Down the Slope of Sinabung
Hurraay. Ceklist pribadi berjudul "mengunjungi semua provinsi di Indonesia" berprogres lagi, Alhamdulillah. Kali ini tujuannya Medan Sumatera Utara dan Padang Sumatera Barat. Yah, walaupun di Padang cuma transit 2,5 jam, lumayan sempet ngicipin nasi padang dari daerah asalnya hehehe.
Ceritanya gini, berpikir daripada tugas akhir hanya mengendap di perpus jarang-jarang disentuh bahkan lewat digilib, dosbing saya, Pak Ony Arifianto meng-encourage mahasiswa bimbingannya untuk menuliskannya dalam format paper dan dimasukkan ke conference. Alhasil dari Lab Mekanika Terbang ada 4 paper yang tembus ke International Seminar on Aerospace Science and Technology (ISAST) V Medan. Kami termasuk generasi paling muda di sana, berada diantara para profesor atau minimal peneliti PTDI, LAPAN, atau BPPT.
Flight Mechanics Group |
"Ya memang nggak akan sempurna, tapi kalau gak dilatih dari sekarang kapan lagi, toh banyak orang-orang kita yang ikut kan", pesan Pak Ony kepada kami. Beliau melanjutkan, "presentasi santai aja, jangan lupa dolan-nya". Alhamdulillah kami dibiayai secara penuh dari FTMD.
Berbekal itu kami menyusun rencana liburan yang pada akhirnya nggak kalah berkesannya dibanding conference-nya. Kebetulan kami baru saja selesai masa sidang, jadi momennya pas buat untuk jalan-jalan.
Kami serombongan ada lima orang yang berangkat hampir bersamaan hari Rabu subuh dari Jakarta, karena menunggu ada teman yang baru sidang hari Selasa-nya. Tiga orang diantaranya mendapat jadwal presentasi di hari pertama (Rabu, 27/9), termasuk saya. Lalu dua sisanya presentasi di hari ketiga (Jumat, 29/9). Jadilah kami berniat memanfaatkan hari Kamisnya untuk full jalan-jalan. Awalnya mau ke Samosir dan Danau Toba, tapi perjalanan butuh waktu 5 jam lewat jalan berkelok khas Sumatera. Akhirnya kami pilih destinasi yang lebih dekat : Berastagi.
Singkat cerita kami menyewa mobil, 600 ribu sudah termasuk Avanza, bensin, driver (exclude makan) untuk sehari. Driver kami namanya Pak Simbolon. Orangnya ramah, tidak seperti gambaran orang Batak dalam benak saya yang kasar dan keras kalau ngomong. Kalau ada poin-poin berkesan dalam perjalanan ini, Pak Simbolon adalah salah satunya. Misal kawan-kawan main ke Medan dan butuh driver plus mobil, bisa hubungi beliau, saya bisa kasih kontaknya. Berastagi bisa, Samosir berangkat, wisata kuliner juga tahu tempat-tempat enak, tanpa micin, dan halal tentunya.
Destinasi pertama Berastagi : Lumbini |
Berastagi itu seperti Lembang kalau di Bandung. Katanya, Beras-tagi ini artinya rice shop. Setelah 2 jam perjalanan dari Kota Medan sampailah kami di dataran tinggi ini. Sebenarnya saya tidak begitu amazed dengan Berastagi, bagusan Lembang menurut saya. Lembang lebih sejuk, lebih lengkap view-nya, dan akses jalannya lebih bagus. Tapi ada satu yang menutupi segala kelemahan tadi, yaitu Gunung Sinabung.
Mungkin saya belum akan kenal Sinabung kalau gunung ini tidak memanas tahun 2013 lalu. Jadi ketika melihatnya langsung saya kagum melihat bentuk gunung yang tidak simetris, mungkin karena bekas letusan beberapa tahun lalu. Pertama saya mendapat view Sinabung yang cukup jelas adalah ketika kami mampir di Gundaling, sebuah taman sekaligus gardu pandang di Berastagi, mungkin seperti Ketep kalau di Merapi. Tapi honestly tidak banyak yang bisa dinikmati di Gundaling, kecuali Sinabung itu.
Pulang dari sana kami tidak ada bayangan mau kemana lagi. Maklum waktu berangkat angan-angannya cuma ke Berastagi, urusan Berastagi sebelah mana, clueless. Alhasil Pak Simbolon akhirnya mengajak kami ke Danau Lau Kawar. Sekitar setengah jam bermobil dari Gundaling, mendekat ke arah Sinabung.
