Madesu
Mas-mas di Paksi Band menyuarakan sebuah keresahan melalui lagu berjudul Madesu. Lagu ini menyoroti fenomena kenalakan remaja yang marak terjadi di Jogja. Lebih spesifik, ini soal gejala klithih dan konvoi kendaraan bermotor yang sangat mengganggu dan membahayakan masyarakat umum. Jalur cepat ring road yang secara aturan diperuntukkan bagi roda empat, dilalui konvoi puluhan motor anak-anak muda yang membawa petasan hingga sajam.
Mas Paksi Raras membuat testimoni lebih lengkap melalui video di kanal Mojok dalam rubrik Ngrasani. Pada intinya dia punya hipotesis mengapa fenomena ini banyak terjadi di waktu-waktu tertentu seperti libur sekolah dan bulan puasa. Ia juga menambahkan bahwa mayoritas pelajar yang melakukan itu adalah yang berasal, nyuwun sewu, dari sekolah non-favorit. Rata-rata dari mereka tidak mau atau tidak bisa melanjutkan ke jenjang kuliah karena satu dan lain hal. Akhirnya aksi di jalan adalah salah satu ekspresi pelampiasannya.
Apakah Jogja satu-satunya kota dengan anak muda yang tidak punya cukup akses ke perguruan tinggi? Tidak juga. Tapi di Jogja ada fakta lain yaitu banyaknya perguruan tinggi dan pendatang yang mengisi kursi-kursi di kampus-kampus tersebut. Bukan tidak mungkin di balik tindakan anak-anak muda ini ada jiwa yang meri. Para pendatanglah yang punya akses lebih ke kampus/jurusan favorit, kos ekslusif, dan kafe-kafe fancy untuk diskusi ndakik-ndakik atau buka bersama bareng circle-nya.
Mas Paksi mengajak, sek to, ayo dipikir lebih jauh kenapa anak-anak muda Jogja berbuat begitu. Kesenjangan kah, kurangnya wahana berekspresi kah, media sosial kah, atau apa. Pemerintah, akademisi, pegiat seni, tokoh masyarakat, dll punya peran dan tanggung jawabnya masing-masing disini.
Mbok menawa bocah kui saktenane
Pengin neruske sekolahe
Dadi mahasiswa sing omongane dhuwur
Macak intelek kaya liyane
***
Saya diskusi dengan istri soal ini, mau tahu sudut pandang dia sebagai ex mahasiswa lokal Jogja. Dia bilang bahwa bahkan untuk anak kuliahan pun terasa gap antara mahasiswa lokal dan pendatang. Ada satu tempat nongkrong dan nugas di dekat asramanya yang dia 'tidak berani' masuk hingga lulus kuliah. Sebenarnya sesekali masuk bisa, tapi sudah jiper duluan dengan tampilannya, merasa nggak belong. Kalau yang kuliah saja merasa jadi warga negara kelas dua, bagaimana yang tidak punya pilihan untuk kuliah.
Tentu ini bukan salah pemilik tempat, mahasiswa pendatang, atau orang tua mereka. Mahasiswa datang karena memang banyak kampus di Jogja, beberapa diantaranya favorit. Pasar ini dimanfaatkan untuk membuka berbagai jenis usaha seperti F&B, fashion, sampai kos-kosan. Yes di Jogja ada kos-kosan yang sewa bulanannya dua kali UMR Jogja bahkan lebih.
Jogja (dan DIY) itu daerah yang sensitif terhadap modernisasi dan pendatang. Kecintaan warga pada budaya asli dan stabilitas tinggi. Suara-suara penolakan terhadap pembangunan mall dan hotel selalu ada sejak dulu. Pemerintah pun sempat punya kebijakan moratorium pembukaan hotel. Bantul sampai sekarang tidak punya mall dan bioskop. Jangankan mall, bank BCA saja dulu nggak bisa masuk. Pernah dengar isu etnis tertentu sulit punya properti di Jogja? Dengar kontroversi soal Heha dan kabar Raffi Ahmad mau bangun beach club di Jogja?
Tapi arus mahasiswa tentu nggak bisa dibendung. Jadi saya sepakat dengan poin yang disampaikan Mas Paksi. Tanpa niat membenarkan apa yang dilakukan adik-adik ini, kita perlu sadar bahwa berada di posisi mereka juga tidak enak. Hukum dijalankan, tapi bolehlah taruh sedikit empati.
Saya bersyukur di kampung saya kuliah sudah lumayan jadi tren. Kebanyakan lulusan SMA melanjutkan ke perguruan tinggi, atau daftar polisi. Merantau ke luar kota untuk kuliah bukan lagi hal yang langka. Menurut saya salah satu yang punya andil adalah masyarakatnya. Kondisinya sudah jamak untuk keluarga-keluarga punya rencana bagi anaknya setelah lulus SMA. Hasilnya anak-anak ini jadi lebih punya pilihan.
Jarene pemuda kota pelajar
Duwe kampus neng saben kecamatan
Duwe bakat dadi seniman
Ning ra isa melu kumpulan
Komunitas sanggar seni skena kolektif
Sarate cah kuliahan
Nuwun,
Chandra
0 comments :
Post a Comment