Maiden Flight
Waktu masih menekuni pesawat terbang dulu, kalau kita mau membuat sebuah UAV (Unmanned Aerial Vehicle) atau drone, selalu dimulai dengan proses simulasi. Ada software yang namanya Catia, disana kita bisa buat model 3 dimensi dari UAV yang sedang dirancang. Bentang sayapnya berapa, airfoilnya jenis apa, sudut-sudutnya bagaimana, dan lain sebagainya. Sayap, body, ekor, dan bagian lainnya bisa dimodelkan. Kita jadi bisa tahu perkiraan performa aerodinamika dan stability-nya
Kita juga bisa modelkan sampai level materialnya sehingga diperoleh perkiraan berat pesawat. Komponen elektronik juga bisa diatur peletakannya sehingga kita bisa tahu pusat massa ada dimana. Hasil 'ramalan' aerodinamika dan kestabilan ini kemudian dibandingkan dengan referensi, jika ada yang belum sesuai bisa dilakukan iterasi di komputer. Bayangkan kalau barangnya harus dibuat dulu baru dites dan direvisi, akan memakan waktu dan biaya yang buanyak.
Tidak sampai disitu, supaya lebih yakin lagi dengan performanya, model yang telah dibuat tadi diuji dengan CFD (Computational Fluid Dynamics). Dengan CFD kita bisa dapat visualisasi aliran di sekitar pesawat tersebut beserta interaksinya. Kita bisa peroleh data yang cukup akurat tentang perkiraan gaya angkat, gaya hambat, dan gaya/momen lainnya. Dari sana kita bisa turunkan data cruise speed, max speed, endurance, range, maximum take off weight (MTOW), take off speed, dll. Angka-angka ini kemudian dibandingkan dengan referensi dan spesifikasi yang diinginkan.
Jika hasil simulasi belum sesuai, iterasi diulang dengan mengubah desain. Perlu educated guess disini agar hasil revisinya mengarah ke arah yang benar. Salah satu bantuannya adalah kita bisa mencari pesawat pembanding yang mirip dengan yang mau kita buat, itu bisa dijadikan referensi desain walaupun tentu tidak ditiru 100%. Ketika sudah sesuai, model yang diuji tadi dibuat technical drawingnya untuk kemudian mulai dilakukan manufaktur prototype. Prototype ini tidak langsung diterbangkan, ada pengujian berikutnya dengan wind tunnel.
Wind tunnel atau terowongan angin digunakan untuk menguji aliran udara dan efeknya terhadap prototype yang dibuat. Kalau CFD tadi adalah simulasi komputer, wind tunnel menggunakan benda fisik. Benda uji diletakkan di dalam terowongan angin kemudian dikenai aliran udara dengan kecepatan tertentu. Ada alat ukur yang menunjukkan besaran dan arah gaya yang muncul pada benda saat dialiri udara. Amazed sih waktu dulu pertama kali lihat cara kerjanya. Udara, karena tidak terlihat, sering dianggap powerless, tapi ternyata ketika ada interaksi dengan permukaan benda bisa muncul gaya yang besar. Benda uji tidak disentuh, tapi bisa bergerak. Untuk keperluan visualisasi kadang di wind tunnel dibuat smoke sehingga kita bisa lihat lebih jelas aliran udaranya. Selain wahana terbang, mobil dan motor balap juga lazim menggunakan wind tunnel saat pengembangannya.
Ketika sudah selesai simulasi komputer dan wind tunnel, serta angka yang dihasilkan konsisten, UAV tersebut siap untuk diproduksi versi terbangnya. Setelah jadi, dilakukan penerbangan perdana atau yang biasa disebut maiden flight. Proses yang panjang tadi dilakukan untuk memastikan wahana yang dibuat siap terbang, punya performa yang diinginkan, bisa dikendalikan, dan tidak mudah jatuh.
Itu tadi gambaran proses pengembangan UAV dimana ada privilege untuk melakukan simulasi dan iterasi berulang-ulang. Beda dengan kehidupan ini yang tanpa persiapan tahu-tahu ujian. Setiap keputusan adalah maiden flight. Dalam maiden flight, UAV yang sudah dikaji saja biasa crash, apalagi kita. Jadi kalau keputusan yang diambil ternyata kurang tepat, wajar. Kalau crash, ambil patahan sayap pesawat kita, simpan dan museumkan, sebagai pengingat bahwa kita pernah di sana. UAV bisa dibangun lagi.
Chandra
0 comments :
Post a Comment