Eet Smakelijk!


Tidak perlu terlalu banyak berkata-kata, cuma mau taruh foto-foto makan siang ala Belanda. Gimana rasanya adaptasi dari universe nasi padang, soto, dan bakmi ke roti, salad, dan keju?


Surprisingly saya cocok dengan sopnya, rasanya gurih hangat dan teksturnya kental, biasanya isinya asparagus, prei, atau ui. Untuk keju yang paling cocok adalah varian jong belegen karena empuk dan rasanya ringan. 

Kadang saya ambil tortilla dan/atau roti tawar. Biasanya orang-orang membikinnya jadi sandwich dengan diisi daging, tapi karena saya menghindari perhewanan jadi biasanya cuma saya isi keju dan sayur. 

Saya juga ambil satu bun roti yang nantinya diolesi mentega, andalan dari dulu kalau sarapan di hotel. Telur rebus dan pisang biasa saya ambil untuk dikantongi biar nanti bisa dimakan ketika lapar. Minumnya jus jeruk atau ladang-kadang infused water.

Soal rasa memang butuh adaptasi tapi lama-lama lidah cocok juga. Justru yang agak ribet adalah cara makan. Sebagai orang yang biasa makan ngadep tumpukan nasi dan lauk di atas piring dan makan dengan sendok, makan model seperti ini jujur agak ribet.

Tidak setiap hari saya makan seperti ini karena tidak tiap hari pula WFO dan kalaupun di kantor kadang-kadang makan siangnya bawa bekal. Tapi inilah salah satu realita yang harus diterima tanpa menjadi kagetan: cara makan ala barat, tidak bisa asal makan daging, dan tidak ada rasa pedas.


Eet smakelijk,
Chandra

Menjadi Imigran


Secara umum orang Belanda tidaklah rasis, mereka justru termasuk toleran dan ramah. Tapi housing crisis dan naiknya biaya hidup mau tidak mau meningkatkan tekanan di masyarakat. Ditambah dengan ulah beberapa oknum imigran, persepsi orang Belanda terhadap pendatang tidak sedang dalam tren positif.


Populasi sebuah negara naik itu biasa bahkan perlu. Tapi ada beda antara naik karena angka kelahiran dan naik karena imigran. Lahirnya 1 juta anak-anak beda dengan datangnya 1 juta orang dewasa baru dalam kaitannya dengan housing, lapangan kerja, dan hubungan sosial. Masuknya banyak imigran ke Belanda ini di satu sisi diperlukan karena negara ini perlu lebih banyak orang untuk menggerakkan ekonominya, tapi di sisi lain dampak sosial yang ditimbulkan kadang tidak sesuai yang diharapkan dan sulit dikendalikan.

Orang-orang Eropa timur banyak datang untuk bekerja. Secara umum mereka disambut baik karena mau mengerjakan hard labour yang dihindari para dutchies. Pendatang dari Polandia misalnya, mereka terkenal banyak bekerja di pergudangan dan ekspedisi. Banyaknya jumlah mereka membuat toko-toko Polandia yang menjual barang-barang impor dari Eropa timur tersebar dimana-mana, on par dengan toko Asia/oriental.

Sementara pendatang dari Asia Timur dan Tenggara, meskipun secara looks sangat berbeda dengan orang lokal, mereka tidak banyak tingkah, willing to integrate, sopan, dan restoran-restorannya dikenal enak sehingga jarang dianggap masalah. Kelompok ini juga datang dengan tujuan yang jelas seperti belajar atau bekerja. Mereka juga secara umum tidak terlalu menancapkan akar di sini, artinya punya rencana untuk setelah sekian tahun akan keluar dari Belanda, entah kembali ke negara asal atau pindah ke negara lain. 

Khusus untuk Indonesia, orang Belanda seperti punya soft spot karena hubungan sejarah dan banyaknya orang Indonesia yang menikah dengan locals. Bahkan menurut agency statistika pemerintah Belanda, Indonesia dikategorikan sebagai 'westeners' bersama orang-orang dari Eropa, US, Australia, NZ, dan Jepang. Posisi Indonesia semakin unik karena semua itu terjadi di tengah fakta bahwa mayoritas pendatangnya culturally atau nominally Muslim. This brings us to the next point.

Paham sekuler mulai berkembang di Belanda sejak tahun 1960an. Kini agama semakin ditinggalkan dan dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Merry Christmas diganti dengan Happy Holiday, Sinterklas bukanlah Santa Claus, minggu bukan lagi hari yang sakral, dan gereja-gereja semakin sepi bahkan kosong. Orang Belanda bukan meninggalkan kekristenan, tapi meninggalkan agama secara umum. Maka ketika banyak migran dari negara muslim datang, membentuk komunitas, membangun masjid, dan menjalankan agamanya, mereka tidak 100% disambut hangat, I'll put it that way.

