Melihat Indonesia Dari Jauh
Apa kabar nasionalisme setelah setahun lebih 'melihat Indonesia dari jauh?'. Saya nggak mau ndadik-ndakik dengan bilang "saya makin cinta NKRI setelah tinggal di luar negeri", karena ya nggak gitu-gitu amat. Walaupun sebenarnya tersentuh juga kalau hari-hari ini mendengar lagu berbau nasionalisme, mungkin faktor kangen berperan besar di situ. Heavy rotation saya belakangan ini Bendera-nya Coklat yang anthemic, Kebyar-Kebyar versi Arkarna karena seratus untuk effortnya membawakan lagu berbahasa Indonesia, dan Tanah Airku versi Gitasav & Angklung Hamburg, terasa sekali vibes diasporanya.
Saya pikir orang yang lahir dan besar di suatu negara akan susah untuk benar-benar lepas dari akarnya. Kalaupun ganti paspor, banyak yang karena alasan teknis saja, misalnya biar bebas visa ke banyak negara atau supaya mendapat hak penuh sebagai warga di mana dia tinggal. Untuk kasus Indonesia-Belanda ada juga yang karena pernikahan. Upacara 17an hari ini menunjukkan bahwa bahkan yang sudah puluhan tahun di sini, sangat fasih berbahasa Belanda, dan membawa pasangan bule pun bisa sangat antusias dan khidmat mengikuti jalannya upacara, plus bersemangat menyanyikan medley lagu-lagu patriotik. Get to this later.
Problemnya adalah pandangan bahwa kalau mau mencintai indonesia maka harus pula mendukung pemerintahnya. Padahal bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya itu milik bangsa bukan punya presiden atau kabinet. Memang pendengung sialan, mempropaganda bahwa kalau tidak mendukung atau sepakat dengan pemerintah maka tidak NKRI. Padahal makin kesini makin banyak kebijakan menyebalkan yang dibuat. Saya yang eksposure ke kebijakan-kebijakan itu terbatas saja mangkel apalagi yang terimbas langsung. Padahal ketika bilang NKRI yang dimaksud adalah manusianya, alamnya, budayanya, solidaritas warganya, bahasanya, seninya, makanannya, keberagamannya, kebersamaannya, tawanya, hangatnya.
***
Now that I'm kebetulan lagi standing on 'rumput tetangga' yang katanya lebih hijau, justru muncul kesadaran bahwa rumput tidak selalu untuk dibanding-bandingkan. Seperti warna merah dan biru saja, beda tapi tidak untuk dicari mana yang lebih baik diantara keduanya. Andaikan ada cara untuk bisa meng-copy-paste mentah-mentah manusia dan cara hidupnya dari negara A ke negara B, ini belum tentu works juga.
Guru geografi kami di SMA dulu pernah bilang, Indonesia susah maju wong duduk aja gembrobyos. Ya iklim dan kondisi geografis adalah salah satu hal yang tidak bisa diubah. Bahwa Indonesia ada di khatulistiwa ya begitulah adanya. Apakah berada di daerah tropis itu keuntungan atau kerugian bisa diperdebatkan, tapi yang jelas cara hidup orang Indonesia pasti beda dengan orang nordic. Iklim memengaruhi bagaimana orang berpakaian, bagaimana membuat bangunan, dan apa yang dimakan. Sandang, pangan, papan, means tiga pilar yang membentuk peradaban. Dalam orde ratusan tahun sudah pasti deviasinya besar. Manusia memang diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.
Kalau bicara kemajuan secara ekonomi dan teknologi juga nggak selamanya konstan kok. Baru beberapa dekade yang lalu US dan Uni Soviet perang bintang, canggih-canggihan menuncurkan manusia ke luar angkasa. Kini Uni Soviet sudah tidak ada, Eropa mungkin akan melambat, justru China yang melaju gila-gilaan. Tentu ini bukan excuse untuk berpangku tangan. Kalau bisa maju, kalau bisa meningkatkan kualitas hidup segera, kenapa tidak. Tapi instead of meniru plek-plekan, mestinya yang dibangun adalah dasarnya: disiplin, kerja keras, dan mau belajar.
Kalau kata Cak Nun, jangan dibandingkan pohon kelapa dengan pohon yang lain. Pohon kelapa ya begitu itu, pohon yang lain ya begitu itu. Belanda super teratur, tapi saking teraturnya ada yang melenceng dikit panggil polisi. Jangankan sound horeg, AC gedung sebelah terlalu berisik karena hari lagi panas saja ada yang kepikiran mau manggil polisi. Maju memang, tapi kaku. Saya sudah kangen ingin liburan ke Indonesia karena kangen fleksibilitas dan spontanitas warganya.
Hari ini kami ikut upacara detik-detik proklamasi di Den Haag. Kebetulan 17 Agustus tahun ini jatuh di akhir pekan, terakhir sebelum terjadi lagi di 2030. Event ini lumayan menyenangkan buat saya yang terakhir upacara bendera lebih dari 10 tahun yang lalu. Ada sensasi lain yang dirasakan dalam momen-momen seperti ini. Bagaimana menjelaskannya ya, tapi mungkin sama dengan rasa yang membuncah dan solidaritas yang tiba-tiba naik ketika bareng-bareng nonton timnas. Speaking about timnas, di upacara hari ini hadir pula Patrick Kluivert sebagai undangan.
Upacara peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia ini diadakan di Sekolah Indonesia Den Haag. Selain seremoni upacara, ada juga panggung hiburan, lomba anak-anak, dan bazaar makanan. Beberapa brand warung makan Indonesia favorit hadir misalnya Warung Barokah, Warung Padang Lapek, dan Pempek Elhysa. Tidak ketinggalan yang mencuri perhatian tahun ini adalah pendatang baru Sate House Senayan, ekspansi Sate Khas Senayan dari Indonesia. Nyaris semua antri panjang, rasanya upacara tahun ini jauh lebih ramai dari tahun lalu.
80 tahun merdeka adalah angka yang bagus, bulat. Tapi ini juga hanya 20 tahun away dari 100, checkpoint yang di mana mestinya sebuah bangsa dan negara sudah punya capaian yang bisa dibanggakan. Semoga segala permasalahan di tanah air bisa segera diselesaikan, kualitas hidup membaik, dan warga bahagia dan sejahtera. Merdeka!
Chandra