Banyak yang bilang, 'andai dulu sudah ada zonasi, tentu saya yang dari kampung ini tidak akan bisa masuk SMP A, SMA A, lalu kuliah di A, sehingga sekarang jadi A'.
Meskipun saya juga berasal dari daerah pinggiran kabupaten, somehow ini tidak berlaku untuk saya. Walaupun dari SD sampai SMA di sekolah negeri, saya tidak pernah daftar sekolah pakai NEM dan tidak pernah ikut PPDB. Sehingga ada tidaknya zonasi bisa dibilang nggak ngaruh. Jadi begini..
Waktu SD, orang tua mendaftarkan saya ke sekolah dekat rumah sebagaimana umumnya teman-teman sebaya di sana. Sebuah SD negeri sederhana yang oleh tetangga sekolah lebih akrab disebut SD inpres karena dibangun atas Instruksi Presiden jaman Pak Harto. Sekolah ini seperti gambaran yang muncul di kepala kalian kalau mendengar kata SD di desa. Semua yang daftar kesana diterima, 99% diantaranya adalah warga sekitar. Orang-orang tua menyekolahkan anaknya di sana karena dekat dan tidak perlu nyebrang jalan raya. Cuma ada satu teman saya yang rumahnya agak jauh, dia sekolah di situ karena bapaknya guru.
Waktu itu di desa saya belum ngetren yang namanya menyekolahkan anak ke sekolah favorit di kota kabupaten, top of mind ketika mendaftar SD ya yang dekat rumah. Favorit atau tidak itu urusan belakangan, yang penting si anak bisa bersosialisasi dan punya teman. SD saya ini favorit tingkat kecamatan saja belum, lomba olahraga sering kalah, drumband alatnya kalah mewah, cuma akademik saja yang lumayan menyala di tahun-tahun terakhir sebelum sekolahnya tutup :)
Sekolah kami dari street view
Yes, sekolah kami sudah tutup, angkatan saya adalah lulusan terakhirnya. Saya tidak tahu persis sebabnya, setelah gempa 2006 pemerintah banyak melakukan regrouping dan SD kami adalah salah satu 'korbannya'. Suasananya agak sedih dan marah waktu tahu sekolah akan digabung waktu itu karena dalam banyak aspek sekolah ini sedang tumbuh, lagipula tidak ada SD negeri lain yang dekat dari sana. Pada akhirnya gedung sekolah yang kosong itu dipinjam oleh Muhammadiyah untuk dijadikan SD Muh, adik kelas saya yang masih sekolah pindah nyaris semuanya ke SD Muh itu. Cuma ada satu siswa yang ikut diangkut pindah ke sekolah negeri yang baru, fail banget kebijakannya.
Setelah regrouping itu bapak ibu ex-guru dan alumni masih saling kontak, di beberapa kesempatan kami ketemu dalam acara syawalan saat lebaran. Kami dengar bahwa beberapa guru jadi rebutan sekolah-sekolah lain karena dianggap bagus, saya sih tidak heran karena beberapa guru menurut saya memang pintarnya di atas rata-rata. SD kami kalau lomba ekstrakurikuler babak belur karena keterbatasan fasilitas, tapi kalau lomba matematika-IPA not bad.
Kakak kelas saya juara 1 lomba IPA se kabupaten, sekarang dia sedang PPDS di UGM, S1-nya dulu juga masuk kedokteran UGM jalur reguler. Tahun berikutnya saya juara 2 di ajang yang sama. Di angkatan saya, selain saya saat ini banget ada satu orang di Inggris dan satu orang di Jepang. Memang ini bukan standar 'kesuksesan', but still sampai sekarang masih dongkol kenapa sekolah yang punya potensi, melayani warga beberapa desa, dan dapat nilai ujian akhir daerah ranking 1 sekecamatan (orangnya sekarang di Manchester) malah ditutup dan digabung ke SD yang prestasinya lebih di bawah (tapi lebih tua). Bisanya bilang prestasi sekecamatan aja, karena kalau sekabupaten out of question, sebab ada satu kecamatan di pinggiran Bantul juga yang entah kenapa anaknya pinter-pinter, zonasi benefits them karena sekarang SMA di wilayah itu makin bagus, will get to that.