Inilah kenapa migran dari MENA (Middle East & North Africa) tidak seberterima migran dari Eropa Timur dan Asia. Selain faktor propaganda media barat soal dunia Islam, pendatang dari MENA ini memang lebih ekspresif dalam beragama jika dibandingkan migran Indonesia atau Malaysia. Mereka membangun tempat ibadah yang besar dan kelihatan bahwa itu masjid, lalu menjadikan lingkungannya terlihat terlalu Arabic/Turkish. Banyak diantara mereka yang pindah kesini memang untuk menetap dan membentuk keluarga besar. As a muslim mungkin tidak masalah, tapi kalau dilihat dari kacamata warga lokal wajar kalau mereka merasa risih.

Belum lagi oknum-oknum seperti 'arab kids on fatbike' menjadikan kelompok ini overrepresented dalam pemberitaan-pemberitaan negatif. Bahkan ketika banyak dari imigran MENA ini bisa berbahasa Belanda dan lebih terintegrasi, itu tampak tidak terlalu menolong di tengah kondisi masyarakat yang capek sebab biaya hidup yang makin tinggi dan housing yang makin susah dicari. 

Melihat imigran dari sudut pandang locals, wajar jika mereka terganggu dengan influx yang tak terkendali. Apalagi jika para pendatang ini membawa dan menunjukkan warna hidup yang berbeda dan mencolok. Saya membayangkan jika sedang makan di sebuah restoran di Jakarta lalu tidak ada satupun dari pelayannya yang bisa bicara bahasa Indonesia tentu menyebalkan sekali. Itulah yang juga dirasakan dan ditakutkan orang Belanda asli ketika harus menggunakan bahasa Inggris untuk keperluan sehari-hari karena lawan bicaranya belum bisa Dutch. Meskipun mereka terkenal sangat fasih berbahasa Inggris, tapi hassle-hassle kecil seperti ini akan tetap terasa melelahkan.

Belum lagi para pendatang mengisi posisi-posisi di pekerjaan secara tidak merata. Industri-industri yang berkembang di Belanda banyak menyerap tenaga kerja luar negeri, tapi sektor seperti healthcare dan pendidikan tidak. Maka seolah semua baik-baik saja padahal nyatanya anak-anak akan belajar di ruang kelas yang semakin penuh dan orang-orang perlu mengantre lebih lama untuk mendapat layanan kesehatan atau sekedar terdaftar di general practicioner. Itu efek-efek sosial lain yang disebabkan imigrasi.

Tapi sebenarnya kemarahan ini tidak semata-mata ditujukan pada para migran, tapi juga pada pemerintah Belanda yang dianggap terlalu santai dan terbuka terhadap pendatang. Pemerintah dianggap menerima terlalu banyak pencari suaka dan memberikan terlalu banyak benefit terhadap pendatang. Di sisi lain pemerintah dibilang lamban dalam menyediakan housing baru sehingga kini terjadi krisis hunian. 

Tapi pemerintah juga kepepet karena kebutuhan industri tidak bisa dipenuhi oleh tenaga kerja dari dalam negeri saja. Bahkan ketika corak pemerintah Belanda kini sayap kanan, tekanan dari industri seperti ASML sangat kuat hingga pemerintah tidak bisa begitu saja menutup keran imigrasi. Kalau perusahaan dilarang merekrut dari luar mereka akan mencabut usahanya dari Belanda yang berarti hilangnya potensi ekonomi yang sangat besar. 

Terakhir, dari sisi migran, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung mestinya bukan sekedar peribahasa. Penting sekali menghargai budaya dan komunitas lokal selama itu tidak bertentangan dengan prinsip. Orang Belanda itu sudah sangat baik mentolerir rookie mistake yang dibuat para pendatang, ramah menyapa walaupun looks-nya berbeda, dan secara umum baik dengan tetangga. Maka pendatang juga mesti sensitif dengan apa yang terjadi di sekitar, berusaha mengintegrasikan diri, dan sebisa mungkin aktif mempelajari bahasa setempat. 

Saya bekerja di tempat yang secara aturan bahasa resminya adalah English. Tapi ketika saya pamit pulang dengan bilang fijne avond, lebih hangat sambutannya daripada sekedar good evening. 

Thanks,
Chandra

Belajar Liburan


Merencanakan liburan adalah hal yang lumayan asing buat saya. Faktor besar di kota destinasi wisata dan tinggal serumah dengan simbah* menjadikan saya orang yang tidak terbiasa pergi berlibur. Sejak merantau momen liburan saya mostly diisi dengan pulang ke rumah, mudik, ketemu keluarga. Saya tidak terbiasa staycation, trip ke Bali, atau naik gunung, jarang sekali saya pergi lebih lama dari 2 hari di akhir pekan. Dolan buat saya sifatnya pendek-pendek: pergi ke sebuah pantai, main ke kota sebelah, makan ke suatu warung. 

