Solstice


Selain perkara suhu, hal yang juga harus dibiasakan saat menjelang musim dingin adalah perubahan panjangnya hari. Harinya sih tetap 24 jam, maksud saya panjang siang dan malam harinya yang berubah. Pada 21 Desember nanti akan terjadi Winter Solstice yaitu hari dimana siang harinya terpendek sepanjang tahun. Menuju kesana, saat ini juga sudah terasa betapa siangnya sebentar dan malamnya lama. Sekarang ini jam 8 pagi masih gelap, sementara belum jam 5 sore sudah gelap lagi. Sungguh secara teknis ini waktu yang sangat nyaman untuk puasa. Berikut foto dengan timestamp.



Dengan waktu terbit dan tenggelamnya matahari yang agak awkward ini, kadang kita kehilangan track atas waktu. Di pagi hari rasanya tahu-tahu sudah siang jam 10 atau 11 padahal matahari baru saja keluar. Sebaliknya di sore hari rasanya sudah larut karena matahari sudah terbenam dari tadi padahal ternyata baru jam 8. Ini semua terkait dengan bagaimana bumi mengelilingi matahari, bagaimana bumi sendirinya punya kemiringan, dan pada akhirnya bagaimana musim dan iklim terbentuk.

Solstice terjadi karena kemiringan (tilt) bumi yang 23.5 derajat itu. Di Indonesia tidak terlalu terasa karena berada dekat khatulistiwa sehingga waktu terbit dan terbenamnya matahari hanya swing beberapa menit saja (terasa saat imsak / buka). Tapi di tempat dengan latitude tinggi alias jauh dari ekuator perubahannya besar. Pada bulan Juni di belahan bumi utara terjadi Summer Solstice (kebalikan winter solstice) dimana siang harinya sangat panjang, saat itu jam 3 pagi matahari sudah terbit dan baru terbenam setelah jam 10 malam di Belanda. Lalu pada bulan Desember seperti saat ini terjadi winter solstice. Gejala sebaliknya tentu terjadi di belahan bumi selatan.

Kalau dari sudut pandang kita di bumi, seolah matahari bergerak dalam 2 orientasi. Pertama dari timur ke barat yang menyebabkan adanya siang dan malam. Kedua, gerak semu matahari sepanjang tahun bolak-balik antara utara dan selatan khatulistiwa yang menyebabkan adanya musim. Tapi kita juga tahu bahwa tata surya itu sebenarnya heliosentris, artinya matahari sebagai pusat. Maka sejatinya kita (bumi)-lah yang bergerak terhadap matahari. Siang dan malam terjadi karena rotasi bumi sehingga kadang kita menghadap matahari (siang) dan kadang membelakangi matahari (malam). Sementara gerak semu matahari disebabkan revolusi bumi mengelilingi matahari dengan kecepatan 1 tahun untuk 1 putaran. 

Masalahnya bumi mengelilingi matahari dalam posisi miring 23.5 derajat, membuat bagian bumi yang terpapar panas matahari secara tegak lurus/frontal selalu berubah. Dua kali dalam setahun matahari menerangi tepat di atas khatulistiwa sehingga di seluruh belahan bumi panjang siang harinya relatif segaram, ini disebut equinox (equal+night). Tapi selain di hari equinox itu titik 'hotspot' yang diterangi marahari akan bergeser ke utara dan selatan. Titik balik paling utaranya adalah lintang yang melewati Mesir, Arab Saudi, India dan Meksiko sebelum kembali lagi ke selatan. Sementara titik balik selatannya melewati Australia, Chile, dan Afrika Selatan.


Ilustrasinya ada pada gambar dari Encyclopedia Britannica di atas. Kita juga bisa praktekkan dengan senter dan bola plastik kalau mau. Kuncinya di sini adalah kemiringan 23.5 derajat itu yang menyebabkan wilayah pada latitude tinggi mengalami either tilting towards the sun atau tilting away from the sun. Tilting ini juga lah yang menyebabkan adanya musim. Matahari memengaruhi temperatur dan sirkulasi udara serta air laut yang pada gilirannya memengaruhi musim. Tapi proses ini butuh waktu sehingga biasanya ada delay antara siang terpanjang dengan suhu tertinggi serta siang terpendek dengan suhu terendah. Hari-hari terpanas biasanya terjadi di bulan Juli-Agustus, bukan Juni di mana siangnya panjang. Begitu pula puncak musim dingin terjadi pada Januari-Februari, bukan Desember saat winter solstice. 

Karena durasi siang-malam yang terus berubah tiap harinya, kebiasaan orang sini dalam menyebut pagi siang sore biasanya tidak bergantung pada ada tidaknya matahari melainkan dengan pembagian jam yang relatif tetap.

06-12: ochtend
12-18: middag
18-24: avond
00-06: nacht

Maka walaupun jam 5 sore sudah gelap, orang tetap akan mengatakan goedemiddag, yang secara arti lebih ke good afternoon/midday, bukan avond (evening) apalagi nacht. 

Orang juga tetap pada aktivitasnya regardless ada tidaknya cahaya matahari. Pada Desember seperti ini orang berangkat dan pulang kerja saat masih gelap. Sekarang ini saya salat 3 kali di kantor: dzuhur, ashar, dan maghrib. Padahal saat musim panas dulu hanya dzuhur saja karena ashar-nya jam 6 sore. Banyak subsidi silang, sekarang berangkat gelap pulang gelap, tapi di bulan Juni setelah pulang kerja masih punya banyak waktu sampai matahari terbenam. Saat musim dingin biaya energi naik karena heater sering nyala, tapi di musim panas biaya murah karena tidak perlu pakai pemanas. Maka banyak hal lebih make sense dihitung secara tahunan bukan bulanan: konsumsi energi, tagihan, income, subscription, dll.


Chandra

After Storms


I changed company a couple of times so far and most of them happened around the middle of the year. Not that I tried to abuse 'notice after THR' trick, it's just happened quite often that I had contact with some recruiters around March, then having interview during Ramadhan, and sign the deal just before lebaran. I was once doing interview in rest area while travel for mudik.

Joining around the same time of the years multiple times means going the same onboarding pattern over and over again. First month is just trying to remember people's name. Second and third month starting to understand what needa to be done, what is the expectation, and how thing works. Then after that the real works began.

So it's usually around October when honeymoon period is over, people start expecting something from you, tickets are piling, and many things are coming at your direction. At this point I haven't really understand the whole thing yet but already need to get them done. The fact that this pattern comes couple of time already doesn't make me free from those anxiety and sleep difficulty.

But that too shall pass, now we're on December after stormy Oct and Nov. December is the month where everythings feels slowing down especially here in the Netherlands. People are taking vacation, management announced freeze period,  and holiday gitfs are handed out. Surely we got parcel on the end of the year, unlike in Indonesia where it is on lebaran. But the thing thay I'm very grateful for is when my manager gave me this note.


A personalized handwritten shout out on December make up for all the hardwork during the previous months. Yes she gave everyone a shout out, but still this one boost my confidence and make me feels that I belong here. This is something similar to getting 46/51 score one the first Matematika 1A midterm back in TPB. Figure that make me believe I can survive S1 ITB.

