HK #4 : Masjid, Makanan, dan Islam di Hong Kong
Keterbatasan waktu dan koneksi internet tidak memungkinkan saya untuk update setiap hari di HK.
Sebelumnya saya sudah menulis catatan harian :
Alhamdulillah sejam yang lalu saya tiba di Bandung. Sambil menunggu subuh saya coba untuk menulis sesuatu.
Selepas acara AOTULE 2016, rombongan ITB merancang itinerary sendiri untuk jalan-jalan di HK. Kami booking hotel di daerah Tsim Sha Tsui (baca : Cim Sha Cui), sebuah daerah favorit wisatawan di Hong Kong karena dekat dengan obyek menarik seperti Ladies Market, CTMA Center, Victoria Harbour, Clock Tower, dll. Ternyata selain dekat dengan obyek turisme, di Tsim Sha Tsui ada Kowloon Masjid dan Islamic Center.
Jadwal salat |
Kami menginap di Panda's Hotel, tepat berhadapan dengan Masjid Kowloon. Lebih tepatnya kami berada di Nathan Road 88. Alhamdulillah saya sempat salat jamaah dzuhur di masjid ini. Masjidnya megah berdiri di pusat keramaian. Masjid cukup ramai karena posisinya strategis apalagi kemarin (27/11) sedang ada pengajian dan ternyata berbahasa Indonesia.
Cukup banyak kegiatan di masjid ini. Di luar waktu salat pun banyak orang di sana. Jamaah bermacam-macam, ada orang timur tengah, Afrika, Asia Tenggara, dan wajah-wajah kulit putih.
Salah satu kegiatan di halaman belakang masjid, orang Indonesia juga |
Di samping masjid, agak tertutupi proyek pembangunan trotoar Nathan Road, banyak ibu-ibu asal Indonesia menjajakan makanan halal. Entah ini sudah rutin atau hanya karena ada pembangunan. Karena jika terlihat aparat pasti diusir. Makanan yang dijual bermacam-macam dan mayoritas makanan Indonesia. Selain makanan berat ada juga gorengan, krupuk, minuman, dan paket internet.
Saya bersyukur menemukan makanan halal, mengenyangkan, sekaligus bergizi di sana. Sayang, ibu-ibu ini kurang mengindahkan etika dalam berjualan. Berteriak-teriak, bicara kasar seperti di pasar, memanggil-manggil pejalan kaki dengan kurang sopan. Semua itu dilakukan di negara motropolitan dimana banyak orang dari berbagai negara lalu lalang. Masjid berisi umat Islam dari berbagai bangsa, tapi yang berjualan di trotoar hanya orang Indonesia.
Pedagang berjualan di trotoar, pembeli makan di tangga |
Sejak sebelum berangkat saya sudah diperingatkan bahwa akan sulit menemukan makanan halal di Hong Kong. Dikatakan lebih sulit daripada di Jepang atau Korea. Hal ini terverifikasi oleh abang-abang dari Tokyo Tech asal Indonesia yang ikut AOTULE. Saya mencontoh mereka dalam pertimbangan makanan halal di negara non-muslim.
Dalam pendaftaran AOTULE sudah diberi opsi untuk request makanan halal (moslem food). Saya pikir makanan untuk muslim akan dibedakan seperti yang dilakukan China Airlines (request moslem food disajikan lebih dulu). Namun ternyata buffet makanannya di gabung. Kadang ada menu yang diberi tulisan Halal atau Veg (untuk vegetarian). Alhasil kami pilih-pilih makanan, menghindari yang kira-kira haram. Setidaknya kami masih bisa makan.
Masalah datang ketika acara resmi AOTULE selesai. Hal itu berarti tidak ada lagi akomodasi konsumsi dari panitia. Tanggal 25 malam kami (orang Indonesia ITB dan Tokyo Tech) hanya makan roti. Tanggal 26 kami cari-cari info tempat makan halal di HK. Rombongan muslim Tokyo Tech wisata kuliner Bebek Peking halal di daerah Causeway Bay, ITB ke Disneyland.
Tanggal 26 siang kami makan di Disneyland. Ternyata Disneyland HK menyediakan 1 restoran tersertifikasi halal, namanya The Explorer's Club. Menunya masakan Indonesia (most favorite), Asia, Korea, dan Jepang. Namun karena berada di dalam obyek wisata, harganya memang cukup mahal. Setidaknya, di samping restoran ini ada mushola. Alhamdulillah.
The Explorer's Club, tersertifikasi halal |
Malamnya, ketika belanja di Mong Kok kami menemukan 1 restoran halal. Restoran ini menjamin seluruh menunya halal termasuk yang berdaging. Menu yang tersedia adalah masakan India. Lokasinya di jalan yang digunakan untuk Ladies Market, saya lupa nama jalannya.
Saya dan kawan-kawan berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga diri tetap di jalan yang benar. Salah satu abang dari Tokyo Tech adalah pengurus masjid Tokyo or something like that jadi saya banyak tanya pada dia tentang beberapa pertimbangan, saya pikir ilmunya cukup dalam.
Tapi, di Hong Kong saya berkesimpulan bahwa idealisme bergama di Indonesia tidak bisa selalu dipakai di negara non-muslim. Jika sudah menetap mungkin lebih mudah karena bisa masak sendiri, punya tempat salat, tahu dimana ada masjid, dll. Tapi jika hanya berkunjung akan jadi cukup sulit. Alhamdulillah Allah SWT juga memberikan keringanan misalnya untuk urusan salat.
Di perjalanan ini juga saya menemukan bahwa di luar sana sudah banyak non-practicing moslem. Mereka mengaku Islam tapi tidak salat dan enteng saja makan babi. "I'm moslem but I dont pray", ucap salah satu kawan. Tidak seperti di Indonesia, mereka bangga dengan itu. Bagaimana menurut Anda ?
Berkaitan dengan keyakinan, dalam perjalanan ini saya menyimpulkan bahwa Hong Kong sebagai wilayah metropolitan menjadi melting pot berbagai etnis dan agama, termasuk Islam. Di pusatnya cukup besar populasi muslim sehingga ada fasilitas penunjang seperti Islamic Center, masjid, dan restoran halal. Namun, di pinggiran yang agak sepi hal ini sulit dicari. Yang kedua, sebagai mayoritas di negeri sendiri, cobalah merasakan menjadi minoritas di negeri orang.
Salam,
Chandra
0 comments :
Post a Comment