Lalu sekarang saya berada di lingkungan orang-orang yang rutin liburan. Orang Eropa terbiasa pergi vakansi sampai 2-4 minggu dan bisa dilakukan beberapa kali dalam setahun. Semuanya terencana dengan detail mau kemana-kemananya padahal tempat yang disebut itu bisa jadi ada di belahan dunia yang berbeda. Mereka bisa trip sampai ujung barat di Portugal, membelah Eropa dari Belanda di utara sampai Italia di selatan, dan menembus Jerman untuk sampai Polandia dan negara Eropa timur lainnya. Iklim yang tidak terlalu menyenangkan di musim tertentu dan arrangement cuti yang sangat support vakansi menjadikan orang kulit putih ini pelancong yang handal menurut saya.

Orang-orang Asia/Afrika seperti kami ini belum tentu dapat kesempatan yang sama karena kami masih harus menyisihkan sebagian (besar) cuti untuk pulang ke negara asal. Tapi tentu eman kalau kesempatan berada di sini ini disia-siakan dengan tidak kemana-mana. Apalagi integrasi antar negara Schengen ini sangat mulus, pindah negara seperti pindah dari satu provinsi ke provinsi lain saja. Maka di summer kali ini kami coba belajar untuk liburan, setelah sebelumnya ke Jerman, weekend kemarin alhamdulillah kami berkesempatan berkunjung ke Brussels dan Ghent di Belgia. 

Selain dekat, alasan kami ke Belgia adalah karena saya penggemar berat novel Edensor karya Andrea Hirata dan salah satu tempat transit Ikal dan Arai sebelum ke Perancis adalah Belgia. Kami memang belum sampai ke Brugges seperti mereka tapi setidaknya saya sengaja pilih jalan yang mirip dengan mereka yaitu masuk Belgia lewat Breda. Absurd dan nggak penting-penting amat sebenarnya, tapi it was fun.

Brussels adalah kota yang menarik karena dia memadukan dua hal yang bertolak belakang di dalam satu kota. Satu sisi Brussels, sama dengan banyak kota-kota di Eropa, menawarkan sejarah, bangunan kuno, dan third space yang melimpah. Tapi di sisi lain Brussels ada pusat bisnis dan kantor Uni Eropa yang modern, canggih, dan sangat abad 21. Bayangkan Jogja dengan kraton, tamansari, malioboro, dan tugu-nya bertetangga dengan SCBD-nya Jakarta, itulah Brussels. Beberapa destinasi di Brussels diantaranya Brussels Town Hall, Royal Palace, Mannekin Pis, dan Royal Gallery.

Brussels:


Brussels ini kota besar tapi entah kenapa murah. Parking garage di kota hanya €3 untuk seharian ketika weekend. Kami makan di restoran Jepang (halal) juga dapat harga yang terjangkau. Malamnya kami menginap di daerah Nosegem, sedikit di luar Brussels, rate-nya juga di bawah kota-kota lain. Kurangnya bagi sebagian orang sepertinya Brussels ini terlalu ramai (yang artinya juga beberapa sudut kurang teratur dan kotor), sebelas dua belas lah dengan Amsterdam. Kami juga sempat mau mampir Brussels Grand Mosque untuk salat, sayangnya ketika sampai di sana masjid dalam keadaan tertutup rapat. Memang saat itu bukan di jam salat sih, tapi untuk sebuah grand mosque dalam bayangan saya mestinya buka paling tidak nonstop dari Dzuhur sampai Isya.

Minggu paginya kami meluncur ke Ghent yang jaraknya tidak begitu jauh dari Brussels. Beda dengan Brussels yang punya dua sisi kekunoan dan kekinian tadi, Ghent ini all in lawasan. Pusat kotanya diisi banyak bangunan lama, banyak, beneran banyak banget. Beberapa kota Eropa punya bangunan bersejarah di centrumnya (pusat kota), tapi sedikit di luar dari area itu sudah daerah pemukiman biasa. Sedangkan Ghent ini sampai lelah jalan muter-muter masih ketemu bangunan-bangunan lawas dan masif lengkap dengan ukiran dan patung-patungnya. Ghent juga terasa lebih tenang, relaks, dan slow living dibanding Brussels. 

Ghent:


Alhamdulillah perjalanan kali ini terasa lebih lancar dan effortless dibandingkan saat ke Jerman kemarin. Belajar dari pengalaman, kami mendapat penginapan yang jauh lebih nyaman dengan harga yang tidak beda jauh (shoutout untuk Hotel Taormina Zaventem). Itinerary perjalanan kali ini bisa dilalui dengan lebih baik dan tanpa grusa-grusu. Kami sudah lebih paham bagaimana memanage kebutuhan untuk makan, istirahat, dan ke toilet. Urusan barang bawaan, transportasi, dan akomodasi juga sudah cukup efisien dan tidak ada surprise yang tidak menyenangkan. Overall alhamdulillah.

Thanks,
Chandra


*saat lebaran/liburan jadi jujugan saudara datang jadi malah nggak kemana-mana seringnya

Share?


Pasti ada batas antara memberikan informasi yang cukup dan di mana informasi itu sudah terlalu banyak dan menjadi menyebalkan. 

