Melihat Indonesia Dari Jauh


Apa kabar nasionalisme setelah setahun lebih 'melihat Indonesia dari jauh?'. Saya nggak mau ndadik-ndakik dengan bilang "saya makin cinta NKRI setelah tinggal di luar negeri", karena ya nggak gitu-gitu amat. Walaupun sebenarnya tersentuh juga kalau hari-hari ini mendengar lagu berbau nasionalisme, mungkin faktor kangen berperan besar di situ. Heavy rotation saya belakangan ini Bendera-nya Coklat yang anthemic, Kebyar-Kebyar versi Arkarna karena seratus untuk effortnya membawakan lagu berbahasa Indonesia, dan Tanah Airku versi Gitasav & Angklung Hamburg, terasa sekali vibes diasporanya.

Saya pikir orang yang lahir dan besar di suatu negara akan susah untuk benar-benar lepas dari akarnya. Kalaupun ganti paspor, banyak yang karena alasan teknis saja, misalnya biar bebas visa ke banyak negara atau supaya mendapat hak penuh sebagai warga di mana dia tinggal. Untuk kasus Indonesia-Belanda ada juga yang karena pernikahan. Upacara 17an hari ini menunjukkan bahwa bahkan yang sudah puluhan tahun di sini, sangat fasih berbahasa Belanda, dan membawa pasangan bule pun bisa sangat antusias dan khidmat mengikuti jalannya upacara, plus bersemangat menyanyikan medley lagu-lagu patriotik. Get to this later.

Problemnya adalah pandangan bahwa kalau mau mencintai indonesia maka harus pula mendukung pemerintahnya. Padahal bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya itu milik bangsa bukan punya presiden atau kabinet. Memang pendengung sialan, mempropaganda bahwa kalau tidak mendukung atau sepakat dengan pemerintah maka tidak NKRI. Padahal makin kesini makin banyak kebijakan menyebalkan yang dibuat. Saya yang eksposure ke kebijakan-kebijakan itu terbatas saja mangkel apalagi yang terimbas langsung. Padahal ketika bilang NKRI yang dimaksud adalah manusianya, alamnya, budayanya, solidaritas warganya, bahasanya, seninya, makanannya, keberagamannya, kebersamaannya, tawanya, hangatnya.

***

Now that I'm kebetulan lagi standing on 'rumput tetangga' yang katanya lebih hijau, justru muncul kesadaran bahwa rumput tidak selalu untuk dibanding-bandingkan. Seperti warna merah dan biru saja, beda tapi tidak untuk dicari mana yang lebih baik diantara keduanya. Andaikan ada cara untuk bisa meng-copy-paste mentah-mentah manusia dan cara hidupnya dari negara A ke negara B, ini belum tentu works juga. 

Guru geografi kami di SMA dulu pernah bilang, Indonesia susah maju wong duduk aja gembrobyos. Ya iklim dan kondisi geografis adalah salah satu hal yang tidak bisa diubah. Bahwa Indonesia ada di khatulistiwa ya begitulah adanya. Apakah berada di daerah tropis itu keuntungan atau kerugian bisa diperdebatkan, tapi yang jelas cara hidup orang Indonesia pasti beda dengan orang nordic. Iklim memengaruhi bagaimana orang berpakaian, bagaimana membuat bangunan, dan apa yang dimakan. Sandang, pangan, papan, means tiga pilar yang membentuk peradaban. Dalam orde ratusan tahun sudah pasti deviasinya besar. Manusia memang diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.

Kalau bicara kemajuan secara ekonomi dan teknologi juga nggak selamanya konstan kok. Baru beberapa dekade yang lalu US dan Uni Soviet perang bintang, canggih-canggihan menuncurkan manusia ke luar angkasa. Kini Uni Soviet sudah tidak ada, Eropa mungkin akan melambat, justru China yang melaju gila-gilaan. Tentu ini bukan excuse untuk berpangku tangan. Kalau bisa maju, kalau bisa meningkatkan kualitas hidup segera, kenapa tidak. Tapi instead of meniru plek-plekan, mestinya yang dibangun adalah dasarnya: disiplin, kerja keras, dan mau belajar.

Kalau kata Cak Nun, jangan dibandingkan pohon kelapa dengan pohon yang lain. Pohon kelapa ya begitu itu, pohon yang lain ya begitu itu. Belanda super teratur, tapi saking teraturnya ada yang melenceng dikit panggil polisi. Jangankan sound horeg, AC gedung sebelah terlalu berisik karena hari lagi panas saja ada yang kepikiran mau manggil polisi. Maju memang, tapi kaku. Saya sudah kangen ingin liburan ke Indonesia karena kangen fleksibilitas dan spontanitas warganya. 