Cukup cerita SD-nya, beranjak ke SMP. Di Jogja ada koran Kedaulatan Rakyat (KR). Rumah kami dulu langganan itu sebelum masuknya kanal berita digital. Suatu hari ibu saya melihat iklan di KR tentang try out yang diselenggarakan SMPN 1 Bantul, sekolah paling favorit di Bantul (saat itu, sekarang masih gak ya). Daftarlah saya jadi salah satu dari 1181 peserta, banyak banget sampai harus pinjam ruang kelas SMA 2 yang ada di depannya. FYI info-info event dan lomba seperti ini sering tidak sampai ke SD saya mungkin karena saking 'jauh'-nya, atau barangkali sampai tapi guru tidak mengumumkan karena khawatir dikira mewajibkan ikut. Saya, berdua teman, pernah hampir ikut lomba matematika Pasiad di Kota Jogja, tapi pas sudah dekat batal berangkat :)
Saya merasa inferior di try out itu karena siapalah saya yang dari SD antah berantah ini. Banyak anak-anak dari SD negeri dan swasta bagus di kota kabupaten, rame-ramean pula. Saya mengerjakan soal tanpa ambisi, orang tua menunggu tidak jauh dari lokasi karena dikira acaranya nggak lama. Setelah selesai peserta menunggu proses koreksi sambil lihat-lihat sekolah bagus itu, lalu sekitar satu jam kemudian kami diminta masuk ke dalam ruangan lagi untuk dibagikan hasilnya. Sebelum mengumumkan panitia meminta saya dan satu anak lagi di ruangan kami untuk pindah ke lab biologi, tapi dia tidak bilang untuk apa. Ternyata ranking 1 sampai 20 dari babak pertama tadi dikumpulkan lagi untuk babak final. Serius saya bahkan tidak tahu kalau try out ini ada finalnya, saya cuma ikut karena mau tahu kesiapan saya untuk ujian akhir (dan mau memastikan pensil 2B saya valid dipakai di LJK). Di babak final ini soalnya essay menjurus olim.
Pada akhirnya di final saya nggak menang, dapat rangking 13. Tapi yang paling penting justru pengumuman yang disampaikan kepala sekolah saat pidato penutupan, beliau bilang bahwa di tahun itu SMPN 1 Bantul membuka kelas RSBI alias Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional angkatan pertama. Saya mendaftar karena why not, pendaftaran dan tesnya dilakukan sebelum PPDB reguler sehingga kalau belum diterima pun nanti bisa daftar jalur normal. Lagi-lagi informasi soal RSBI ini tidak sampai ke SD saya, jadi semua info dicari sendiri. Setelah mendaftar ada tes, bridging course selama 2 minggu (sekolah di SMP padahal belum lulus SD), tes lagi, lalu alhamdulillah diterima. Teman seruangan yang dipanggil ke lab biologi tadi akhirnya jadi teman sekelas saya 3 tahun, classmate paling jenius selama saya sekolah. Di antara 20 finalis tadi juga banyak yang berteman sampai sekarang.
Itu RSBI pertama dan pelaksanaannya sangat serius. Kelas kami diberi komputer, proyektor, AC, meja kursi baru, dan lain-lain. Aktivitas khusus kelas RSBI juga banyak, ekstrakurikulernya beda, ada lomba dan event khusus sekolah RSBI, niat banget lah saat itu karena targetnya untuk menghapus huruf R sehingga menjadi SBI. Walaupun akhirnya malah program RSBI dihentikan karena dianggap tidak sesuai dengan semangat kesetaraan pendidikan.
Di jenjang berikutnya saya mendaftar RSBI lagi di SMAN 1 Bantul, walaupun kali ini rasa RSBI-nya sudah pudar karena semua kelas statusnya sama, tidak seperti pas SMP yang mana RSBI hanya 2 kelas berisikan 50-an anak. Meski begitu masuknya tetap dengan tes sehingga lagi-lagi saya tidak perlu ikut PPDB. Saya tidak mendaftar PPDB Kota Jogja untuk mencoba masuk sekolah favorit di sana seperti yang banyak dilakukan anak-anak dari kabupaten. Saya tidak daftar karena jarak yang jauh dari rumah dan ada beberapa sebab lain. Jadilah saya seumur hidup tidak pernah mendaftar sekolah pakai NEM, dan karena itulah andaikata saat itu sudah ada zonasi mungkin tidak ada pengaruhnya anyway.
***
Tentang zonasi, kalau saya lihat perdebatan di Twitter itu selalu bertabrakan antara dua pandangan atau prioritas yang berbeda. Orang yang pro zonasi berpendapat bahwa pendidikan mesti adil dan setara, baik secara kualitas maupun akses. Harapannya setara pada kualitas yang tinggi, kalau belum ya mesti maju bareng jangan sampai timpang antara sekolah bagus dan sekolah belum bagus. Sementara itu yang kontra zonasi mengkhawatirkan bahwa akan ada talent berbakat yang tersia-sia hanya karena faktor lokasi rumah yang mana si anak nyaris tidak punya kuasa atas itu. Kesetaraan dan anak berbakat sama-sama penting untuk negara, itu masalahnya.
Perdebatan zonasi sampai di topik boleh tidaknya ada sekolah favorit baik secara faktual maupun konsep, bagaimana mitigasi banyaknya kasus pindah KK untuk daftar sekolah (ini sudah ada sejak jaman saya masuk SMA karena efek kuota luar kota), penting tidaknya peer-teaching, daya tampung sekolah vs populasi, dan lain sebagainya. Menurut saya zonasi ini bisa bagus. Kata kuncinya bisa yang tercetak miring karena ada banyak syarat yang mengikutinya.