Orang yang kita ikuti menentukan bubble kita dan bubble itu sangat memengaruhi standar yang kita punya. Orang yang mengikuti twitter saya mungkin jengah dengan twit-twit sampah yang saya post setiap ada pertandingan bola. Tapi itulah hasilnya kalau terlalu banyak follow account banter seperti UTDTrey dan Welbeast. Saya juga paham kenapa teman-teman penggemar k-pop juga banyak retweet soal idolanya. It is what it is, namanya juga media sosial dan attention business.

Problemnya, saya kadang merasa apa yang ingin saya keluarkan belum tentu cocok untuk semua audience (yang tidak banyak itu). Definisi baik, keren, dan bermanfaat yang ada di pikiran saya dipengaruhi orang-orang yang saya follow, sementara orang yang follow saya belum tentu punya definisi yang sama. 

Personal filter di sana buat saya seperti rem yang kadang di tekan kadang tidak tapi tetap harus ada dan berfungsi dengan baik. Sampah-sampah soal bola tadi saya biarkan lepas karena saya pikir tidak akan merugikan siapapun dan hanya di akun twitter yang privat. Tapi tidak semua keputusan untuk share/tidak share sesimpel itu. 

Hampir semua platform media sosial punya limiter dalam bentuk masing-masing: privacy setting, close friend, share to contact except, dll. Semua itu fasilitas ngerem yang disediakan oleh platform. Tapi penggunaannya diserahkan pada user masing-masing.

Saya iseng coret-coret gambar di atas karena kepikiran bahwa yang di sisi kanan tidak bisa kita kontrol: opini dan pandangan orang soal kita. Tapi kita punya kontrol penuh atas apa yang ada di kiri: orang-orang yang kita jadikan referensi. Layaknya makanan menentukan kesehatan badan, informasi juga makanan buat otak dan hati. Kebohongan yang diulang terus menerus saja bisa jadi dikira kebenaran, apalagi hanya definisi baik-buruk, penting-tidak, bagus-jelek. Apa yang kita dengar, baca, dan lihat terus menerus bisa sangat mendefinisikan kita.

Di jaman seperti ini hampir tiap saat kita perlu memutuskan: share or not? Kalau mau simpel jawabannya tidak perlu bermedia sosial sama sekali. Banyak orang memilih ini dan hidupnya tetap menyenangkan. Tapi buat saya pribadi online presence masih penting, atau setidaknya perlu. Maka filter di sana mesti dijaga benar-benar karena andai keputusannya untuk share pun masih harus diputuskan share-nya seperti apa.

Baru kemarin saya dengar nasehat yang makjleb: what you don't share can't be destroyed.


Chandra

Bahasa Inggris


Dalam podcastnya bersama Yusril Fahriza, Raditya Dika dengan yakin bilang bahwa pintu menuju banyak pengetahuan itu sesimpel Bahasa Inggris. Dengan punya kemampuan reading dan listening yang cukup kita jadi punya akses ke kolam pengetahuan yang luar biasa besar. And I'm not talking about 'nerdy' knowledge, dunia yang bisa dieksplor jauh lebih luas dari itu: hobi, olahraga, seni, teknologi, bisnis, ekonomi, spiritual, dll.

Saya dulu menghindari konten berbahasa Inggris karena melelahkan. Saya malas membaca tulisan berbahasa asing karena mungkin hanya 50-60 persen kalimat yang saya pahami maksudnya. Beberapa kata nggak tahu artinya, konteks dalam kalimat dan paragrafnya jadi nggak nyambung, sehingga keasyikan dan informasinya jadi nggak dapat. Begitu juga dengan konten audio visual, too much to grasp karena skill listening standar banget.

Saat SD saya baru dapat pelajaran bahasa Inggris di kelas 4, itupun baru mulai dari sangat dasar: I am, you are, she is. SMP memang lebih terekspos dan beberapa buku pegangannya bilingual (halaman ganjil indonesia, halaman genap english) tapi tetep english-nya tidak segitunya terasah. Ada awareness yang didapat bahwa bahasa Inggris adalah jendela dunia tapi that's it. Saat kuliah juga masih masuk level english paling basic: reading. 

Tapi ternyata buat saya kuncinya justru di hobi, sesuatu yang dilakukan secara effortless akan lebih lama bertahan dan impactnya lebih besar. Saya tidak punya cukup bahan diskusi menarik soal bola dan formula 1 yang jadi minat saya jadi perlu outsource dari content creator berbahasa Inggris. Dari situ saya mulai sering nonton konten dari youtuber luar seperti tifo football, wtf1, the race, dan the athletic. Bosan dengan autonetmagz dan otodriver untuk bahasan otomotif, saya nemu carwow dan donut media. Sementara untuk gadget, ketika nonton gadgetin dan sobathape belum membuat saya puas saya ketemu mkbhd dan mrwhosetheboss. Waktu-waktu berikutnya saya senang dengan video-video storytelling macam the infographic show, half as interesring, coldfusion, company man, dll.