Hari ini kami ikut upacara detik-detik proklamasi di Den Haag. Kebetulan 17 Agustus tahun ini jatuh di akhir pekan, terakhir sebelum terjadi lagi di 2030. Event ini lumayan menyenangkan buat saya yang terakhir upacara bendera lebih dari 10 tahun yang lalu. Ada sensasi lain yang dirasakan dalam momen-momen seperti ini. Bagaimana menjelaskannya ya, tapi mungkin sama dengan rasa yang membuncah dan solidaritas yang tiba-tiba naik ketika bareng-bareng nonton timnas. Speaking about timnas, di upacara hari ini hadir pula Patrick Kluivert sebagai undangan.


Upacara peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia ini diadakan di Sekolah Indonesia Den Haag. Selain seremoni upacara, ada juga panggung hiburan, lomba anak-anak, dan bazaar makanan. Beberapa brand warung makan Indonesia favorit hadir misalnya Warung Barokah, Warung Padang Lapek, dan Pempek Elhysa. Tidak ketinggalan yang mencuri perhatian tahun ini adalah pendatang baru Sate House Senayan, ekspansi Sate Khas Senayan dari Indonesia. Nyaris semua antri panjang, rasanya upacara tahun ini jauh lebih ramai dari tahun lalu.




80 tahun merdeka adalah angka yang bagus, bulat. Tapi ini juga hanya 20 tahun away dari 100, checkpoint yang di mana mestinya sebuah bangsa dan negara sudah punya capaian yang bisa dibanggakan. Semoga segala permasalahan di tanah air bisa segera diselesaikan, kualitas hidup membaik, dan warga bahagia dan sejahtera. Merdeka!


Chandra


Pace

Lari 2,4 kilo ini walaupun jarak pendek tapi saya rasa layak dirayakan karena akhirnya bisa balik ke pace TPB. Saat itu belum tahu pace, heart rate, dan teori lari lain yang banyak disebut sekarang ini. Tahunya hanya ngejar di bawah 14 menit untuk muter 6x lapangan saraga biar dapat A di mata kuliah olahraga. Dulu masih bisa dapat di bawah 13 menit karena berat badan masih sekitar 55 dan umur juga baru 18. Setelah serangkaian tahun minim olahraga dan sedentary lafestyle, berat badan naik dan olahraga jadi terasa berat, jadi good to be back ke arah yang lebih sehat.



Saya bersyukur ini bisa dibilang minggu yang baik. Setelah pada senin sore untuk pertama kalinya berhasil lari 10k dan ada di pace 7:00, jumatnya nyoba lari 2.4k sudah dapat pace 5:42. Padahal akhir Mei kemarin lari 5k masih di pace 7 lebih. Progres angkanya menyenangkan dilihat, tapi efek yang dirasakan di badan lebih enak lagi: pegel-pegel berkurang, lebih seger, dan mentally lebih kuat ngepush dalam banyak hal. Nggak bisa dipungkiri progres ini didukung udara yang bersih, kelembaban yang rendah, dan temperatur bersahabat. Adanya jalur yang mulus dan taman yang bisa diakses juga sebuah privilege. Makanya dengan segala advantage itu kalau masih malas olahraga memang kebangetan. 



Saya nonton beberapa video tentang lari di YouTube dan ternyata olahraga ini bisa sangat keren ya. Saya baru tahu kalau untuk lari jarak jauh itu ada strateginya. Dulu saya pikir lari ya lari aja, nggak perlu dihitung waktunya, cukup bermodal sepatu biar nggak lecet kakinya. Tapi setelah dengar teori-teori yang banyak itu lari jadi terdengar seperti balapan, hanya saja kendaraannya tubuh dan kaki kita. Saya akhirnya memutuskan beli garmin seken di marktplaats supaya tahu data-data lebih akurat.

Demam lari can't come at a better time. Pas umur masuk 30 pas tiba-tiba semua orang lari dan ngepost strava. Mungkin selain harta yang diinfakkan dan ilmu yang diajarkan, strava yang dibagikan juga adalah sesuatu yang boleh di-hasad-i. Tiba-tiba pelari jadi seleb, diundang di berbagai podcast untuk bicara soal lari. Tiba-tiba event lari ada dimana-mana mulai dari fun run 5k event ulang tahun kabupaten sampai marathon dan ultra marathon skala internasional. Tiba-tiba sepatu yang didesain khusus untuk lari dari berbagai merk naik daun dan laku keras padahal harganya lumayan mahal. Kalau dengan trigger seperti ini tidak juga bisa memacu untuk hidup lebih sehat, lalu trigger apa lagi yang bisa? 

