Tentang Medhok
Hari-hari ini sedang ramai di twitter bahasan tentang gaya bicara logat jawa alias medhok. Pakai h ya, medhok bukan medok. Gara-garanya ada orang yang membuat status WhatsApp mendiskreditkan orang yang gaya bicaranya medhok. Katanya bagi dia medhok itu bikin malu, nggak mau berteman sama orang medhok, dan cuma akan jadi ceng-cengan di tongkrongan.
Screenshotnya tersebar di twitter dan jadi bahan olok-olokan. Banyak yang terpancing, kalau ketahuan identitasnya pasti sudah habis itu diserbu netizen. Nggak salah sih kalau dikatakan rasis karena logat bahasa ada hubungannya sama suku, dan disana ada unsur perendahan.
Saya sih bukannya nggak pernah mendapat perlakuan diskriminatif karena logat masih medhok walaupun sudah 7 tahun merantau. Nggak sampai disakiti lah, hanya kadang ada perasaan tidak bisa ngeblend dengan lingkungan sekitar. Kemarin sempat ada yang mengkuantifikasi privilege. Suku Jawa dapat skor paling positif diantara suku lainnya, tapi entah kenapa logat jawa malah dianggap setback.
Tapi alhamdulillah yang nggak enak-nggak enak itu tidak terjadi di lingkungan utama. Di lingkungan tempat tinggal, kuliah, kerja, semua tetap kondusif. Saya dikelilingi orang-orang yang nggak mengernyitkan dahi mendengar logat medhok saya. Di sisi lain saya juga memahami mereka yang geli dengan aku-kamu sehingga sebisa mungkin saya tidak mengucapkan itu.
Karena lidah masih kaku untuk berkata lu-gue jadi ini bukan solusi terbaik. Baru setelah bekerja saya lebih terbiasa. Sebelumnya waktu kuliah sulit sekali karena saya dikelilingi banyak orang Jawa baik di kosan maupun di kampus. ITB adalah tempat yang membuat Anda belajar bahasa Jawa walaupun tidak menginginkannya.
Seiring berjalannya waktu saya bisa mengotak atik kalimat sehingga tidak perlu mengucap aku-kamu maupun lu-gue, dengan maksud yang tetap tersampaikan. Percakapan lisan kan nggak harus semuanya sesuai SPOK untuk bisa dipahami. Kalau konteksnya komunal biasa pakai kita-mereka-kalian yang berterima di kedua belah budaya. Jadi saya juga nggak primordial mentok yang menganggap logat dan kebiasaan bahasa saya yang terbaik. Saya sadar saya berada di tanah orang.
Saya bersyukur tidak punya teman seperti orang yang membuat status WA tadi. Kalaupun ada perasaan berjarak dengan lingkungan tertentu itu terjadi secara mutual understanding. Saya tahu saya nggak nyaman dalam pergaulan yang terlalu ibukota. Di sisi lain orang lain juga berhak merasa tidak nyaman di lingkungan saya.
Kebahagiaan dalam aktivitas seperti badminton, nonton film, makan, karaoke, atau futsal itu tentu akan maksimal jika dilakukan dengan orang yang satu selera. Semakin tidak ada batasan maka semakin momen itu bisa dinikmati. Semua orang ingin menikmati momen secara penuh sehingga cenderung berkumpul dengan sesamanya. That's totally fine.
Nggak usah terlalu baper dengan kasus "kita ada grup yang nggak ada kamunya lho" karena kecocokan dalam pergaulan orang dewasa tidak bisa dipaksakan. Asalkan kita being left out bukan karena melakukan kesalahan atau jadi orang yang terlalu menyebalkan itu nggak masalah.
Saya punya geng namanya Batan Community bersama teman-teman sejurusan yang dulu kalau siang suka rebahan menjurus tidur siang di masjid Batan samping kampus. Temanya memang jowo tapi ada teman dari Cirebon dan Bekasi juga yang ikut di dalamnya. Di tempat kerja ada grup Beruang Sopodel bersama teman-teman yang tahu-tahu cocok aja kalau ngobrol. Kebanyakan dari Jawa juga walaupun ada satu orang dari Sulteng.
Dalam pergaulan sehari-hari saya jarang menyebut soal grup itu pada orang yang tidak ada di dalamnya. Tapi beberapa teman dekat sudah tahu dan tidak menanyakan apalagi mempermasalahkannya. Sama halnya saya happy-happy saja kalau teman punya circle lain yang saya tidak ikut di dalamnya. Intinya nggak usah baper.
Apakah saya ingin meninggalkan logat medhok? Saya ingin menguranginya sampai level dimana itu tidak lagi menjadi batasan bagi saya untuk berhubungan dengan siapapun. Tapi saya tidak ingin menghilangkannya babar blas. Selain sebagai penghargaan akan identitas, kadang medhok ada untungnya juga. Misal dalam pekerjaan sebagai engineer, menjadi orang medhok (berarti dari daerah) menguntungkan karena dianggap pekerja keras dan tidak banyak nuntut sehingga lebih disukai, begitu kata senior saya.
Bagi saya nggak ada gunanya merasa rendah karena medhok. Lihat tu video-video yang menampilkan crazy rich surabaya, banyak yang logat Suroboyonan-nya minta ampun kentalnya dan mereka tidak malu dengan itu. Tapi kita juga jangan me-roasting orang yang pakai lu-gue apalagi kalau memang berasal atau tinggal di ibukota. Faktanya sapaan elo dan gue itu bagian dari budaya Betawi juga.
Mari melihat persoalan logat ini tidak lebih dari kenyamanan pergaulan. Keinginan untuk berada di lingkungan yang nyaman ini sangat wajar. Apapun yang ada di alam cenderung mencari posisi kesetimbangan dimana di tempat itu resistansinya minimal. Jangan sampai masalah ini mengganggu kolaborasi dan silaturahmi.
Soal oknum yang membuat status WA tadi, saya nggak yakin dia nggak ikut heboh dengan revival Pakde Didi beberapa waktu terakhir ini.
Chandra
0 comments :
Post a Comment