Dari sana saya jadi tahu soal crashgate-nya Renault, jatuhnya Enron, behind the scene Jurgen Klopp join Liverpool, ponzi scheme-nya Bernie Madoff, Elizabeth Holmes dan Theranos, jatuhnya Nokia dan Kodak, dan lain sebagainya. Tanpa mengurangi rasa hormat pada content creator dalam negeri, konten-konten seperti di atas tidak banyak dibuat di Indonesia. 

Setelah itu semakin banyak youtuber luar yang saya ikuti. Awalnya tentu dengan CC sebagai subtitle, tapi lama-lama ternyata tanpa baca teks dan lihat layar sudah bisa nangkap maksudnya. Enak banget ketika sudah di tahap ini, nonton jadi bisa disambi. Makin kesini saya mulai mendengar podcast, ini agak lebih sulit karena minim visual aid dan efisiensi listening saya masih belum seperti native. Kata Raditya Dika lagi, dibilang listening bagus itu kalau sudah bisa nangkap maksud orang ngomong di video yang diputar dalam speed 1.5, nah ini saya belum bisa.

Dua tahun lalu saya baru mulai secara rutin bisa membaca buku berbahasa Inggris. Bisa dibilang ini telat karena baru terjadi di umur hampir 30, betapa banyak waktu sudah terlewat. Buku mestinya bisa ngasih ilmu yang lebih luas lagi, tapi saya belum sampai ke sana karena buku yang saya baca masih sangat terbatas dan topik tertentu saja. Itupun tidak semua buku yang saya buka bisa saya rampungkan (yah bahkan buku bahasa Indonesia pun tidak semuanya selesai).

Soal baca, sekarang justru saya baca reddit hampir tiap hari karena di sini bisa diakses tanpa VPN. Sejauh ini saya lebih banyak 'tanya' ke reddit daripada chatGPT karena ingin dapat jawaban dari real people yang pernah punya pengalaman atau berada di posisi yang sama. Bahkan saat tidak ada pertanyaan pun saya sering meluncur ke sana untuk sekedar baca-baca. Kombinasi antara there's no stupid question, komunitas worldwide, dan topik yang organik membuat reddit ini sangat menyenangkan dibaca.


Mengonsumsi konten berbahasa Inggris sudah semakin natural, tapi setelah semua itu pun kemampuan english saya masih di bawah rata-rata kolega di sini. Saya juga tidak terlalu pede ngetwit atau menulis panjang di media sosial dengan bahasa Inggris. Singkatnya saya belum bisa dibilang fluent. Teori grammar mungkin tahu, tapi kata-kata masih keluar dengan terbata-bata ketika harus bicara atau menulis panjang. 


Chandra

RWTH


Siapa yang nggak mau kuliah di RWTH Aachen? Walaupun namanya tidak sementereng MIT, Caltech, atau Imperial College, embel-embel 'Pak Habibie dulu kuliah di sini' cukup kuat untuk menarik minat anak-anak muda. Saya belum berkesempatan kuliah di sini, tapi baru sempat mampir.



Aachen adalah kota di Jerman yang berbatasan dengan dua negara sekaligus, Belanda dan Belgia. Kota ini terletak di state North Rhine-Westphalia sehingga kampus yang ada di sana namanya RWTH alias Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule. Kampus RWTH berada telak di pusat kota Aachen, berdekatan dengan landmark seperti Aachener Dom. Aachen bisa dijangkau menggunakan kereta langsung ke jantung kotanya atau bisa juga jalur darat menggunakan mobil.



Jika datang dari arah Belanda, ada satu tempat yang harus disinggahi dulu sebelum masuk Aachen yaitu Drielandenpunt (Three Countries Point). Ini adalah titik pertemuan batas 3 negara yaitu Jerman, Belanda, dan Belgia. Lokasinya ada di atas bukit dan bisa dijangkau dengan naik dari kota Vaals. Di sana ada sebuah monumen yang menunjukkan titik istimewa ini, di dekatnya ada kafe yang punya beberapa pintu yang letaknya di negara yang berbeda, dan ada juga wahana bermain labirin (full size, orang dewasa masuk nggak kelihatan sampai kepala). Fun fact, lokasi ini juga adalah titik tertinggi Belanda padahal tingginya hanya 322 mdpl, menunjukkan betapa flat-nya negara ini.

Aachen tidak jauh lagi dari Vaals dan kami langsung menuju ke pusat kotanya karena memang tujuan utamanya adalah RWTH. Kelihatan sekali RWTH jadi nadi kota ini, banyak (orang berpenampilan) student lalu lalang seperti di Bulaksumur dan Dago haha. Sayang cari parkir di pusat kotanya agak susah dan terbatas waktu jadi kami belum puas menikmati kota ini. 

Kami melanjutkan perjalanan menuju Koln. Setelah riset-riset, tujuan pertama adalah Cologne Central Mosque, sebuah masjid yang berdiri megah di Kota Koln. Sungguh ini masjid paling bagus yang saya lihat di Eropa: arsitekturnya keren, besar, bersih, dan very welcoming. Masjid ini punya orang-orang Turki yang mana memang komunitasnya besar di Jerman.


