Brianna dan Bottomwise: Warm as Always
Setelah Edensor saya lalu menyelesaikan tetralogi Laskar Pelangi, kemudian diikuti buku Andrea Hirata lainnya. Sampai saat ini mungkin semua bukunya yang bisa ditemui di toko buku sudah saya baca (exclude song book). Terbaru yang saya baca adalah Brianna dan Bottomwise, atau dalam versi bahasa aslinya English, Brianna and Bottomwise. Brianna dan Bottomwise mengambil premis dasar yang menarik, yaitu musik.
Dalam pengantarnya, Andrea Hirata menyampaikan bahwa dia menerima tantangan dari gurunya untuk menulis fiksi mengenai musik, katanya ini suatu bidang yang sulit. Brianna dan Bottomwise adalah jawaban untuk tantangan itu. Novel ini bercerita tentang perjalanan gitar Vintage Sunburst 1960 milik musisi besar John Musiciante.
Gitar yang pernah tergores tanda tangan Jimi Hendrix ini berpindah tangan dari sang musisi ke gerombolan kriminal, pedagang flea market, pasar maling, chef, hingga ke orang-orang yang sangat jauh dan tidak ada hubungannya sama sekali. Gitar itu hijrah dari panggung-panggung California ke acara kawinan di Pulau Senyap, dari musisi super berbakat hingga pimpinan orkes telinga kuali, dihargai ratusan milyar hingga jadi alat tukar orang kalah judi.
Tapi di antara perjalanan itu Gitar Vintage Sunburst 1960 telah melalui beberapa tangan berbakat. Sayang meski gitar luar biasa itu sudah sempat singgah di tangannya, nasib belum mengijinkan mereka untuk benar-benar memilikinya. Emotional exercise yang dihadirkan buku ini top class. Di akhir sebuah paragraf Andrea Hirata menulis, mereka yang melupakan mimpi-mimpi akan selalu bangun tidur dalam keadaan kalah.
Kehidupan orang-orang melayu pinggiran tetap jadi resep wajib novel Andrea Hirata. Sadman, Sekonderudin, Jamidin, Kembar Tarobi 1 dan 2, dari namanya saja sudah kelihatan tingkahnya seperti apa. Di sisi yang lain, dituturkan perjalanan pencarian gitar keliling Amerika dari satu state ke state lainnya. Road trip keliling Amerika pakai mobil, sebuah imajinasi yang saya semogakan.
Ada satu hal yang membuat saya sedikit mengernyitkan dahi. Menulis dua kehidupan total berbeda (Melayu dan Amerika) dalam sebuah buku berbahasa tunggal pasti memunculkan dilema. Bahasa slang tampaknya susah untuk ditransalasi tanpa menghilangkan rasa slang-nya. Misalnya, bagaimana kita membahasa-Indonesiakan "I'm all ears", "aku mendengarkan" atau "aku nyimak" terasa tidak sepenuhnya mewakili. Beberapa translasi nanggung ini membuat saya ingin membaca versi English-nya.
Di luar dari itu all good. Novel ini adalah novel pertama dari dwilogi Brianna dan Bottomwise. Saya sangat menantikan novel keduanya. Jadi bagaimana akhirnya nasib John Musiciante? Berhasilkah ia mendapatkan kembali gitar sekaligus semangat hidupnya?
Chandra
0 comments :
Post a Comment