Speaking about TPB, in those years October was also a stormy months because we, first year people, need to go to the campus EVERY SATURDAY morning for UTS as we have neither dedicated UTS week nor minggu tenang, also there's not enough room to accomodate all TPBers to take the tests during workdays.


One more thing about this holiday parcel, I noticed that there's no christmas greeting on it, instead it's celebrating holiday. I am not sure if it is company's way to appreciate diversity or generally a Dutch culture. Eitherway it's a good touch eventhough we (me and an Indian colleague) has said in a chit chat that it's not a problem for us if you guys celebrate christmas, there are also Christian in our country celebrating it. 


Chandra

Sembilan Tahun


Sembilan tahun umur blog ini, banyak perubahan terjadi seiring pergantian fase hidup saya. Blog ini dulu dipakai untuk upload segalanya sebelum eranya instagram story. Lalu ada masanya blog ini dipakai untuk impress people, hanya menulis yang keren-keren dan cool (menurut standar saat itu). Pernah juga blog ini coba dimonetisasi walaupun hanya sebentar karena iklannya terlalu mengganggu, tidak sebanding dengan adsense yang didapatkan. Sempat juga blog ini diusahakan untuk menunjang karir profesional, karena itu juga rela memakai domain berbayar.


Ada kalanya saya berusaha menulis mengikuti kaidah SEO agar traffic naik. Kadang-kadang juga terpengaruh penulis yang sedang saya ikuti atau bacaan yang sedang saya baca, misalnya ingin sedikit komedi seperti Agus Mulyadi atau filosofis-romantis ala penulis-penulis muda yang naik daun beberapa tahun yang lalu. Ada juga pengaruh dari blog kanan kiri yang saling memengaruhi dan muncul di waktu-waktu tertentu. Kini saat ada di posisi yang cukup unik karena tinggal di luar negeri, ada dorongan untuk menulis gaya influencer yang informatif menceritakan segala aspek kehidupan di sini. Ya yang paling memungkinkan untuk saya memang lewat tulisan. Dengan penampilan yang kurang kamera friendly, aksen yang medok, dan bawaan minim percaya diri, jelas tidak cocok kalau mau memproduksi konten-konten visual. Mungkin nanti akan ke sana, tapi sekarang tipis-tipis dulu karena masih banyak sekali hal yang saya belum tahu. Sebisa mungkin jangan terjebak dunning-kruger.

Yang penting buat saya saat ini dan tidak berubah dari dulu adalah blog ini saya anggap sebagai health check, artinya kalau saya masih ngepost berarti saya baik-baik saja, masih up and running. Setiap tulisan bisa beda-besa intensi dan maksudnya, tapi kesemuanya adalah beacon yang memancarkan pesan 'hey aku di sini dan baik-baik saja'. Tidak selalu tulisan keluar dengan mudah dari kepala ke jari lalu ke layar, kadang-kadang harus sedikit dipaksa. Tapi karena sudah jadi seperti kebiasaan rasanya ada yang kurang kalau belum nulis dalam waktu lama. Secara teknis saya pindah dari menulis di laptop jadi menulis di handphone karena lebih praktis dan mudah dilakukan di mana saja: di kereta, sambil nunggu bis, sebelum tidur, dll.

Motivasi lain yang membuat saya keep going menghidupi blog ini adalah karena mendengar sebuah nasehat yang bunyinya kira-kira begini: di umur 25-30an sebaiknya punya setidaknya satu aktivitas yang dilakukan rutin tapi tidak bermotif finansial. Nasehat itu satu segmen dengan anjuran olahraga 150 menit per minggu, minum air putih, dan jangan begadang. Intinya nasehat dari orang umur 40an pada orang yang memasuki umur 25-30an. 

Kalau saya jago main musik mungkin saya akan jamming bikin-bikin lagu walaupun tidak untuk dirilis. Kalau saya jago gambar mungkin hobi saya gambar-gambar kartun di ipad. Balik lagi karena saya tidak jago keduanya, sepertinya nulis adalah hal paling mungkin dijadikan kebiasaan (dan paling murah untuk memulai). Waktu mulai dulu saya tidak mengira bisa betah mempertahankan blog ini sampai bertahun-tahun. Tentu makin kesini makin eman kalau mau berhenti. Ke depan cara dan gaya menulis saya tentu akan berubah terus dan yang lampau jadi tampak wagu (padahal saat ditulis terasa keren). Let's see seperti apa jadinya.


Chandra




Saling Menjaga


Nah, this is a banger. Baru beberapa hari yang lalu bicara soal Letto, hari ini saya nemu hidden gem yang benar-benar hidden. Lagu ini bahkan tidak dirilis secara resmi, tidak ada di streaming platform, tidak ada di music list instagram, hanya ada di youtube diupload oleh fans. 


Yang terjadi biarkanlah saja tuk menjadi
Yang menjadi jangan ada untuk disesali
Kau tahu semua ini datang dari mimpi
Sebuah mimpi yang sejak lama kita hidupi

Yang terjadi adalah bagian dari cerita
Yang terjadi bisa malah membuat kita terjaga
Tak perlu kau menunjukkan jarimu ke muka
Sebelum sama-sama bisa untuk berkaca

Renungkanlah..
Setelah semua badai yang berhembus telah reda
Tertinggallah kita yang semakin dewasa
Setelah semua badai yang terjadi tlah tiada
Tertinggallah diriku dan dirimu saling menjaga

Yang terjadi adalah bagian dari cerita
Yang terjadi bisa malah membuat kita terjaga
Tak perlu kau menunjukkan jarimu ke muka
Sebelum sama-sama bisa untuk berkaca

Renungkanlah..
Setelah semua badai yang berhembus telah reda
Tertinggallah kita yang semakin dewasa
Setelah semua badai yang terjadi tlah tiada
Tertinggallah diriku dan dirimu saling menjaga

Kalau kata Ibou Konate: a cote de la difficulte est, certes, une facilite


Langkah



Hanya dalam 5 bulan, sepatu sudah tepos seperti ini. Sepatu ini saya beli di Jakarta 3 hari sebelum berangkat ke Belanda. Jadi praktis baru saya pakai di sini. Keadaan memaksa orang banyak jalan kaki, dan itu terlihat dari kenaikan jumlah langkah harian saya sejak Juli. Di awal tahun rata-rata saya jalan 3000 langkah per hari, sementara pada Juli-September sampai lebih dari 8000. Oktober-November agak turun karena suhu sudah semakin dingin jadi frekuensi jalan di luar agak berkurang. Meski begitu angkanya tetap lebih dari 6000 secara rata-rata. Ini natural langkah harian saja tanpa motif olahraga.
Rekor langkah terbanyak terjadi di 18 Agustus yang sampai 19000 langkah saat jalan-jalan ke Leiden. Ada beberapa hari lain yang sampai di atas 15 ribu. Mostly aktivitas saya ter-record, tapi ada beberapa yang tidak karena handphone mati atau tidak dibawa, saya belum pakai smartwarch sampai saat ini. Ketika ngegym handphone saya taruh jadi aktivitas di treadmill tidak di hitung. 