Untuk bergerak ke pusat kota kami memilih pakai kereta bawah tanah agar tidak perlu memusingkan parkir, kendaraan biar istirahat di basement masjid. Pusat Kota Koln ditandai Katedral yang luar biasa besar dan tinggi menjulang ini. Gothic menjurus seram. Di sampingnya ada stasiun kereta dan deretan shoping center. Overall nice city, senang berkunjung ke sini.


Malamnya kami mencoba memilih penginapan di luar Kota Koln. Kami nemu satu airbnb yang lokasinya dekat peternakan kuda. Pengalaman yang unik tapi rasanya cukup satu kali saja. Pagi harinya memang enak karena pemandangannya luar biasa bagus dan bisa lihat kuda dari dekat, tapi minusnya kebersihan dan ketenangan agak kurang karena dekat kandang, bagaimanapun tetap bau. Paginya kami kembali ke Koln untuk sarapan di satu-satunya warung Turki yang sudah buka, susah untuk beli makanan (halal) di minggu pagi di Jerman. Bahkan beda dengan Belanda dan Belgia, swalayan Jerman tutup di hari minggu.


Tujuan terakhir adalah Monschau, sebuah kota kecil (atau village malah) di pinggiran Jerman. Ini tempat yang luar biasa cakepnya, berasa set film bukan dunia nyata. Foto-fotonya sudah saya unggah di instagram.

Danke,
Chandra

Apakah Blog Masih Relevan?


Dua hari yang lalu saya membuat polling ini di instagram. Saya melempar pertanyaan itu setelah browsing sesuatu dan came across blog ini: fitrihasanahamhar.blogspot.com. Yang menarik dari blog tersebut adalah banyaknya link menuju blog lain yang ditampilkan di sana terutama jika dibuka dalam mode tampilan PC. Selain melalui widget yang disematkan, penulisnya juga mempraktekkan konsep followers-following yang membuat blog ini menjadi seperti hub menuju laman-laman lain. Saya punya cukup banyak waktu weekend kemarin jadi sempat untuk berselancar.



Hanya segelintir dari blog-blog yang ada di sana yang pemiliknya saya tahu, misalnya Kurniawan Gunadi, Nurvirta Monarizqa, dan Raditya Dika. Meski begitu, randomly saya coba klik beberapa link yang ada dan menemukan beberapa cerita menarik seperti orang yang tengah studi di Amerika, cerita jalan-jalan di Eropa, cerita soal profesi, perenungan, keluarga, dan lain sebagainya. Sayangnya di antara list itu banyak juga blog yang last updated-nya sudah beberapa tahun yang lalu, tidak ada tulisan baru lagi, atau bahkan link-nya sudah mati.

Saya cukup yakin orang berhenti menulis di blog bukan karena malas (kalau malas mah tidak bikin blog in the first place), melainkan ia tidak lagi melihat blog sebagai media yang relevan untuk berbagi cerita di masa kini. Konten berbasis tulisan (blog, majalah, etc) sudah kalah menarik bagi audience ketika konten video dan vlog bermunculan, apalagi sekarang ketika persaingannya lebih bombastis lagi dengan munculnya platform video berdurasi pendek. Saya membayangkan blog ini seperti pasar yang dulu ramai tapi kini ditinggalkan karena orang berpindah ke tempat yang lebih nyaman dan mewah. Jika pembelinya sudah tidak banyak datang, untuk apa penjualnya bertahan? 

Tapi meski sudah tidak seramai dulu, blog tidak benar-benar mati seperti apa yang terjadi pada MySpace dan Friendster. Banyak informasi di blog yang masih akan direfer oleh search engine, segelintir influencer juga masih membuat konten tulisan di samping konten digital di platform lain. Tapi lebih dari itu adalah masih ada orang-orang yang menjadikan menulis sebagai hobi, tanpa peduli ada yang membacanya atau tidak, serta tanpa motif popularitas dan ekonomi. Sama seperti orang yang enjoy main musik di dalam kamar: dimainkan sendiri, dinikmati sendiri, tanpa perlu ada orang lain yang mendengar.

Makin kesini makin terlihat kesamaan antara menulis dan main musik. Puthut EA bilang ada orang yang belajar menulis karena ingin jadi penulis dan ada yang belajar semata-mata karena ingin bisa menulis. Sama saja dengan musik, tidak semua orang belajar musik untuk jadi musisi, banyak yang untuk mencari kebahagiaan sendiri. Musik dan menulis (serta membaca) adalah skill yang good to have. Orang bisa membunyikan piano dengan memencet tuts-nya, tapi itu belum disebut main musik. Sama halnya orang bisa membaca dan menulis huruf, tapi kemampuan memahami tulisan panjang dan menulis runtut adalah hal yang berbeda.