Masalahnya adalah, kami tidak tahu kalau Lau Kawar itu cuma berjarak 3 km horizontal dari puncak Sinabung. Parahnya, beberapa hari sebelumnya Sinabung erupsi, hujan batu, dan berstatus awas. Becanda Abang Simbolon ini -_-
Jarak Lau Kawar dari puncah Sinabung, cuma 3 km |
Beruntung waktu kami berkunjung Sinabung sedang 'tidur'. Tapi bekas-bekas erupsi Sinabung benar-benar terlihat di Lau Kawar. Kondisinya berubah total dibandingkan sebelum erupsi.
Dulunya Lau Kawar adalah salah satu obyek wisata terkenal di Berastagi. Selain danau alami, ada bumi perkemahan, taman bermain, kebun, dan wisata perahu. Lau Kawar adalah tempat ngademnya orang Medan.
Tapi kini Lau Kawar sudah ditutup untuk umum. Kami pun sebenarnya masuk secara ilegal. Menuju Lau Kawar jalanan sudah rusak karena sisa lahar dingin serta tumpukan batu dan dibiarkan begitu. Mobil dengan ground clearance rendah tidak bisa masuk. Bekas bangunan TPR juga masih ada tapi sudah tidak ada penjaganya, kami masuk gratis. Masuk ke wilayah danau tampak lahan bumi perkemahan yang dulu hijau kini tertutup bekas lahar dingin. Bagian tumput yang masih hijau tumbuh panjang-panjang tidak terawat.
Masuk lebih jauh ke area taman bermain, yang ada hanyalah sisa-sisa ayunan dan jungkat-jungkit yang sudah rusak. Menengok ke arah danau, ada perahu yang karam. Di sepanjang tepian danau juga masih ada sisa gazebo-gazebo yang sekarang juga sudah tidak dipakai. Kalau ada yang masih produktif, itu adalah lahan perkebunan yang mungkin malah semakin subur, juga ada peternakan kecil.
Foto-foto sebelum erupsi (kemanaaja.com , tempatwisata02.blogspot.com)
Foto pasca erupsi (pict taken by : Ahmad Fariz)
Wilayah yang dulu ramai ini sekarang sudah tidak dikunjungi oleh wisatawan, kecuali orang-orang kurang informasi seperti kami ini. Hanya tinggal 5 kepala keluarga saja yang mendiami wilayah ini. Usaha mereka bukan lagi wisata melainkan ternak dan berkebun. Waktu kami kesana ada truk yang sedang mengambil kotoran ternak yang akan dijadikan pupuk. Selain foto-foto, yang kami lakukan di sana adalah ngobrol soal Lau Kawar dan Sinabung dengan penduduk lokal.
Katanya air di dasar danau itu hangat karena magma Sinabung. Mungkin kalau tidak ada Lau Kawar, Sinabung bisa erupsi lebih sering dan lebih besar karena tidak ada pendingin. Dengan kata lain, Lau Kawar ini seperti radiator-nya Gunung Sinabung. Walaupun sudah bukan lagi tempat wisata, tapi saya sarankan kawan-kawan main ke danau ini kalau berkesempatan.
Saya pernah datang ke Kinahrejo, daerah sekitar rumah Mbah Marijan pasca erupsi Merapi. Tapi fakta bahwa kami berkunjung ke Sinabung di masa-masa daruratnya adalah kenangan tersendiri. Gempa, hujan batu, bahkan awan panas bisa saja menghampiri kami siang itu. Alhamdulillah kami masih diberi keselamatan, dan keceriaan.
Jam sepuluh malam kami sampai kembali di hotel yang terletak di kawasan Halat Center. Saya buka laptop untuk mencari gambar-gambar Lau Kawar sebelum erupsi Sinabung. Sayang kami tidak punya cukup banyak gambar kondisi sekitar Lau Kawar pasca erupsi, hanya yang saya tampilkan di atas.
Kami saling share foto-foto perjalanan hari itu. Ada beberapa foto yang menggambarkan kondisi Lau Kawar saat ini. Saya mau mulai menulis tapi rasanya terlalu capek. Akhirnya saya putuskan untuk tidur karena esok paginya harus kembali ke ruang seminar.
Penerbangan 2013 on ISAST V 2017 |
Chandra
Kalau ingat Bang Simbolon, ingat "mantap kan dek?", "mantap bang!" hahaha
ReplyDeletelike this! (thumbs) (thumbs)
Delete