Olahraga lari menemukan tipping point-nya.

Salam,
Chandra

Bayer

Alasan memilih Leverkusen sebagai tujuan short weekend trip kali ini adalah selain jaraknya yang dekat, kota ini juga punya dua sisi yang membuatnya cocok untuk jalan-jalan suami istri. Di satu sisi ada spot-spot foto estetik yang jelas menarik buat perempuan, misalnya Museum Morsbroich ini. Kami tidak masuk ke dalam karena selain pusat estetika museum ini ada di eksterior dan tamannya, kemarin saat ke sana di dalam juga sedang ada acara resepsi pernikahan. 



Selain museum itu, ada juga Japanischer Garten (Japanese Garden) yang adalah sebuah taman dengan konsep replika Jepang lawas. Taman ini dibangun oleh dan berlokasi di komplek Bayer, perusahaan farmasi raksasa yang berpusat di Leverkusen. Bisnis Bayer juga sampai ke Indonesia misalnya dengan produk Redoxon dan CDR-nya. Carl Duisberg, former CEO, sangat terinspirasi dengan budaya dan estetika Jepang sehingga dia membangun taman ini tepat di depan kantor dan HQ Bayer. 


Taman Jepang ini sangat well-designed dan well-built. Rumah-rumahan Jepang yang dari foto saya kira cuma properti ternyata beneran dibangun kokoh dengan ukuran nyaris real-life. Beberapa tanaman dan hiasan juga didatangkan langsung dari Asia Timur. Rumput hijaunya sangat terawat, kali yang mengalir di dalamnya bersih, dan pohon yang tumbuh besar di sana jadi kanopi alami dari panas matahari dan gerimis. Parkirannya besar dan gratis pada weekday setelah 16.30 dan akhir pekan, saya menduga pada working hour tempat ini sekalian dipakai parkir karyawan Bayer.

Bayer di Leverkusen itu seperti Philips di Eindhoven atau Gudang Garam di Kediri, detak jantung kota yang tidak bisa dipisahkan dari lokasi dia berada. Jadi kontribusi Bayer untuk kotanya tentu tidak berhenti di bikin taman tadi. Sumbangsih lain Bayer sekaligus sisi favorit saya dari kota ini: Bayer Leverkusen dan BayArena. Sepak terjang Bayer di dunia sepak bola tidak tanggung-tanggung, logo klub Leverkusen adalah literally logo Bayer.

*Now Playing: UCL song*
De meister
De besten
Les grandes equipe
The Champions


Karena sudah di Leverkusen saya tentu tidak akan melewatkan kesempatan datang ke BayArena, markasnya Bayer Leverkusen. Apalagi hubungan Leverkusen dan Liverpool kini lagi bagus-bagusnya setelah mereka 'ngasih' Wirtz dan Frimpong. Sama seperti banyak stadion lain di Eropa, BayArena tampak menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Tidak ada pagar, buffer zone, dan lima langkah dari stadion sudah langsung rumah penduduk. Dengan mudahnya warga juga bisa nonton sesi latihan walaupun sepertinya ini bukan first team karena saya cari-cari saya nggak lihat Ten Hag. Casually kemarin kami juga jalan papasan dengan tim junior Leverkusen yang baru pulang latihan.

Such a likable city. Kotanya rapi dengan jalan-jalan yang mudah dinavigasi dan pedestrian friendly. Di banyak tempat (stadion, museum, taman) parkiran gampang dicari dan gratis. Untuk mampir salat ada masjid yang sekaligus jadi pertama kalinya kami masuk ke masjid orang Albania. Sorenya hari ditutup dengan yacth-spotting (I don't if this is a thing) di Sungai Rhine.


Danke,
Chandra

Harga-harga Kali Lima


Bulan pertama di Belanda dulu harus diakui terasa cukup berat. Selain berbagai adaptasi yang harus dilakukan, ada juga shock dalam hal cashflow. Sebabnya bekal yang sebelumnya dikumpulkan sebagai rupiah dibelanjakan sebagai euro dan ini membuat segala hal terasa mahal. Dalam pikiran harga-harga selalu dikonversi ke rupiah. Sebotol air mineral jadi terasa 20 ribu, jajan di luar jadi seperti 200 ribu sekali makan.