Hanya 10 orang yang mengisi polling saya di instagram, 8 bilang masih relevan sementara 2 lainnya tidak. Saya dm-an dengan salah satu yang bilang tidak dan maksud dia adalah tidak relevan lagi sebagai media penyampai pesan. Kalau ingin menjangkau audience yang lebih luas butuh media yang lebih menarik dari sekedar tulisan. Itu betul, views pada satu video YouTube atau reels instagram bisa lebih banyak daripada pembaca sebuah blog all time. Saya tidak tahu apakah masih ada konten kreator yang murni berbasis blog/tulisan saja di dunia ini.

Tapi balik lagi tidak semua orang menulis demi populatitas dan follows. Bahkan mungkin sekarang justru banyak yang menulis untuk mengekspresikan dirinya tanpa dibaca banyak orang. Di sisi lain ini malah menjadikan blog walking semakin menarik karena bisa menunjukkan sisi lain orang yang tidak terlihat di media sosial lain. Menemukan blog yang masih diupdate memunculkan sense of community walaupun tidak kenal dan belum pernah ketemu, dan itu menyenangkan.

Satu hal lagi, makin jauhnya blog dari popularitas justru menjadikannya makin eksklusif. Karena bisa jadi yang penting bukan berapa banyak yang membaca, tapi siapa yang membaca. Just my two cents.


Thanks,
Chandra



Paksa


Apa jadinya anak yang hanya mengandalkan nilai akademik selama sekolah? Does it works ketika dewasa? 

Tidak terbiasa bekerja keras
Ketika ujian di sekolah hanyalah walk in the park, tidak ada insentif untuk berusaha ekstra keras. Akibatnya ketika dewasa tidak terbiasa mem-push batas. Tidak mau masuk gym, takut capek. Tidak mau belajar ilmu baru, takut jadi newbie lagi. Tidak mau masuk lingkungan baru, takut dianggap poseur.

Hanya melakukan ketika yakin akan berhasil
Padahal apa hebatnya orang yang hanya mau mencoba hal-hal yang dia tahu dia bisa? Terobosan tidak datang dari sikap seperti ini, nyaman dalam kesibukan tanpa benar-benar produktif dan menghasilkan improvement. 

Alergi gagal
Tidak terbiasa salah, tidak terbiasa buntu, dan alergi pada feedback negatif. Padahal that's not how it works. Mungkin butuh melewati ratusan error dan bugs sampai akhirnya software berjalan, butuh berkali-kali revisi sampai akhirnya desain diterima, butuh puluhan penolakan sampai akhirnya ada yang menerima. 

Resiliensi rapuh
Dalam bayangannya masalah akan selesai tanpa menunggu lama, padahal tidak selalu. Masalah bisa ringan bisa berat, bisa sebentar bisa lama, bahkan ada yang bisa diselesaikan ataupun tidak. Lebih penting dari itu, kini yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikannya adalah diri sendiri, seringnya sendirian.

Unfinished business
Kecilnya tidak bisa tidur ketika PR belum selesai dan perut mual ketika pagi hari berangkat sekolah tidak dalam kondisi fully ready. Mudanya tidak terbiasa membawa tidur masalah. Dewasanya weekend bisa ruined hanya karena urusan yang belum selesai hari Jumat sore.

Pilihannya cuma dua: me-remedy itu semua walau susah payah atau melipir tetap berlindung di zona nyaman.




Ditulis jam 02:00 pagi
Chandra

Hari Libur


Beda dengan Indonesia yang tiap kelompok keyakinan menyumbang hari libur nasional, Belanda bisa dibilang sangat pelit dalam hal ini. Tahun ini libur nasional Belanda hanya 11 hari, itupun beberapa diantaranya tidak wajib libur di mana perusahaan atau sekolah berhak untuk tetap menjalankan aktivitas seperti biasa dan pekerja/siswa tetap perlu masuk. Sebagai contoh Good Friday 18 April kemarin, tidak semua perusahaan dan sekolah tutup sehingga karyawan yang punya acara harus mengajukan cuti sendiri. Saking sedikitnya libur nasional Belanda, list di google bahkan bisa menampilkan semua tanpa harus scroll down.



Setelah rangkaian Paskah, public holiday berikutnya adalah Koningsdag (King's Day) yang sayangnya akan jatuh pada akhir pekan. Maka libur beneran berikutnya adalah Liberation Day alias hari kemerdekaan yang akan dirayakan 5 Mei nanti. Ini untuk memeringati angkat kakinya Nazi dari tanah Belanda pada tahun 1945 yang ditandai dengan penandatanganan kesepakatan di Hotel de Wereld di Wageningen. Tapi hari kemerdekaan ini hanya dirayakan sebagai libur nasional setiap lima tahun sekali. Beda dengan Indonesia yang bukan hanya upacara 17 Agustusan tiap tahun, beberapa momen bersejarah lain pun dirayakan dan jadi hari libur nasional. Libur lainnya adalah Kenaikan Yesus Kristus dan Nataru yang sama dengan di Indonesia serta Whitsun dan Whit Monday yang masih berkaitan dengan Paskah. 