Saya punya dua sepatu yang sering dipakai. Satu dari Indonesia yang saya foto di atas, satu lagi beli sepatu lari di sini. Sekedar sepatu harga €35 karena saya masih belum mau invest barang mewah untuk lari, beli di semacam Sport Station-nya sini. Jadi andai sepatu dari Indonesia ini jadi satu-satunya yang saya pakai, ausnya bisa lebih parah lagi. 

See, uppernya masih bagus karena memang masih baru, tapi gaya hidup jalan kaki yang hardcore ini memang makan outsole dan bagian belakangnya itu.


Chandra

Fatwa Hatimu


Ah pick me banget mosok band favorit Letto.
Ah itu mah dumeh sama-sama dari Jogja.
Alah si paling maiyahan.

Yaa tentu nggak juga kalau saya cuma dengar Letto, saya pastinya growing up bersama Peterpan dan Radja juga jaman-jaman itu. Letto justru baru saya sadari karyanya bagus setelah beranjak dewasa. Gimana bisa bikin lagu dengan lirik seperti ini tapi nggak dianggap lagu religi.

Teringat ku teringat
Pada janji-Mu ku terikat
Hanya sekejap ku berdiri
Kulakukan sepenuh hati
Peduli ku peduli
Siang dan malam yang berganti
Sedihku ini tak ada arti
Jika Kau-lah sandaran hati
(Sandaran Hati)

Penggalan lirik itu bisa dianggap lagu cinta-cintaan biasa (dan itu yang saya rasa dulu). Tapi seiring berjalannya waktu justru lebih pas kalau -Mu dan Kau- nya dalam huruf besar. Banyak musik 2000an yang masih enak didengar sampai sekarang, seperti intronya Mimpi Yang Sempurna atau bagian solo gitarnya Manusia Biasa. Sayangnya kebanyakan lagu-lagu itu liriknya terasa cringe kalau didengar dan dibaca sekarang. Itulah yang menurut saya beda dari Letto, liriknya age well, makin tua tidak jadi cringe tapi malah makin enak dirasakan.

A soft summer rain
A smile that hides a pain
Why should you be ashamed
'Cause in every life a little rain must fall
(Truth, Cry, and Lie)

Di jaman itu tidak banyak musisi atau band Indonesia yang merilis lagu dalam bahasa asing karena 'tekanan' label. Beda dengan sekarang yang semua bisa merilis sendiri/indie sehingga variasinya sangat beragam. Dulu satu Melayu ya Melayu semua. Letto satu dari beberapa yang bisa agak melenceng, dan melencengnya sampai sekarang. Misalnya dengan mengeluarkan lagu berbahasa Jawa berjudul Kangen Deso ini. Pada 2010 vokalis Letto memproduseri film berjudul Minggu Pagi di Victoria Park, lagu ini bisa dibilang 'versi musik' dari film tersebut.

Jroning rasa tan kuwowo [dalam hati tak kuasa]
Kangen marang kluwargo [kangen pada keluarga]
Lungo adoh saka ndeso [pergi jauh dari desa]
Golek sandang lan boga [mencari pakaian dan makan]
(Kangen Deso)

Elingo sliramu marang [ingatkah engkau kepada]
Embun enjang kang prasaja [embun pagi bersahaja]
Nemoni sliramu [yang menemanimu]
Tumekaning cahyo [sebelum cahaya]
(Sebelum Cahaya - live version)

Tentu saya juga mengerti Letto tidak bisa disejajarkan dengan legend macam Dewa atau Sheila On 7. Sheila tetap jadi top of mind ketika bicara grup band Jogja, arguably band Jogja pertama yang bisa menembus Jakarta dan panggung internasional. Hanya ada beberapa hits dari Letto yang semua orang tahu seperti Sebelum Cahaya dan Ruang Rindu (jadi sangat terkenal karena dipakai soundtrack sinetron). Tapi banyak hidden gem di album-album Letto yang tidak terlalu banyak didengarkan tapi kalau didalami liriknya seperti keluar dari buku bukan album lagu.

Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah merasa memilikinya
(Memiliki Kehilangan)

Far too many emotions 
That taint my soul
Before my faith
And often I drown in the moment
When in the end they are ephemera
(Ephemera)

Meskipun banyak dari kalimat-kalimatnya bersayap, tidak semuanya lantas bernuansa sendu. Beberapa menghangatkan hati dan bisa dipakai untuk menyampaikan pesan pada yang tersayang. 

Tapi saat ku merasa sepi
Desir angin pun tak menemani hati
Tapi saat ku tak punya mimpi
Hanya engkau (Engkau) yang selalu memberikan arti
(Tapi Saat)

Ku tahu mawar tak seindah dirimu
Awan tak seteduh tatapanmu
Tapi kau tahu yang kutunggu
Adalah senyumanmu
(Senyumanmu)

Tentang kita dan tentang cinta
Tentang janji yang kau bawa
Jika nanti saat kau sendiri
Temukanku di fatwa hatimu
(Fatwa Hati)


Sekian corat-coret malam minggu saya sebagai top 0.6% Letto listener in 2024 on YouTube Music. Rasanya dengan statistik seperti itu saya sudah boleh self-proclaim sebagai Pletonic hahaha. Ambil baik-baiknya saja.


Chandra

Hangat in So Many Levels


Setelah beberapa hari 'musim dingin', aliran udara panas kini berhembus lagi di atas north sea. Matahari bersinar membuat suhu menyentuh 16 derajat siang hari ini. Apa cara terbaik merayakan hari yang cerah? Tentu dengan bertemu orang-orang Indonesia, ngaji ilmu dikit-dikit, dan menyantap makanan hangat. Top. 

Ada banyak lingkaran komunitas Indonesia di berbagai kota di Belanda. Masing-masing dengan agenda, kegiatan, dan segmennya masing-masing. Ada yang isinya ibu-ibu sepuh, ada yg muda mudi, ada yang basisnya mahasiswa, ada yang digerakkan keluarga-keluarga yang sudah lama di Belanda, dan lain sebagainya. Tidak neko-neko, tujuannya ya untuk menjaga silaturahmi, ngobrol-ngobrol (bahasa Indonesia), makan-makan, senang-senang, dan belajar (termasuk anak-anak yang minim pelajaran agama di sekolah). 


Salah satunya Pengajian Ede ini yang kami tahu dari temannya seniornya istri di asrama waktu mahasiswa dulu, yang ternyata suaminya adalah senior saya di kampus. Ya begitulah rumit, di perantauan niche seperti ini getok tular dan six degress of separation bekerja in full flow. Serunya kelompok ini adalah rata-rata pesertanya muda. Ede ini dekat dengan Universitas Wageningen (WUR) jadi banyak mahasiswa Indonesia di sini baik yang master maupun PhD. Ada juga yang bekerja, tapi rata-rata masih relatif baru juga. Karena sama-sama diaspora anyaran jadi obrolan bisa lebih nyambung dan relate. Tentu akan beda kalau orang-orangnya sudah lama di sini atau bahkan sudah generasi kedua atau ketiga (kakek-neneknya yang merantau).




