Bulutangkis Punya Satu Masalah
Federasi Badminton Dunia mengalami kesulitan menggaet penonton kelas atas seperti halnya yang dilakukan tenis. Ada satu hal sederhana yang membuat badminton tidak juga bisa dikemas 'semahal' tenis: bola yang memantul.
BWF terus berusaha untuk menaikkan gengsi badminton supaya sejajar dengan tenis (ATP/WTA). Nomenklatur 'Super Series' sudah diganti World Tour, muncul gagasan mengubah skoring dari 21x3 menjadi 11x5 yang akhirnya ditolak kalangan atlet, sampai digaungkannya ide penggunaan dress dan skirts untuk pemain wanita seperti tenis. Setelah semua itu badminton belum juga bisa bersaing. Kenapa? Menurut saya masalahnya ada di bagaimana olahraga itu sendiri dimainkan.
Tenis sulit dimainkan di akar rumput, di kampung-kampung. Pernah lihat bocah SD pulang sekolah main tenis? Saya sih belum. Permainan tenis hanya bisa terjadi dengan bola yang memantul. Kalau tidak ya tidak terbentuk permainannya. Akibatnya tenis tidak bisa dimainkan di sembarang lapangan dan dengan sembarang bola. Oke untuk bola masih bisa didapat tapi lapangan tidak semudah itu. Area bermain tenis harus cukup luas untuk memberi ruang pantulan bola, permukaan pun harus padat dan datar. Syarat-syarat itu membuat tenis jadi olahraga yang eksklusif.
Sementara itu badminton punya prinsip yang lebih sederhana, memukul sesuatu sebelum jatuh menyentuh lantai. Petak tanah kecil bisa dipakai untuk main. Tali jemuran bisa dianggap sebagai net. Apapun yang bisa dipakai namplek bisa digunakan sebagai raket. Entry barrier untuk masuk ke badminton lebih rendah daripada tenis. Badminton jadi lebih masal, tapi kalah prestise.
Lihat saja apparel yang dipakai pemain tenis dunia: Nike, Adidas, Lacoste, Uniqlo, EA7, Babolat, dll. Sementara di badminton masih mentok di Yonex, Li Ning, dan Viktor. Turnamen tenis juga disponsori brand luxury seperti Rolex, sementara Indonesia Open 2023 sebagai contoh, 'hanya' menggaet Kapal Api Group. Padahal IO adalah salah satu turnamen level tertinggi BWF (Super 1000).
Lee Chong Wei, Axelsen, Lin Dan, Tai Tzu Ying, dan Taufik Hidayat mungkin hanya terkenal di negara masing-masing dan di kalangan penikmat badminton. Tapi Roger Federer, Rafael Nadal, Maria Sharapova, dan Serena Williams ngetop di seluruh dunia. Atlet tenis dunia masuk dalan jajaran atlet dengan sponsorship/endorse terbesar bersama Ronaldo, Messi, dan bintang-bintang NBA. Tiger Woods pegolf legendaris juga masuk, another 'expensive' sport. Atlet badminton masih belum.
Kalau lihat antrian penonton badminton di Istora Senayan setiap ada gelaran Indonesia Open atau Indonesia Master, selalu didominasi anak muda yang ingin have fun teriak-teriak melepas penat. Sementara kalau nonton turnamen tenis di TV, penontonnya banyak bapak-bapak paruh baya dengan setelan bos atau pengusaha sedang plesiran. Merebaknya hobi tenis di kota besar seperti Jakarta doesn't help, malah semakin menegaskan eksklusivitas tenis.
Gejala yang sama ada di sepakbola vs basket. Piala dunia memang jadi gelaran olahraga paling banyak ditonton di seluruh dunia. Tapi ini juga menunjukkan bahwa sepakbola itu olahraga massal. Sepakbola bisa dimainkan oleh semua anak-anak. Tapi saat saya kecil dulu yang bisa main basket hanya anak yang punya akses ke lapangan (rare) dan yang di halaman rumahnya luas dan dikonblok, punya ring, dan punya bola. Di SMA status sosial anak basket lebih tinggi daripada anak futsal. That says a lot.
Coba bandingkan bagaimana mereka mengemas Premier League dan NBA. Dua-duanya kompetisi elit dengan perputaran dana yang besar. Tapi Premier League masih didominasi sisi sport dan achievement, sementara NBA sangat terasa nuansa party dan entertainment-nya. Itulah kenapa PL tidak punya kiss cam dan cheerleader menari-nari, sementara NBA (dan US major sport lainnya) tidak ada sistem promosi degradasi. Olahraga nampaknya punya peran berbeda di dalam society Amerika dan Eropa. Olahraga Eropa adalah precision & finesse. Olahraga Amerika adalah authority & muscular.
Dari dunia balap FIA kini tengah berusaha meng-Amerika-kan Formula 1. Tapi ini justru dibenci existing fans. Formula 1 adalah balapan gaya Eropa, sementara Amerika sudah punya Nascar. F1 adalah olahraga super presisi dimana kontak antar pembalap sama sekali bukan opsi, sementara di Nascar senggolan antar mobil adalah biasa, bahkan sebelum dilarang dulu pernah ada strategi wall ride dimana pembalap secara sengaja menyerempetkan mobilnya ke dinding.
Kita bisa mencari contoh dari olahraga lain lagi. Tapi intinya organizer tidak perlu risau kalau olahraganya tidak bisa menjangkau semua kalangan. Bisa jadi itu bukan masalah kurangnya marketing, tapi semata-mata dari bagaimana cara olahraga itu dimainkan.
Salam Olahraga!
Thanks,
Chandra
gambar:
unsplash
uniqlo
watchpro
autosport
0 comments :
Post a Comment