Minim libur nasional artinya minim cuti bersama dan hari kejepit juga, bahkan bisa dibilang tidak ada. Paskah adalah salah satu kesempatan langka di mana hari besarnya jatuh di Jumat dan Senin sehingga terjadi long weekend. Saya yakin orang Belanda akan kaget kalau bekerja di Indonesia yang libur nasionalnya banyak. Mereka yang terbiasa dengan ritme kerja yang predictable akan shocked ketika tahu di saat lebaran waktu kerja efektif bisa hanya 2 minggu saja dalam sebulan. Matter of fact, kalau saya lihat orang sini tidak terlalu familiar dengan istilah long weekend apalagi ultra long weekend.

Sebagai gantinya pekerja di Belanda diberikan jatah cuti tahunan lebih banyak yaitu minimal 25 hari dalam setahun. Banyak perusahaan memberikan tambahan sampai 12 hari bahkan lebih. Di luar itu ada jatah cuti untuk keperluan-keperluan tertentu seperti pernikahan, kedukaan, maternity, parental, emergency, anniversary, cuti sakit, sampai cuti untuk house moving. Karena jatah cuti yang lumayan banyak ini biasanya orang akan mengambil satu long leave berdurasi 3 sampai 4 minggu untuk liburan ke luar negeri atau mudik ke negara asal. Jadi di Indonesia liburnya scattered sementara di Belanda terpusat.

Ini adalah salah satu hal yang karyawan pindahan dari Asia perlu menyesuaikan diri. Meskipun pada akhirnya jumlah day off-nya mungkin hampir sama, tapi langkanya long weekend dan libur tengah pekan ini lama-lama agak membuat exhausted dan bored karena weeks yang begitu-begitu saja. Kalau dilihat kebanyakan public holiday jatuh di paruh pertama tahun sehingga Juli sampai Desember terasa panjang sekali. 

Beberapa fakta lain terkait hari libur di Belanda:
- Banyak orang tidak bekerja 40 jam perminggu melainkan hanya 32 atau 36 jam, kebanyakan akan mengambil Jumat (siang) off.
- Jumat siang after lunch biasanya orang mulai sedikit cooling down apalagi kalau hari sedang hangat dan cerah. Orang-orang suka menghabiskan waktu outdoor.
- Pegawai yang punya anak usia sekolah diprioritaskan mengambil cuti di masa liburan sekolah.
- Hak cuti sangat dihargai dan sebisa mungkin orang yang sedang cuti tidak diganggu sama sekali. Pulang kampung 3 minggu tanpa bawa laptop adalah hal biasa.

Thanks,
Chandra

Nilai Tukar


Tahun lalu saya berangkat dalam kondisi kurs euro terhadap rupiah sekitar 17.700. Saat itu saya harus mengonversi sebagian tabungan rupiah ke euro karena beberapa minggu pertama mesti keluar uang sendiri sampai tanggal gajian di akhir bulan. Dulu rasanya berat melihat nilai barang-barang dalam euro dari sudut pandang rupiah, mau beli apa-apa kepala otomatis mengonversinya dan langsung terasa mahal. Tapi ternyata waktu itu masih mending, kini berkat kebijakan pemerintah yang mobat mabit dan menyebabkan hilangnya kepercayaan banyak pihak, rupiah melemah ke lebih dari 19000 per euro (via Wise, 13 April 2025).



Selama ini saya tidak terlalu concern dengan nilai tukar mata uang karena earn in rupiah spend in rupiah. Efek ke harga komoditi juga tidak besar karena perubahan kursnya tidak signifikan. Tapi kini ketika bermain dengan dua mata uang, kurs jadi penting dan perubahan drastis dalam beberapa minggu terakhir memberi saya mixed feeling. Saya tahu bahwa dengan melemahnya rupiah setiap euro yang ada akan punya angka yang lebih besar di Indonesia. Tapi di sisi lain jika ada kondisi di mana saya harus mentransfer rupiah ke euro uang yang dikeluarkan akan jadi lebih mahal. 

Belum lagi dalam hati tahu bahwa hanya angka rupiahnya yang tampak lebih besar, power to buy-nya belum tentu. Diakui atau tidak oleh pemerintah Indonesia perubahan sebesar ini dalam waktu sesingkat ini jelas buruk. Hutang luar negeri akan jadi makin berat, barang-barang impor akan jadi lebih mahal padahal impor Indonesia termasuk bahan kebutuhan pokok, dan asumsi kurs untuk APBN 2025 adalah 16.000/USD sementara sekarang sudah 16.793 (via xe.com, 13 April 2025). Memang ada faktor luar seperti tarif yang ditetapkan Trump dan perseturuan US-China. Tapi kita bisa lihat lah gimana pemerintah Indonesia merespon, and I'm not optimistic about that. 

Kalau sampai dollar menyentuh 17.000 atau euro mencapai 20.000, itu akan jadi efek psikologis yang besar. Belum lagi ihsg yang tidak stabil dan sempat mengalami trading halt dalam beberapa waktu terakhir karena jatuh terlalu jauh. Lalu orang DPR datang ke BEI dan polisi mau ikut mengawasi pasar modal diharapkan akan membuat kepercayaan investor dan pasar naik? 


Chandra