Tempat yang digunakan pengajian adalah ruang serbaguna di sebuah apartemen yang banyak dihuni mahasiswa. Ada beberapa orang Indonesia yang tinggal di sana sehingga memudahkan pengurusan tempat. Selain itu ada pengurus yang mengurus segala kebutuhan acara termasuk makanan utama. Sisanya peserta yang cawe-cawe sukarela seperti urun membawa karpet, potluck, minum, dan lain sebagainya. Pengisi kajiannya adalah seorang ustadz yang kebetulan juga sedang tinggal di sini bersama keluarganya. Jadi konsepnya dari kita oleh kita untuk kita, bukan binaan atau inisiasi institusi luar.

Hari ini menunya bakso malang, kalau saya lihat-lihat acara semacam ini hobi memilih menu berkuah (bulan lalu sotomie). Saya sih setuju ya, makanan kuah hangat langka banget di sini. Belanda punya budaya sup tapi supnya model kental. Dari orang-orang India juga mereka punyanya curry yang kuat dengan rempah-rempahnya. Makanan berkuah yang light, segar, dan hangat ya masakan Indonesia. Ada juga krengsengan kambing yang enak luar biasa, sedekah sekaligus masakan tangan Bu Nina, satu-satunya sesepuh di pengajian ini. Beliau adalah pengusaha katering yang menikah dengan pria Belanda. Sisanya ada buah, gorengan, dan kue untuk cemilannya. Ajang seperti ini jadi kesempatan bertukar info makanan enak dan halal. 



It's fun, kalau di-list faedahnya acara seperti ini menurut yang saya rasakan:
- Belajar ilmu agama tipis-tipis.
- Sharing dari banyak orang soal bagaimana bisa sampai sini, latar belakangnya seperti apa, prosesnya bagaimana, aktivitasnya apa. 
- Berbagi tips soal housing, vacation, administrative things, dan dealing with living in Holland as Indonesian diaspora.
- Unexpextedly ketemu orang dari satu daerah, satu kampus, satu sekolah, atau punya mutual yang tak diduga-duga.
- Makan enak dan berbagi info sourcing makanan yang halal enak murah. Merk apa, beli dimana, etc.
- Ketawa, melepas penat, menghilangkan stress.

Ketika jumlahnya sedikit, ketemu satu orang Indonesia saja blessing, apalagi berkumpul dengan banyak orang. Terjawab pertanyaan saya soal materi pelajaran agama dulu tentang kenapa silaturahi memperpanjang umur. Negara orang bisa jadi punya better living quality, better education, better public transport, better public service, better governance, udara lebih bersih, air kran bisa langsung di minum, better access ke banyak hal, dll. Tapi yang banyak hilang dari orang-orang yang pindah ke sini adalah hilangnya support system. 

Di Indonesia mungkin kita punya kenalan dokter, di sini mau daftar dokter umum (general practicioner) saja sulit. Di Indonesia mungkin ada kenalan orang yang kerja di dukcapil, asuransi, pajak, polisi, atau lainnya yang bisa ditanya atau dimintai tolong, di sini ya nggak ada. Maka kumpulan seperti ini adalah salah satu support syatem yang paling dekat.

Hangat cuacanya, hangat obrolannya, hangat makanannya.

Thanks,
Chandra







Winter is Coming



Hari selasa (19/11) selepas makan siang saya sedang duduk di depan laptop. Tiba-tiba seorang teman bilang, 'hey, take a break, look at the window!'. Lalu inilah yang saya lihat, salju pertama.



Tidak selalu ada salju di Belanda apalagi ini masih November, maka hujan salju siang itu jadi tontonan. Beberapa orang meninggalkan mejanya untuk keluar hujan-hujanan, termasuk saya. Memang ini bukan salju yang menumpuk tebal, dalam sekejap ia berubah jadi air dan hampir tidak ada beda dengan hujan biasa, tapi tetap salju is salju. Wet snow kalau kata orang-orang. Ini baru permulaan and it's getting serious.

Satu hari kemudian (20/11), hujan salju kembali terjadi dan kali ini lebih deras dan pekat. Untuk beberapa saat salju menutupi halaman dan parkiran apartemen kami. Ini tengah hari tapi suhunya di sekitar 0 derajat celcius. Kali ini saljunya lebih padat, butuh beberapa jam hingga salju luruh dan kembali ke setelan warna autumn.

                               11.20 vs 16.00

Hari ini (22/11) subuh salju kembali turun dengan cukup derasnya. Belum keluarnya matahari membuat salju menumpuk lebih rapat. Menurut prakiraan cuaca, ada potensi nanti siang akan turun hujan air campur salju (wintry mix). Kami sudah mulai bersiasat menyiapkan logistik untuk beberapa hari karena keluar belanja di suhu seperti ini masih berat bagi kami orang dari asia tenggara.


Orang sudah mulai berbagi foto halaman belakangnya yang berwarna putih dan anak-anak yang membuat boneka salju. Kendaraan mulai disarankan mengganti bannya ke ban winter. Warga sudah keluar menggunakan baju berlapis dan jaket waterproof-windproof. 

Salju pertama, winter is coming.


Chandra

00:30


Perbedaan yang saya rasakan antara kuliah dan bekerja adalah intensitas versus durasinya. Satu long duration medium intensity, satunya medium duration high intensity. Ketika kuliah dulu saya masih bisa rileks dan pasif mendengarkan saat dosen mengajar. Hadir setor muka sudah cukup asal tidak bikin gaduh atau tidur di kelas. Santai memang, tapi di sisi lain nanti ketika pulang masih ada tumpukan tugas yang menanti dan menuntut untuk dikerjakan sampai begadang. Menurut kampus, 1 SKS ekuivalen dengan 3 jam aktivitas per minggu: 1 jam di kelas, 1 jam tugas, 1 jam belajar mandiri. Jadi jika sebuah mata kuliah berbobot 3 sks, dosen mendesain bebannya sedemikian sehingga kira-kira mahasiswa akan menghabiskan 9 jam di mata kuliah itu dalam seminggu. Maka untuk jumlah SKS standar yang biasa diambil mahasiswa, anggap 20 SKS, teorinya dalam seminggu dia harus belajar selama 60 jam. Ini belum termasuk kegiatan ekstrakurikuler seperti himpunan, unit kegiatan, dan lomba. 

Sementara itu rata-rata orang bekerja 40 jam per minggu. Lebih pendek, tapi stress dan intensitasnya lebih tinggi karena apa yang dikerjakan adalah kasus di dunia nyata bukan simulasi dan soal ujian lagi, plus kita dibayar untuk melakukan itu. Kalau orang dipaksa bekerja dalam intensitas tinggi selama 60 jam+ seminggu seperti orang kuliah maka sangat mungkin dia akan burnout. 

Tapi kalau lembur sekali-sekali saja boleh lah. Se-worklife balance-worklife balance-nya sini kadang masih perlu bedagang untuk membereskan beberapa hal. Butuh push untuk menjalani lembur setelah hari yang panjang dan melelahkan, apalagi di budaya kerja yang tidak didesain untuk mengakomodir lembur,  saat itulah saya berusaha channeling my mahasiswa energy: membayangkan apa yang biasa saya lakukan dulu, dari mana motivasi dan energi saya dapat, what kept me going ketika lelah, dan berpikir kalau dulu bisa kenapa sekarang tidak.

