Bola Sepak Plastik
Kebiasaan kedua adalah bermain bola hampir tiap sore hari. Saat itu tidak ada gadget diantara anak-anak di kampung kami. Saya pertama kali punya handphone pribadi kelas 6 SD, menjelang masuk SMP. Itu pun hanya untuk telepon dan SMS, belum ada internet. Sepulang sekolah kami bermain di luar rumah.
Kami bisa bermain bola di mana saja. Mulai dari halaman rumah, sawah, jalan (harus berhenti ketika kendaraan lewat), lapangan voli kampung, sampai yang paling mewah halaman sekolah. Tanpa perlu buat janji, semua sudah tahu kalau sore hari adalah waktunya bermain. Tidak perlu angka-angka jam berapa, yang penting hari sudah tidak terlalu panas kami berangkat. Ketika jumlahnya dirasa cukup, pembagian tim dilakukan dengan pingsut.
Permainan kami sederhana. Gawang dibuat dari tumpukan sandal atau pecahan batu bata. Lebarnya menyesuaikan dimana kami bermain dan berapa orang yang datang. Menjadi masalah ketika bola melewati bagian atas tumpukan gawang, gol atau tidak biasanya diselesaikan dengan kekeluargaan. Khusus di lapangan sekolah agak lebih mewah, ada gawang betulan yang dibuatkan oleh sekolah.
SD saya dulu, entah gawangnya ditaruh mana, gambar dari google street view |
Kami bermain tanpa alas kaki. Sayang sepatunya kalau dipakai main bola. Sebenarnya ada sepatu bola, tapi dalam permainan kami satu nyeker semua nyeker. Kasihan kalau ada yang telanjang kaki lalu terinjak sepatu, tentu sakit sekali. Kaki berdarah adalah sebuah keniscayaan. Kami bermain di sembarang tempat. Di sana ada batu, sisa akar pohon, bekas pondasi bangunan, dan lain sebagainya.
Bola yang dipakai tentu saya bola plastik seharga 3000an. Sebuah barang yang saat itu saya anggap mewah. Dibelinya dengan cara patungan 500 rupiah. Tidak semuanya, yang merasa punya sisa uang jajan saja. Sebenarnya bisa minta orang tua, tapi entah kenapa cara seperti ini yang biasanya terjadi. Ada rasa tidak enak kalau membeli sendiri bola itu, takut teman-teman menganggap kita bos yang ingin berkuasa dalam permainan, ingin selalu dimenangkan, dan menentukan kapan mulai dan berhenti bermain.
Sampai di warung terjadi musyawarah lagi. Ada beberapa jenis bola yang dijual, 2500 warna abu-abu tipis, 3000 bola belang-belang yang seperti permen alpenleibe, atau 4000 untuk bola yang dilapis spon. Mau pilih bola yang mana, anak yang iurannya paling banyak biasanya berhak menentukan. Bola 4000 bagus tapi karena ada sponnya jadi berat ketika kena air masuk sungai. Bola 3000 lebih disukai karena agak tebal jadi ketika sudah bocor masih bisa dipakai.
Bola baru akan bocor dalam 4 atau 5 hari setelah dibeli, paling lama seminggu. Biasanya karena kena tanaman berduri. Tapi selama bola tidak sobek, bola itu akan tetap dipakai sampai sebulan lebih sebelum beli lagi yang baru. Itupun terpaksa beli karena bolanya hilang terbawa sungai, nyangkut di genteng, atau disembunyikan entah oleh siapa.
Saya masih ingat ketika Piala Dunia 2002, demam bola semakin menggila. Tidak ada hari tanpa sepak bola. Saat itu saya naik kelas 2 dan jaman itu masih jarang yang namanya les, kursus, segala macam seperti jaman sekarang. Aktivitas anak-anak hanya tiga: sekolah, tidur, dan bola.
Bola adalah benda paling menyenangkan saat itu. Bahkan ketika gempa melanda Jogja dan sekitarnya, bola adalah hiburan bagi kami. Bola itu hanya seharga 3000 namun cukup untuk menghadirkan kebahagiaan dan kebebasan di benak anak-anak. Dulu membeli sebuah bola bukanlah hal yang sederhana. Ada uang jajan yang harus disisihkan untuk mendapatkannya. Sekarang anak-anak itu sudah beranjak dewasa. Sekarang mereka bisa membeli bola sejumlah yang mereka inginkan. Tapi kegembiraan itu sulit untuk diulang.
Apa yang kita pengen di masa lalu kalau sekarang ada duitnya kita bisa beli barangnya tapi nggak bisa beli kebahagiannya.
Adzan maghrib berkumandang, saatnya untuk pulang.
0 comments :
Post a Comment