Abu Dawud).

Lalu, sorry to say, konsesi tambang untuk ormas keagaamaan adalah bentuk besar dari ini.

Mohon maaf atas salah-salah kata.
Salam,
Chandra

0 comments :

Post a Comment