Permanent Record
Saya sedang baca buku Permanent Record karya Edward Snowden. Snowden mengambil judul itu sebagai representasi bahwa hal yang pernah kita produce secara digital akan terekem semuanya, selamanya. Foto yang pernah diupload di instagram, kalimat yang dipost di twitter, komentar di video youtube, artikel di blog, jawaban di quora, file yang dibackup ke cloud, foto yang ada di handphone (dengan izin akses galeri pada instagram), dan lain sebagainya. Menghapus konten itu hanya membuatnya tersembunyi orang lain, tapi tidak ada jaminan benar-benar hilang. Konten private seperti chat whatsapp dan email pun terekam. Jangankan itu, perilaku online kita yang intangible saja disimpan.
Frustrasi kalau memikirkan fakta bahwa kita semua direkam dan diawasi setiap saat. Ketika semua hal terkoneksi dan berbasis digital, rasanya sudah tidak mungkin mengharapkan data kita benar-benar milik kita. Yang kita bisa harapkan semoga data-data penting tidak jatuh ke tangan yang salah dan disalahgunakan sehingga menyebabkan gangguan keamanan atau kerugian finansial. Kita terlalu powerless untuk mengubah kondisi itu, tapi tidak untuk Edward Joseph Snowden, system administrator CIA dan NSA yang punya akses ke sistem top secret intelejen Amerika. Ia tergerak untuk berkorban menjadi whistleblower yang melaporkan kepada jurnalis tentang penyalahgunaan wewenang pemerintah Amerika yang melakukan mass surveillance. Itu bukan tanpa resiko, sekarang ia menjadi eksil dan tinggal dengan suaka di Moskow bersama istrinya.
Kita sudah rutin membuat jejak digital, let's say, sejak 2007. Sebagian mungkin sebelum itu terutama yang sudah punya akses internet lebih awal. Sebagian besar platform yang kita pakai adalah buatan Amerika: Facebook, Google (termasuk YouTube), WhatsApp, Instagram, Twitter, Amazon, dll. Maka kita bisa assume bahwa walaupun kita bukan siapa-siapa tapi data kita ikut dicollect sama mereka. Inilah sebabnya ada ketegangan antara Amerika dan China soal Tiktok, Huawei, produksi chip, dan semacamnya. Buat mereka ini bukan cuma perkara bisnis tapi juga national security, intelejen, dan penguasaan wilayah.
Aksi yang dilakukan Snowden ini bukan terjadi baru-baru ini. Ia come out dengan data-datanya pada 2013 saat bertemu jurnalis Glenn Greenwald, Laura Poitras, dan Ewen MacAskill. Bayangkan saat itu saja surveillance sudah sangat masif, apalagi sekarang saat kehidupan digital dan nyata sudah semakin sulit dipisahkan. Buku ini adalah memoir paling lengkap yang membahas peristiwa whistleblower Edward Snowden, tapi ada alternatif lain yaitu dua film yang bisa ditonton: Citizenfour (2014) dan Snowden (2016). Silakan ditonton untuk tahu lebih banyak tentang aksi heroik ini.
I used to work for the government, but now I work for the public - Edward Snowden
Saya coba mereka-reka, andaikan ada pihak yang mengambil data-data saya, gambaran apa yang akan mereka dapatkan soal saya. Kalau hanya dari Facebook dan Twitter sih tidak terlalu risau. Paling yang bisa didapat dari sana adalah apa hobi saya, siapa teman-teman saya, di mana saya sekolah dan tinggal (kota), apa pendapat saya soal beberapa isu, klub olahraga favorit saya, dan paling sama seberapa memalukan tipografi saya di jaman-jaman awal sosial media. I can live with that, toh konten yang saya post disana saya keluarkan secara sadar dan saya tahu akan dilihat orang.
Tapi yang 'bahaya' adalah email. Email adalah sebenar-benarnya saksi bisu perjalanan hidup. Saya punya 2 email utama yang saya pakai sejak SMA dan kuliah. Email tahu kegiatan saya saat sekolah, cerita mendaftar kuliah (di tulisan soal UKT saya ambil evidence dari email), profil sosmed yang pernah saya buat, invoice barang yang pernah saya beli dan tiket yang pernah saya pesan, event yang pernah saya hadiri, pekerjaan yang pernah saya apply (termasuk attachment dokumen), kerjaan freelance dan part time yang pernah saya garap, slip gaji, tagihan telepon, sertifikat seminar & tes bahasa, file tugas akhir, rangkuman perjalanan ojek online, sampai urusan asmara pun ada disana hahaha. Email itu private, jadi jelas isinya jauh lebih personal. Ibaratnya twitter itu ruang tamu sementara email adalah kamar tidur.
Tapi ya beginilah era teknologi. Teknologi yang interconnected membuat kita berada di bawah massive surveillance, sulit untuk lepas dari itu. Batasan dunia nyata dan maya sudah semakin kabur, jauh lebih kabur daripada jaman handphone masih nokia candybar dulu. Bahkan mungkin sekarang sudah tidak ada maya dan nyata, sudah ngeblend jadi satu. Begini deh, kamu lebih khawatir mana, membiarkan orang asing berada di rumahmu sendirian selama satu jam atau membiarkan dia mengakses handphonemu unlocked selama satu jam? Apa yang ada di smartphone bisa lebih penting daripada yang ada di dalam rumah.
Thanks,
Chandra
0 comments :
Post a Comment