Paling susah adalah melawan musuh yang nggak keliatan, tapi cepet nular. Dua bulan yang lalu manusia masih dengan pedenya menganggap diri sebagai pengendali dunia. Sekarang kita dibuat kocar-kacir oleh entitas yang sangat kecil bernama virus corona.
Perasaan saya sudah nggak enak waktu baca breaking news soal munculnya virus baru yang belum ada obatnya di sebuah supermarket di Wuhan, China. Waktu itu hanya seperti sebuah bencana lokal di sebuah kota di China. Lama-lama kondisi disana makin parah. Dimulai dari Wuhan satu per satu kota lockdown termasuk kota-kota penting seperti Beijing.
Kalau ibarat di sebuah sekolah, China adalah anak nerd yang nggak begitu disukai teman-teman sekelasnya. Sama orang barat, China dianggap penjahat ekonomi karena produk bajakan kualitas rendahnya serta hobi perang dagang. Sama tetangganya Jepang Korea mereka nggak akur, bahkan dengan Hongkong yang masih saudara dekat sering bertengkar. Di Indonesia etnis China dibenci karena
kaya-kaya dianggap itungan dan anti mayoritas. China menderita nyaris tanpa bantuan, bahkan mendapat cemoohan rasis.
Masalahnya virus nggak kenal batas negara. Dengan seenaknya dia nyebrang ke negara-negara tetangga dan negara yang banyak dikunjungi orang China. Cilakanya orang yang bawa kadang nggak tau kalau dia ketitipan.
Asia timur kena, Eropa dan US ngimpor, Asia bagian yang lain ikut kena, Timur Tengah nggak kelewat, negara tetangga kita macam Malaysia, Singapura, Filipina kena. Akhirnya setelah merasa kebal karena terbiasa minum es dari air mentah, Indonesia ngaku kalau kena juga.
Virus juga nggak pandang bulu. Awalnya hanya orang-orang biasa. Lama-lama public figure, petinggi negara, selebritis, dan atlet dunia juga terkonfirmasi positif Covid-19. Jarang-jarang ada keadaan dimana pejabat punya resiko yang sama dengan rakyat...
Pemerintah ini memang agak ngeselin. Memonopoli informasi yang beredar di masyarakat. Kalau masih ingat, waktu itu case 1 dan case 2 corona di Indonesia yang berinisiatif melapor dan meminta diperiksa adalah pasien sendiri, dan ternyata positif, lalu diisolasi. Waktu itu pemerintah sudah nggak punya pilihan. Kalau mau mengelak tinggal nunggu waktu pasien ini bicara sendiri di media dan terbuka semuanya. Pemerintah akhirnya mengumumkan.
Hari-hari selanjutnya pasien positif terus bertambah. Per sore ini hari Sabtu tanggal 14 Maret sudah 96 teridentifikasi positif menurut task force corona bentukan presiden. Lagi-lagi pemerintah nganyeli dengan ambil tindakan tegas. Justru orang-orang di bawahnya lebih aktif.
Solo sudah menetapkan KLB, Jakarta menutup tempat umum dan sekolah, Sleman sudah menutup sekolah, universitas mengubah cara pengajaran jadi online/jarak jauh. Beberapa kantor mengijinkan work from home. Orang-orang di daerah dan institusi bergerak membuat keputusan.
Memang susah jadi pemerintah. Kalau mereka banyak bicara bisa-bisa masyarakat tambah panik. Kalau ada lockdown maka negara terancam lumpuh, apalagi Jakarta. Orang-orang yang mencari nafkah dari hari ke hari akan susah. Orang yang punya uang pun akan bermasalah karena buat apa punya uang kalau toko nggak ada yang buka, uang nggak bisa dimakan.
Masalah lain Indonesia itu harus diakui negara yang nggak kaya-kaya amat. Tidak seperti Singapura Jepang Korsel yang punya dana tak terbatas untuk mengatasi dampak corona. Ibaratnya Singapura adalah rumah tangga kaya yang akan melakukan apapun
at all cost demi kesehatan dan keselamatan keluarganya. Sedangkan Indonesia adalah keluarga biasa saja yang nggak punya dana untuk hal hal luxury, lebih parah lagi, keluarga ini anaknya banyak.
Dampak corona nggak akan bisa dihindari. Korban pasti ada, ekonomi pasti turun. Tapi sebelum petugas medis ngeri tertular corona, pemilik usaha kecil menutup tokonya, dan abang ojol kesulitan tutup poin, pemerintah harus siap kalau nanti jadi yang pertama babak belur.
Terakhir, WTF orang yang ngakat duta imunitas corona di saat-saat begini!!!