Saya punya kebiasaan beranjak tidur jam 00:30 waktu di Bandung dulu. Ini sweetspot buat saya, jam segitu biasanya kegiatan sudah rampungan atau bisa dianggap cukup, tapi tidak terlalu pagi juga sehingga menyebabkan kurang tidur. Saya tandai kalau tidur jam 01.30, hanya mundur 1 jam dari kebiasaan, paginya badan nggak karuan banget dan recovery-nya butuh setengah hari sendiri. Kebiasaan saya adalah tutup laptop dan buku jam 00:30, gosok gigi dll, nyetel ESPNFC di NET sambil mengaktifkan timer biar TV mati sendiri, lalu mapan tidur. Biasanya saya bisa terlelap dalam 30 menit ditemani analisis para pandit ESPN Indonesia, tapi kalau mblandang ya sampai ke acara Breakout yang dibawakan Boy William dan Sheryl Sheinafia di jam 01:00. Saya nggak terlalu suka acaranya, tapi terlalu tanggung kalau harus bangun lagi karena TV saya tidak ada remote-nya. Paginya salat subuh, cek-cek HP, dan menyiapkan segala yang dibutuhkan hari itu, lalu jalan keluar sarapan nasi kuning.

Malam ini saya lalukan itu, setelah istri tidur saya buka laptop lagi dan bekerja sampai 00:30. Tidak ada yang nyuruh, ini inisiatif sendiri untuk nyicil kerjaan minggu depan. Sangat-sangat tabu bagi orang sini untuk bekerja di malam minggu. Kalau kata buku The Good Enough Job (Simone Stolzoff), ada istilah integrator dan separator. Budaya Indonesia itu integrator, jadi di tengah-tengah jam kerja bisa disusupi aktivitas pribadi seperti ambil rapot anak, perpanjang SIM, dan beberes rumah tapi tidak keberatan untuk mulai kerja lebih awal atau selesai kerja lebih akhir. Sementara Belanda sangat separator, mereka secara tegas memisahkan jam kerja dan jam pribadi. Saya bahkan punya teman yang di jam kerja handphone-nya dimatikan karena tidak ingin terganggu urusan selain kerjaan. Orang sini kalau makan siang jam 1 teng sudah balik meja, nggak molor sampai setengah 2 karena keasyikan ngobrol. Di sisi lain jam 5 waktunya pulang ya pulang. Tenggo adalah budaya, kalau kerja lebih dari itu malah dipandang aneh. Kami-kami anak baru dari Asia dan Amerika Latin culture shock dengan ini.


Saya batasi sampai 00:30 karena saya ingin functioning properly esok hari. Pada akhirnya saya tidur jam 1 lewat sedikit, mirip-mirip dulu. Bedanya sekarang tidak ada ESPNFC dan Breakout, diganti dengan YouTube dan Noice kalau mau ada backsound pengantar tidur. Pagi harinya tidak ada lagi nasi kuning, harus terima roti tawar dikasih blue band dan meses. Tapi Alhamdulillah pagi ini saya punya cukup kesadaran dan waktu untuk menulis ini. Balik lagi karena budaya yang sangat separator, di hari senin sampai jumat sulit buat saya menemukan bandwidth untuk membuat tulisan, maka postingan saya dua bulan terakhir rata-rata di akhir pekan.

Menulis ini mengingatkan pada tempat kami biasa sarapan di Bandung dulu, nasi kuning dan sambalnya enak banget, semoga bapak ibu sehat dan bahagia selalu.



Thanks,
Chandra

Starstruck


Orang bisa starstruck misalnya saat bertemu public figure yang ia ikuti kehidupannya, seniman yang ia sukai karyanya, politisi yang ia dukung sejak lama, penulis yang bukunya ia baca, dan lain sebagainya. Saya barusan starstruck karena ketemu sebuah lukisan.



Padahal seharusnya lukisan ini memancing rasa marah atau minimal gusar. Sebab apa yang digambarkan di sana adalah salah satu momen paling miris dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme, yaitu peristiwa penjebakan Pangeran Diponegoro. Perang yang dipimpin Pangeran Diponegoro adalah salah satu yang paling berat bagi Belanda walaupun secara durasi relatif pendek, hanya 5 tahun dari 1825 sampai 1830. Ini perang yang sangat membangkrutkan sampai-sampai secara tidak langsung menyebabkan Belgia merdeka dari Belanda.

Karena sudah sangat merugikan, Belanda memutuskan untuk menjebak Pangeran Diponegoro dengan cara mengajak melakukan perundingan. Namun licik, saat perundingan sedang berlangsung Pangeran Diponegoro malah ditangkap. Peristiwa itu dipotret melalui lukisan oleh dua orang berbeda, yaitu Nicolaas Pieneman dari Belanda dan Raden Saleh dari Indonesia. Sudut pandangnya tentu berbeda, siapa yang melukis dia yang bercerita. Pada versi Pieneman, ditampilkan seolah Pangeran Diponegoro menyerah pada Belanda. Sementara pada lukisan Raden Saleh ditunjukkan bahwa Pangeran Diponegoro dikhianati dan ditangkap, bentuk fisik orang kulit putihnya sengaja dibuat kurang proporsional sebagai bentuk protes. 

Versi Raden Saleh
Judul: Penangkapan Pangeran Diponegoro (Gevangenname van Prins Diponegoro)
Tahun: 1857
Saat ini disimpan di: Museum Kepresidenan, Yogyakarta, Indonesia

Versi Nicolaas Pieneman
Judul: The Arrest of Diponegoro by Lieutenant General De Kock
Tahun: circa 1830-1835
Saat ini disimpan di: Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda

Peristiwa ini sendiri terjadi pada 28 Maret 1830 di Wisma Residen Kedu di Magelang. Di hari itu pula Pangeran Diponegoro diasingkan, tampak pada lukisan Pieneman Jenderal De Kock menunjuk ke arah kereta yang akan membawa Pangeran Diponegoro ke Semarang, Batavia, Manado, lalu Makassar. Ini berbeda dengan gambaran Raden Saleh dimana digambarkan Pangeran Diponegoro menegakkan kepalanya dan berdiri sejajar dengan De Kock. 

Adanya dua lukisan untuk peristiwa yang sama ini menjadi bahasan di kalangan kritikus seni. Muncul banyak persepsi seperti lukisan Pieneman berlatar siang hari sementara milik Raden Saleh ambigu antara pagi atau petang, mengisyaratkan kolonialisme akan berakhir dan kemerdekaan akan lahir. Lukisan Raden Saleh juga digambar dari sudut bangunan yang berbeda, kemungkinan untuk tidak menampilkan bendera Belanda. Pendukung Pangeran Diponegoro pada lukisan Raden Saleh ada yang menggunakan pakaian bangsawan dan pakaian santri, ini untuk menunjukkan persatuan. Selain itu tentu proporsi tubuh tadi, raut muka, tone warna, dan suasana jadi pembeda dua lukisan di atas.