Pertama persentase jalur masuk harus dikalibrasi secara benar sehingga kuota jalur zonasi, prestasi, dan jalur lain 'imbang'. Imbang tidak berarti harus sama secara angka, yang penting aksesibilitas dan meritokrasi bisa jalan berbarengan. Untuk sampai ke kalibrasi yang tepat memang butuh waktu, jadi sangat mungkin akan ada beberapa angkatan yang 'dikorbankan'. Ini juga mesti diperhatikan sampai level kabupaten kota karena tiap daerah punya karakter yang berbeda.
Kedua, permainan pindah-pindah KK perlu dihentikan karena percuma regulasi bagus kalau pelaksanaan amburadul dan aturan dipencoloti. Sulit? Iya, karena yang harus diawasi banyak banget. Maka turunkan motivasinya dengan menurunkan persentase zonasi yang sekarang minimal 50%, katakan ubah jadi 30-40%, sehingga dorongan orang untuk pindah KK agar memenuhi syarat zonasi berkurang karena lebih longgar lewat jalur lain. Ini relate dengan poin sebelumnya soal kalibrasi.
Ketiga, konsep sekolah favorit itu nggakpapa, nggak mungkin semua bisa setara apalagi kalau menghitung sekolah swasta. Makanya ada yang namanya akreditasi di mana untuk tiap tier ada standarnya. Pastikan akreditasi ini works: kriteria dibuat dengan benar dengan melibatkan ahli lalu penilaian dilakukan oleh asesor yang kompeten, independen, dibayar dengan baik, dan berani bilang jelek jika memang jelek. Kalau akreditasi benar-benar dijalankan, kita bisa ambil titik 'setara' di saat semua sekolah sudah terakreditasi A misalnya. Selanjutnya jika ada sekolah, guru, siswa yang ingin going extra miles ya silakan itu bagus. Pada jangka panjang kita berharap pendidikan se-Indonesia bisa bagus semua jadi perbedaan antara satu sekolah dengan sekolah lain hanya masalah alamat saja. Sekarang seberapa percaya masyarakat dengan akreditasi ketika kampus abal-abal nggak jelas aja bisa kasih gelar Dr HC?
Keempat, ini wildcard. Saya kepikiran, kan ada kuota jalur prestasi, kenapa yang jalur prestasi ini nggak pakai tes saja tapi semua orang boleh daftar regardless tinggal dimana? Dengan begitu yang masuk benar-benar tersaring, bukan berkat nilai raport yang nggak bisa dibandingkan satu sama lain karena yang ngasih nilai beda sekolah dan beda guru (di-incentivize ngatrol-ngatrol nilai juga). Toh nantinya di saat mau kuliah seleksinya ada yang dengan tes juga.
***
Membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar, itu kan semangatnya. Lihat hasil UTBK SMA di Bantul tahun 2022 ini:
Traditional fav SMA 1 dan 2 turun, sementara yang lain naik. Tapi tidak ada yang lebih signifikan daripada SMAN 1 Sanden. Sanden ini adalah sebuah kecamatan di selatan Bantul yang saya sebut tadi, mepet pantai dan jauh dari kota, tapi terkenal pendidikannya bagus dan anaknya pinter-pinter. Balik ke soal hasil ujian SD, di kecamatan saya nilai tertingginya 27.27 (max 30.00) yang didapat teman sekelas saya. Sementara itu di Sanden adalah 28.80, ini nilai tertinggi se-Bantul tahun itu. Di tryout yang pesertanya 1100an tadi, ada sebuah SD negeri di Sanden yang 'mengirimkan' 5 siswa, 4 diantaranya masuk final 20 besar, that's BPK Penabur number. Di jenjang SMP, 1 Sanden dan 1 Bantul sudah wheel-to-wheel sejak dulu, kini saat zonasi diterapkan SMA di sana jadi sangat terkerek prestasinya.
Saya sih berharap semoga di Bantul ekuilibrium antara zonasi dan meritokrasi ini sudah atau segera ketemu, jadi sekolah negeri di semua kecamatan bisa terkerek tanpa menyebabkan kemunduran pada sekolah yang sebelumnya sudah baik. Hasil di atas lumayan menaikkan optimisme karena banyak panah hijaunya. Cherrypicking? Maybe yes maybe no, tapi di 2021 lebih gila lagi, 400 peringkat naik wkwk.
Sekarang menterinya baru, urusan dikdasmen juga dipisah dari dikti. Katanya menteri yang baru menjabat ini juga dipilih karena kompetensi (eks kepala BSNP) bukan konsesi. Mari berharap sambil tetap memberikan kritik konstruktif agar pendidikan di Indonesia semakin maju, semua orang punya akses pada pendidikan yang berkualitas, dan bakat-bakat dari kota besar maupun desa terpencil bisa terfasilitasi. Saya banyak pakai nilai-nilai eksak akademis di sini karena itu yang datanya paling mudah didapat, tapi bakat bukan cuma itu, ada banyak anak punya potensi di bidang seni, olahraga, leadership, bisnis, dan lain sebagainya yang semuanya adalah calon mutiara yang bisa dipoles.
Because while student is 20% of our population, they are 100% of our future - Prince Ea
Thanks,
Chandra