Generasi Ke-Aku-an : How to Minimize Negative Effects of Sosmed
Dulu saya pikir orang-orang yang anti sosial media itu aneh. "Come on dude, you just afraid can't control yourself". Saya tahu menggunakan sosmed berlebihan itu tidak baik. Yah, yang namanya berlebihan yang baik pun bisa jadi nggak baik.
Tapi apa sih susahnya mengontrol penggunaan sosial media, pikir saya begitu. Menggunakan asas "menghindari hal yang sia-sia" pun saya kira masih valid jika dikatakan bahwa sosial media itu punya manfaat. Bagaimana menjadikan sosial media sebagai sumber manfaat itulah poinnya.
Kemarin saya nemu sebuah video bagus di YouTube, tentang seseorang yang menceritakan pengalamannya off sosmed selama 1 tahun penuh. Dari sana saya menemukan jawaban untuk premis di kalimat pertama di atas.
Walaupun sama-sama dalam konteks sosialisasi, ada perbedaan sangat besar antara interaksi langsung dan melalui sosial media. Dalam interaksi langsung, rata-rata orang berbicara tentang dirinya sebanyak 30-40%, sisanya bicara tentang orang lain, atau lawan bicaranya. Sedangkan pada interaksi sosial media, orang bicara tentang 'Aku' jauh lebih sering, hingga 80%. Wow
Coba buka grup chat kita, berapa banyak keluar frase "kalau aku", "kalau gw", "gw biasanya", "ada kenalan gw", "aku pernah tuh bla bla bla", dll. Itu baru yang eksplisit, masih banyak kalimat-kalimat atau post yang secara tidak langsung mencitrakan cerita tentang diri sendiri.
Didukung pendapatnya, posting foto lalu banyak yang like, difollow banyak orang, blog viewernya banyak, dll katanya merangsang produksi dopamin, zat yang bertanggung jawab atas rasa bahagia, motivasi, dan semangat. Generasi ke-aku-an barangkali memang haus akan pengakuan. Entah kurang bahagia atau apa, banyak dari kita mencari kebahagiaan dari dunia maya.
Dari sana terjawab pertanyaan saya mengapa ada orang yang kecanduan sosmed tapi ada yang nggak doyan. Pertama tentu usia dan generasi. Misalnya instagram yang penggunanya kebanyakan berusia sekitar 20 tahun. Orang yang ketika instagram meledak sudah berusia di atas 30 tahun mungkin tidak terlalu berminat. Terlihat sekali, ketika menghadapi momen yang sama, anak 20 tahunan panik mengeluarkan handphone untuk upload instastory, tapi yang sudah bapak-bapak santai saja.
Sekarang zoom-in ke generasi 20 tahunan. Ternyata di dalamnya orang-orang memiliki kebutuhan pengakuan yang berbeda-beda. Ini mungkin alasannya sebagian remaja santai saja tidak menggunakan sosmed. Bukan karena keputusan logis khawatir tidak bisa mengontrol diri, tapi karena memang tidak tertarik, tidak butuh.
Saya jadi paham kalau kebutuhan eksis orang berbeda-beda. Orang yang merasa hidupnya "indah" memiliki godaan yang besar untuk menunjukkannya pada dunia. Sampai-sampai dia lupa bahwa yang indah untuk dia belum tentu indah untuk orang lain.
Ini bukan kriminal, bukan, belum sampai pada benar atau salah. Ini cuma soal kesesuaian. Jadi titik beratnya adalah pada kesediaan untuk menyesuaikan diri.
Tidak ada orang bodoh di Twitter, tidak ada orang miskin di Instagram, semua punya teman di Facebook, Tidak ada pengangguran di LinkedIn, Tidak ada orang susah di Path - Anonim--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Setidaknya ada beberapa tips untuk mengurangi dampak negatif dari sosial media :
1. Jika menginstal aplikasi sosmed di laptop/komputer kerja, matikan notifikasinya. Jelas ini akan mengurangi distraksi dan memudahkan kita untuk fokus dalam belajar atau bekerja. Tanpa notifikasi, kita membuka sosmed lebih karena alasan logis, bukan karena nafsu penasaran ingin melihat apa yang terjadi di luar sana. Kalau perlu, notif di device mobile juga dimatikan saja.
2. Follow orang yang membuat hidupmu lebih baik (saja). Di sosial media orang cenderung menonjolkan kelebihannya. Sedangkan kita tahu, pembunuh kedamaian hati paling mutakhir adalah membandingkan kelebihan orang dengan kekurangan kita. Jangan sampai image seseorang di sosmed itu kita jadikan acuan bahwa itulah dia sebenarnya. Gampangnya, kalau kita merasa gampang pengen sesuatu, jangan ikuti akun-akun yang suka pamer sesuatu itu. Make your life happier.
3. Ingat selalu bahwa : yang indah menurutmu belum tentu indah untuk orang lain. Semakin banyak upload konten tidak penting menunjukkan bahwa kita memiliki kebutuhan yang besar akan pengakuan.
4. Gunakan sosmed untuk sesuatu yang bermanfaat misalnya sharing pengetahuan dan informasi positif.
5. Kalau memang butuh sosmed nggak masalah pakai saja. Tapi jika memungkinkan uninstal-lah softwarenya dari hp secara berkala, misal selama seminggu 'puasa' instagram dan diulang setiap bulan. Ini baik untuk detoks dan menghindari kecanduan.
6. Sebaiknya jangan menggantungkan mata pencaharian pada sosmed karena sangat mungkin sebuah platform tiba-tiba sepi jika sudah ada yang baru dan lebih diminati.
Chandra
sumber gambar : pixabay
0 comments :
Post a Comment