Beberapa fakta menarik:
- Raden Saleh bertahun-tahun belajar seni di Eropa atas biaya pemerintah Belanda, di sana ia belajar salah satunya dari Nicolaas Pieneman. Jadi kedua seniman ini punya hubungan guru-murid.
- Raden Saleh tidak pernah bertemu Pangeran Diponegoro. Tapi pada lukisannya ia menyisipkan wajahnya menjadi salah satu pengikut Pangeran Diponegoro sebagai tanda bahwa ia berada di pihaknya.
- Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro aslinya adalah ucapan terimakasih Raden Saleh pada raja Belanda atas biaya yang sudah diberikan selama belajar, lukisan itu sempat disimpan di berbagai tempat di Belanda sebelum direpatriasi ke Indonesia pada 1970.
- Lukisan sempat direstorasi pada 2012 karena mengalami kerusakan.
- Lukisan Pieneman awalnya adalah milik keluarga De Kock kemudian didonasikan ke kerajaan Belanda. Dari caption yang ada di museum, diakui bahwa peristiwa itu adalah sebuah 'betrayal'.


Di luar apa yang diceritakan Pieneman melalui lukisannya yang ada di Rijksmuseum, seberapa bagus estetikanya, dan bagaimana museum menampilkannya, mungkin ini adalah titik terdekat yang pernah saya capai dengan sejarah Pangeran Diponegoro. Dan sebagai orang Jawa khususnya Jogja/Mataram, buat saya ini sesuatu. Bukan orangnya, hanya cerita dan peninggalannya sudah cukup membuat starstruck. 

Lukisan ini didisplay di ruangan yang menyimpan barang-barang seputar Dutch East Indies. Di sana ada buku Max Havelaar karya Multatuli, ilustrasi baju bangsawan Jawa, maket pasar tradisional, foto-foto KNIL, lukisan Postweg (Jalan Raya Pos), lukisan pabrik gula di Jawa Tengah, dan beberapa barang dari Suriname, Antilles, dan Jepang.



Lukisan Diponegoro membuat kunjungan ke museum hari ini bukan hanya sekedar hiburan tapi juga pelajaran sejarah. Ruangan yang memajang sejarah kolonialisme ini jadi yang paling lama saya tongkrongi dan paling banyak ambil gambarnya. Padahal ini hanya sebagian kecil dari Rijksmuseum, bagian lain memajang karya seni terutama lukisan dari berbagai abad dan era, mulai 1100-an hingga 1800-an. Ada juga perpustakaan dengan koleksi ribuan buku yang kalau di deskripsinya dituliskan sampai 1 kilometer, mungkin itu kalau bukunya dijejer-jejer. Technically in museum terbaik dan 'termahal' yang pernah saya kunjungi.





Tentang Rijksmuseum, ini adalah salah satu museum yang jadi destinasi wisata favorit di Amsterdam. Orang yang mau datang harus reservasi dulu secara online di rijksmuseum.nl. Ini untuk mengontrol jumlah pengunjung saking banyaknya yang mau masuk. Pemegang museum kaart tidak perlu membayar tiket lagi tapi tetap perlu reservasi. Museum ini berada di kawasan Museumplein, berdekatan dengan Van Gogh Museum (ini juga harus reservasi), Stedelijk Museum, dan Moco Museum. Dari stasiun Amsterdam Centraal pengunjung bisa naik tram dan turun di halte Museumplein atau Rijksmuseum. 



Pieneman sudah, mungkin nggak ya suatu hari lihat lukisan asli versi Raden Saleh?

Chandra

Fall Back


Saya sengaja melek sampai jam 3 pagi di malam minggu kemarin hanya untuk menyaksikan perubahan jam di handphone. Fenomena ini yang pertama untuk saya dan saya tidak berniat melewatkannya.



Di zona Central Europe, setelah waktu menunjukkan 2:59:59, ia berbalik ke 2:00:00. Ini terjadi satu kali dalam setahun saat pergantian musim panas ke musim gugur. Kebalikannya nanti saat pergantian musim dingin ke musim semi jamnya akan maju satu jam. Handphone, laptop, dan perangkat modern lainnya otomatis menyesuaikan tanpa perlu intervensi pengguna. Tapi untuk barang-barang analog seperti jam dinding dan oven tetap perlu, jadi anjurannya 'set your clock one hour back before going bed on saturday'. Saya membayangkan di jaman dulu waktu semua jam masih tradisional pasti ada orang yang lupa mengeset jamnya lalu datang kepagian ke suatu tempat atau acara.


Aktivitas masyarakat tidak terganggu karena perubahan ini terjadi pada semua orang. Semua tetap pada jadwal biasanya, yang bekerja 9 to 5 tetap datang dan pulang di jam yang sama, toko yang tutup jam 6 tetap akan tutup di jam itu, jadwal perjalanan bis dan kereta juga tidak ada perubahan. Justru poinnya adalah 'menggeser' jam kegiatan masyarakat relatif terhadap posisi matahari agar orang tidak perlu keluar rumah kepagian. Ini adalah foto waktu sebelum fall back saya keluar di sekitar jam 7.30. Masih gelap karena syuruq saja belum. Nanti semakin mendekat ke musim dingin malamnya akan lebih panjang lagi yang berarti sunrise-nya makin telat.


Sementara itu karena mengacu pada posisi matahari, waktu salat maju satu jam. Di bawah ini adalah jadwal salat hari sabtu versus minggu sebelum dan sesudah fall back. Jam yang baru ini lumayan mirip dengan jadwal salat di Indonesia, tapi yang paling menyenangkan adalah jam salat dzuhur/jumat yang jatuh di jam istirahat kerja. Kalau mau puasa durasinya juga sudah cukup pendek.



Sekarang selisih waktu Belanda dengan Indonesia bagian barat jadi 6 jam. Yang ngikutin bola mungkin ngeh di saat-saat begini 12.30 kick-off-nya Liga Inggris berubah jam tayang dari jam 18.30 jadi 19.30, sementara Liga Champion jam 3 pagi. Berasa makin jauh saja dari rumah padahal jaraknya tidak berubah. Tapi jujur sebagai first timer perubahan dari GMT+2 ke GMT+1 ini serasa memberikan bonus tambahan jam tidur 1 jam setidaknya di hari-hari awal. 

Overall nyaman, mari sambut perubahan dengan tangan terbuka walaupun rada kademen. There's always first time of everything.

Thanks,
Chandra

What 'Belum Ada Zonasi' Did To You?


Banyak yang bilang, 'andai dulu sudah ada zonasi, tentu saya yang dari kampung ini tidak akan bisa masuk SMP A, SMA A, lalu kuliah di A, sehingga sekarang jadi A'. 

Meskipun saya juga berasal dari daerah pinggiran kabupaten, somehow ini tidak berlaku untuk saya. Walaupun dari SD sampai SMA di sekolah negeri, saya tidak pernah daftar sekolah pakai NEM dan tidak pernah ikut PPDB. Sehingga ada tidaknya zonasi bisa dibilang nggak ngaruh. Jadi begini..

