Menurut saya ada dua kelompok besar pemilih Anies Baswedan dalam Pilpres 2024. Pertama adalah pemilih rasional, dan kedua adalah pemilih ideologis.
Pemilih rasional adalah orang-orang yang melihat Anies dari sisi pengalaman memimpin, kompetensi, dan portfolionya. Kelompok ini ada banyak di Jakarta karena mereka pernah merasakan dipimpin Anies sebagai gubernur dan merasakan dampak positif, in one way or another. Ini alasannya polling spontan di medsos banyak dimenangkan oleh Anies karena demografi penggunanya banyak berlokasi di sekitar Jakarta. Diantara program DKI jaman Anies yang banyak diapresiasi adalah Jaklingko, Jaki, dan branding +Jakarta. Tentu ada pemilih rasional lain dengan alasan yang berbeda karena Pak Anies juga pernah menjabat posisi lain, tapi secara jumlah pasti tidak sebanyak pengaruh Gubernur DKI.
Sedikit mengelaborasi, Jaklingko adalah program integrasi transportasi umum di Jakarta yang mencakup Transjakarta, Commuter Line, MRT, dan LRT. Banyak halte dan stasiun yang secara fisik dihubungkan sehingga pengguna dapat berganti sarana dengan mudah. Saya merasakan manfaat langsung dari Jaklingko ini karena sehari-hari berangkat kerja dengan transportasi umum. Integrasi Transjakarta koridor 13 dengan MRT di CSW/Asean mengubah cara commute saya jadi lebih nyaman, murah, dan cepat. Sistem Jaklingko juga memungkinkan satu kartu dipakai untuk pembayaran di semua moda.
Kedua, Jaki (Jakarta Kini) adalah suatu platfrom yang menyediakan akses untuk berbagai keperluan di Jakarta. Saat Covid saya pakai aplikasi ini untuk keperluan mencari informasi vaksin. Saya juga pakai ini untuk cek pajak kendaraan. Fungsi lain yang banyak digunakan masyarakat adalah pelaporan masalah yang ada di lingkungan seperti pohon tumbang, jalan rusak, sumbatan air, dll. Katanya lapor di Jaki proses dan respon dari dinas terkaitnya cepat. Kalau dulu di Jabar RK memberikan nomor kontak dan akun twitternya untuk dihubungi masyarakat, Jaki adalah versi lebih canggih, sistematis, dan elegannya.
On top of that, branding +Jakarta - Kota Kolaborasi pernah membuat Jakarta terasa seperti negara maju. Di sudut-sudut kota tergambar mural +Jakarta ini, warga tampak bangga, dan karena sampai level kecamatan ada templatenya semua jadi merasa diapresiasi.
Sayangnya oleh gubernur PLT malah diganti begini, are we living in the 90s or what?
gambar: Presisi.co
Masuk ke kelompok kedua yakni pemilih ideologis. Ini adalah kelompok yang akan memilih Anies karena merasa punya kesamaan ideologi, paham, atau aliran baik dengan Anies, Cak Imin, maupun partai pendukungnya. Di dalamnya termasuk orang-orang yang pernah satu organisasi, satu gerakan, satu almamater, pernah tinggal berdekatan, atau kesamaan-kesamaan lainnya.
Suara kelompok ideologis ini saya pikir relatif sudah dalam genggaman. Tapi apakah mengandalkan ini saja sudah cukup? Tidak, AMIN masih butuh memastikan pemilih rasional tetap ada di pihak 01, sekaligus memenangkan suara dari swing voters dan orang-orang yang sejauh ini tidak jawab/tidak tahu. Dan sekalipun saya dukung Anies, saya tahu bahwa sebagian pemilih rasional dan swing voters punya deal breaker yang bisa membuatnya beralih dari AMIN ke paslon lain atau malah memilih golput. Rangkaian twit ini bagus untuk mengantarkan ke penjelasan itu
Saya nggak punya deal breaker itu, saya fine dengan siapa yang ada di belakang Anies sekarang maupun dulu jaman nyalon jadi gubernur DKI. Tapi saya mau bilang pada loyalis Anies bahwa ada lho orang yang mau ikut pilih Anies tapi tidak cocok dengan PKS, FPI, 212, Islam Progresif, dan semacamnya karena apa yang terjadi di 2018-2019. Saya memahami dan bisa setuju dengan beberapa hal yang disuarakan saat itu karena kebetulan kenal beberapa orang yang berafiliasi kesana dan saya tahu orangnya baik, tapi tidak semua orang memahami itu.
Saya mengumpamakan ini seperti di sebuah SMA ada Rohis yang tidak disukai karena terlalu agresif sampai menyindir dan mengagitasi siswa non-Rohis yang berpacaran atau membolos misalnya. Setuju pacaran dan bolos itu negatif, tapi tidak semua cara pas di hati semua orang. Dan luka dakwah kalau tidak diobati dengan benar akan sulit lupa.
Pasti oknum ya, tapi saat itu ada saja yang merasa lebih suci dari yang lain. Ada saja yang menganggap cara beragamanya lebih benar dan paling benar diantara yang lain sampai mengharamkan ini itu. Alhamdulillah sekarang situasi jauh lebih kondusif, dan saya sangat bersyukur pilpres kali ini calonnya ada tiga sehingga tidak ada polarisasi yang sangat melelahkan seperti waktu itu.
Dengan 'Rohis' ini saya tidak bermaksud menunjuk Rohis sekolah saya atau sekolah manapun, hanya istilah untuk golongan yang saat itu merasa eksklusif saja. Maaf agak sulit menjelaskannya, tapi bisa dirasakan maksudnya lah ya. Intinya jika di sebuah SMA ada pemilihan ketua OSIS, meskipun ada calon yang anak Rohis, dia tidak akan menang jika hanya dipilih oleh anggota Rohis. Dia dan timnya juga harus menarik simpati dari anak-anak futsal, teater, paduan suara, siswa yang hobi nongkrong di warung samping sekolah, dan siswa yang sengaja titip tas di fotokopian depan biar bisa bolos tanpa ketahuan.
So please be kind, jangan sampai terlalu banyak orang punya deal breaker ini. Saya juga pemilih Anies, tapi saya belum yakin 01 akan menang apalagi ada calon yang dibackup incumbent. Di sistem pemilu kita semua orang punya jatah sama satu suara, tidak peduli sifat dan kesehariannya seperti apa. Mau baik mau badung tetap nyoblosnya satu kali. Orang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi atau amalan harian lebih baik tidak lantas punya vote lebih kuat. Swing voter masih banyak karena capres lain juga punya red flag-nya masing-masing, maka banyak suara yang masih harus dan bisa diperebutkan.
Stop menghakimi, mulai menginspirasi.
Salam,
Chandra
Salam,
Chandra