Waktu SD, orang tua mendaftarkan saya ke sekolah dekat rumah sebagaimana umumnya teman-teman sebaya di sana. Sebuah SD negeri sederhana yang oleh tetangga sekolah lebih akrab disebut SD inpres karena dibangun atas Instruksi Presiden jaman Pak Harto. Sekolah ini seperti gambaran yang muncul di kepala kalian kalau mendengar kata SD di desa. Semua yang daftar kesana diterima, 99% diantaranya adalah warga sekitar. Orang-orang tua menyekolahkan anaknya di sana karena dekat dan tidak perlu nyebrang jalan raya. Cuma ada satu teman saya yang rumahnya agak jauh, dia sekolah di situ karena bapaknya guru. 

Waktu itu di desa saya belum ngetren yang namanya menyekolahkan anak ke sekolah favorit di kota kabupaten, top of mind ketika mendaftar SD ya yang dekat rumah. Favorit atau tidak itu urusan belakangan, yang penting si anak bisa bersosialisasi dan punya teman. SD saya ini favorit tingkat kecamatan saja belum, lomba olahraga sering kalah, drumband alatnya kalah mewah, cuma akademik saja yang lumayan menyala di tahun-tahun terakhir sebelum sekolahnya tutup :)

                  Sekolah kami dari street view

Yes, sekolah kami sudah tutup, angkatan saya adalah lulusan terakhirnya. Saya tidak tahu persis sebabnya, setelah gempa 2006 pemerintah banyak melakukan regrouping dan SD kami adalah salah satu 'korbannya'. Suasananya agak sedih dan marah waktu tahu sekolah akan digabung waktu itu karena dalam banyak aspek sekolah ini sedang tumbuh, lagipula tidak ada SD negeri lain yang dekat dari sana. Pada akhirnya gedung sekolah yang kosong itu dipinjam oleh Muhammadiyah untuk dijadikan SD Muh, adik kelas saya yang masih sekolah pindah nyaris semuanya ke SD Muh itu. Cuma ada satu siswa yang ikut diangkut pindah ke sekolah negeri yang baru, fail banget kebijakannya.

Setelah regrouping itu bapak ibu ex-guru dan alumni masih saling kontak, di beberapa kesempatan kami ketemu dalam acara syawalan saat lebaran. Kami dengar bahwa beberapa guru jadi rebutan sekolah-sekolah lain karena dianggap bagus, saya sih tidak heran karena beberapa guru menurut saya memang pintarnya di atas rata-rata. SD kami kalau lomba ekstrakurikuler babak belur karena keterbatasan fasilitas, tapi kalau lomba matematika-IPA not bad.

Kakak kelas saya juara 1 lomba IPA se kabupaten, sekarang dia sedang PPDS di UGM, S1-nya dulu juga masuk kedokteran UGM jalur reguler. Tahun berikutnya saya juara 2 di ajang yang sama. Di angkatan saya, selain saya saat ini banget ada satu orang di Inggris dan satu orang di Jepang. Memang ini bukan standar 'kesuksesan', but still sampai sekarang masih dongkol kenapa sekolah yang punya potensi, melayani warga beberapa desa, dan dapat nilai ujian akhir daerah ranking 1 sekecamatan (orangnya sekarang di Manchester) malah ditutup dan digabung ke SD yang prestasinya lebih di bawah (tapi lebih tua). Bisanya bilang prestasi sekecamatan aja, karena kalau sekabupaten out of question, sebab ada satu kecamatan di pinggiran Bantul juga yang entah kenapa anaknya pinter-pinter, zonasi benefits them karena sekarang SMA di wilayah itu makin bagus, will get to that.

Cukup cerita SD-nya, beranjak ke SMP. Di Jogja ada koran Kedaulatan Rakyat (KR). Rumah kami dulu langganan itu sebelum masuknya kanal berita digital. Suatu hari ibu saya melihat iklan di KR tentang try out yang diselenggarakan SMPN 1 Bantul, sekolah paling favorit di Bantul (saat itu, sekarang masih gak ya). Daftarlah saya jadi salah satu dari 1181 peserta, banyak banget sampai harus pinjam ruang kelas SMA 2 yang ada di depannya. FYI info-info event dan lomba seperti ini sering tidak sampai ke SD saya mungkin karena saking 'jauh'-nya, atau barangkali sampai tapi guru tidak mengumumkan karena khawatir dikira mewajibkan ikut. Saya, berdua teman, pernah hampir ikut lomba matematika Pasiad di Kota Jogja, tapi pas sudah dekat batal berangkat :)

Saya merasa inferior di try out itu karena siapalah saya yang dari SD antah berantah ini. Banyak anak-anak dari SD negeri dan swasta bagus di kota kabupaten, rame-ramean pula. Saya mengerjakan soal tanpa ambisi, orang tua menunggu tidak jauh dari lokasi karena dikira acaranya nggak lama. Setelah selesai peserta menunggu proses koreksi sambil lihat-lihat sekolah bagus itu, lalu sekitar satu jam kemudian kami diminta masuk ke dalam ruangan lagi untuk dibagikan hasilnya. Sebelum mengumumkan panitia meminta saya dan satu anak lagi di ruangan kami untuk pindah ke lab biologi, tapi dia tidak bilang untuk apa. Ternyata ranking 1 sampai 20 dari babak pertama tadi dikumpulkan lagi untuk babak final. Serius saya bahkan tidak tahu kalau try out ini ada finalnya, saya cuma ikut karena mau tahu kesiapan saya untuk ujian akhir (dan mau memastikan pensil 2B saya valid dipakai di LJK). Di babak final ini soalnya essay menjurus olim.

Pada akhirnya di final saya nggak menang, dapat rangking 13. Tapi yang paling penting justru pengumuman yang disampaikan kepala sekolah saat pidato penutupan, beliau bilang bahwa di tahun itu SMPN 1 Bantul membuka kelas RSBI alias Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional angkatan pertama. Saya mendaftar karena why not, pendaftaran dan tesnya dilakukan sebelum PPDB reguler sehingga kalau belum diterima pun nanti bisa daftar jalur normal. Lagi-lagi informasi soal RSBI ini tidak sampai ke SD saya, jadi semua info dicari sendiri. Setelah mendaftar ada tes, bridging course selama 2 minggu (sekolah di SMP padahal belum lulus SD), tes lagi, lalu alhamdulillah diterima. Teman seruangan yang dipanggil ke lab biologi tadi akhirnya jadi teman sekelas saya 3 tahun, classmate paling jenius selama saya sekolah. Di antara 20 finalis tadi juga banyak yang berteman sampai sekarang. 

Itu RSBI pertama dan pelaksanaannya sangat serius. Kelas kami diberi komputer, proyektor, AC, meja kursi baru, dan lain-lain. Aktivitas khusus kelas RSBI juga banyak, ekstrakurikulernya beda, ada lomba dan event khusus sekolah RSBI, niat banget lah saat itu karena targetnya untuk menghapus huruf R sehingga menjadi SBI. Walaupun akhirnya malah program RSBI dihentikan karena dianggap tidak sesuai dengan semangat kesetaraan pendidikan. 

Di jenjang berikutnya saya mendaftar RSBI lagi di SMAN 1 Bantul, walaupun kali ini rasa RSBI-nya sudah pudar karena semua kelas statusnya sama, tidak seperti pas SMP yang mana RSBI hanya 2 kelas berisikan 50-an anak. Meski begitu masuknya tetap dengan tes sehingga lagi-lagi saya tidak perlu ikut PPDB. Saya tidak mendaftar PPDB Kota Jogja untuk mencoba masuk sekolah favorit di sana seperti yang banyak dilakukan anak-anak dari kabupaten. Saya tidak daftar karena jarak yang jauh dari rumah dan ada beberapa sebab lain. Jadilah saya seumur hidup tidak pernah mendaftar sekolah pakai NEM, dan karena itulah andaikata saat itu sudah ada zonasi mungkin tidak ada pengaruhnya anyway.

***

Tentang zonasi, kalau saya lihat perdebatan di Twitter itu selalu bertabrakan antara dua pandangan atau prioritas yang berbeda. Orang yang pro zonasi berpendapat bahwa pendidikan mesti adil dan setara, baik secara kualitas maupun akses. Harapannya setara pada kualitas yang tinggi, kalau belum ya mesti maju bareng jangan sampai timpang antara sekolah bagus dan sekolah belum bagus. Sementara itu yang kontra zonasi mengkhawatirkan bahwa akan ada talent berbakat yang tersia-sia hanya karena faktor lokasi rumah yang mana si anak nyaris tidak punya kuasa atas itu. Kesetaraan dan anak berbakat sama-sama penting untuk negara, itu masalahnya.

Perdebatan zonasi sampai di topik boleh tidaknya ada sekolah favorit baik secara faktual maupun konsep, bagaimana mitigasi banyaknya kasus pindah KK untuk daftar sekolah (ini sudah ada sejak jaman saya masuk SMA karena efek kuota luar kota), penting tidaknya peer-teaching, daya tampung sekolah vs populasi, dan lain sebagainya. Menurut saya zonasi ini bisa bagus. Kata kuncinya bisa yang tercetak miring karena ada banyak syarat yang mengikutinya. 

Pertama persentase jalur masuk harus dikalibrasi secara benar sehingga kuota jalur zonasi, prestasi, dan jalur lain 'imbang'. Imbang tidak berarti harus sama secara angka, yang penting aksesibilitas dan meritokrasi bisa jalan berbarengan. Untuk sampai ke kalibrasi yang tepat memang butuh waktu, jadi sangat mungkin akan ada beberapa angkatan yang 'dikorbankan'. Ini juga mesti diperhatikan sampai level kabupaten kota karena tiap daerah punya karakter yang berbeda. 

Kedua, permainan pindah-pindah KK perlu dihentikan karena percuma regulasi bagus kalau pelaksanaan amburadul dan aturan dipencoloti. Sulit? Iya, karena yang harus diawasi banyak banget. Maka turunkan motivasinya dengan menurunkan persentase zonasi yang sekarang minimal 50%, katakan ubah jadi 30-40%, sehingga dorongan orang untuk pindah KK agar memenuhi syarat zonasi berkurang karena lebih longgar lewat jalur lain. Ini relate dengan poin sebelumnya soal kalibrasi.

Ketiga, konsep sekolah favorit itu nggakpapa, nggak mungkin semua bisa setara apalagi kalau menghitung sekolah swasta. Makanya ada yang namanya akreditasi di mana untuk tiap tier ada standarnya. Pastikan akreditasi ini works: kriteria dibuat dengan benar dengan melibatkan ahli lalu penilaian dilakukan oleh asesor yang kompeten, independen, dibayar dengan baik, dan berani bilang jelek jika memang jelek. Kalau akreditasi benar-benar dijalankan, kita bisa ambil titik 'setara' di saat semua sekolah sudah terakreditasi A misalnya. Selanjutnya jika ada sekolah, guru, siswa yang ingin going extra miles ya silakan itu bagus. Pada jangka panjang kita berharap pendidikan se-Indonesia bisa bagus semua jadi perbedaan antara satu sekolah dengan sekolah lain hanya masalah alamat saja. Sekarang seberapa percaya masyarakat dengan akreditasi ketika kampus abal-abal nggak jelas aja bisa kasih gelar Dr HC?

Keempat, ini wildcard. Saya kepikiran, kan ada kuota jalur prestasi, kenapa yang jalur prestasi ini nggak pakai tes saja tapi semua orang boleh daftar regardless tinggal dimana? Dengan begitu yang masuk benar-benar tersaring, bukan berkat nilai raport yang nggak bisa dibandingkan satu sama lain karena yang ngasih nilai beda sekolah dan beda guru (di-incentivize ngatrol-ngatrol nilai juga). Toh nantinya di saat mau kuliah seleksinya ada yang dengan tes juga. 

***

Membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar, itu kan semangatnya. Lihat hasil UTBK SMA di Bantul tahun 2022 ini:

Traditional fav SMA 1 dan 2 turun, sementara yang lain naik. Tapi tidak ada yang lebih signifikan daripada SMAN 1 Sanden. Sanden ini adalah sebuah kecamatan di selatan Bantul yang saya sebut tadi, mepet pantai dan jauh dari kota, tapi terkenal pendidikannya bagus dan anaknya pinter-pinter. Balik ke soal hasil ujian SD, di kecamatan saya nilai tertingginya 27.27 (max 30.00) yang didapat teman sekelas saya. Sementara itu di Sanden adalah 28.80, ini nilai tertinggi se-Bantul tahun itu. Di tryout yang pesertanya 1100an tadi, ada sebuah SD negeri di Sanden yang 'mengirimkan' 5 siswa, 4 diantaranya masuk final 20 besar, that's BPK Penabur number. Di jenjang SMP, 1 Sanden dan 1 Bantul sudah wheel-to-wheel sejak dulu, kini saat zonasi diterapkan SMA di sana jadi sangat terkerek prestasinya. 

Saya sih berharap semoga di Bantul ekuilibrium antara zonasi dan meritokrasi ini sudah atau segera ketemu, jadi sekolah negeri di semua kecamatan bisa terkerek tanpa menyebabkan kemunduran pada sekolah yang sebelumnya sudah baik. Hasil di atas lumayan menaikkan optimisme karena banyak panah hijaunya. Cherrypicking? Maybe yes maybe no, tapi di 2021 lebih gila lagi, 400 peringkat naik wkwk. 

Sekarang menterinya baru, urusan dikdasmen juga dipisah dari dikti. Katanya menteri yang baru menjabat ini juga dipilih karena kompetensi (eks kepala BSNP) bukan konsesi. Mari berharap sambil tetap memberikan kritik konstruktif agar pendidikan di Indonesia semakin maju, semua orang punya akses pada pendidikan yang berkualitas, dan bakat-bakat dari kota besar maupun desa terpencil bisa terfasilitasi. Saya banyak pakai nilai-nilai eksak akademis di sini karena itu yang datanya paling mudah didapat, tapi bakat bukan cuma itu, ada banyak anak punya potensi di bidang seni, olahraga, leadership, bisnis, dan lain sebagainya yang semuanya adalah calon mutiara yang bisa dipoles.

Because while student is 20% of our population, they are 100% of our future - Prince Ea


Thanks,
Chandra