Setelah lewat bulan pertama situasi jadi lebih masuk akal. Meski begitu, kebiasaan mengonversi harga ke rupiah tetap ada. Keputusan untuk membeli atau tidaknya sesuatu ikut ditentukan mahal tidaknya barang itu jika dilihat harganya dalam rupiah. Misal ada eskrim seharga €2, maka kalau dikalikan kurs menjadi sekitar Rp38.000. Ini masih oke karena di Jogja ada gelato yang harganya 30 ribu. Walaupun sebenarnya perbandingan ini tidak fair karena eskrim €2 tadi belinya di kios eskrim kecil sementara bandingannya adalah Tempo Gelato.

Lama-kelamaan persepsi soal harga ini semakin luntur juga. Saya mulai menerima bahwa kalau harganya segitu ya segitu. Tidak perlu dihitung rupiahnya dan dibandingkan dengan harga di Indonesia. Di saat yang sama saya mendapat insight bahwa dalam soal harga gunakan prinsip kalikan lima.

Jadi untuk mendapat bayangan yang lebih pas soal mahal atau tidaknya suatu barang, daripada dikalikan dengan kurs rupiah lebih baik kalikan 5000. Misal kapsalon ini yang saya beli seharga €7.5 di sebuah kios kebab. Kalau dikalikan kurs rupiah jadinya 140 ribu yang mana nggak masuk akal, itu harga makan di mall menengah atas Jakarta. Tapi kalau dikalikan 5 jadi 37 ribu masih bisa diterima karena 'tingkat kepuasan' yang saya dapatkan dari seporsi kapsalon ini (termasuk tempat, layanan, dan rasa) setara dengan makan di gerai ayam goreng di Indonesia yang harganya makanannya 30 sampai 40 ribu.


Air minum 1.5 liter ini harganya €1.2, dengan prinsip yang sama maka 'harganya' 6000 rupiah, tidak mahal tidak murah, just right. Ini berlaku di hampir semua kebutuhan pokok. Karena faktor teknis seperti distribusi, supply vs demand, aturan harga, dan mekanisme pasar bisa jadi ada produk yang terasa terlalu murah atau terlalu mahal setelah dikalikan 5, tapi secara umum kaidah ini mewakili dengan baik.


Harga seporsi nasi padang di resto padang paling terkenal di Belanda, Waroeng Padang Lapek, adalah €19.5. Ini mahal memang, tapi kalau dikalikan 5 jadi 100 ribu masih on par dengan Pagi Sore. Harga sate kambing di Warung Barokah Amsterdam €11, kalau dinormalkan dengan perhitungan yang sama tidak begitu jauh bedanya dengan Sate Khas Senayan atau Sate Pak Pong. Boba tea di Ming Kee harganya €5 untuk yang besar, kalau dikali lima ini kira-kira sama dengan harga Chatime. Harga indomie goreng sebungkus €0.6, dikali lima jadi 3 ribu.

Selain makanan, kebutuhan primer lain juga bisa ditreatment dengan cara yang sama, misalnya harga sewa apartemen, tagihan listrik, dan harga BBM. Penggunaan listrik kami dalam sebulan sekitar 50-60 euro, kalau dikalikan 5 dapatlah 250-300 ribu, angka yang wajar untuk penggunaan berdua. Harga BBM sekitar €1.85 untuk yang biasa dan €2.2 untuk yang bagus, kalau dikalikan lima mendekati harga pertalite dan pertamax.

Intinya dengan faktor pengali 5 ini, kita bisa membayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapat kualitas hidup yang setara dengan di Indonesia. Give better sense on what is expensive and what is affordable. Ini bisa jadi gambaran untuk orang yang akan bermigrasi ke Eropa. Jika tujuannya adalah negara atau region lain, mungkin konsep yang sama bisa diterapkan dengan faktor pengali yang berbeda. 

Implementasi yang paling praktikal dari ini adalah soal pertimbangan offering gaji. Misal di Indonesia punya gaji 10 juta nett, maka untuk mendapat kenyamanan hidup yang sama paling tidak offer yang didapat ada di range 40-50 juta nett (kurs sebenarnya). Kalau 'hanya' 25 juta rasanys tidak akan secukup 10 juta di Jakarta walaupun secara angka lebih besar. Ini mirip dengan orang yang bertanya, mending gaji 6 juta di Jogja atau 10 juta di Jakarta. 

Itu kalau ngomong satu faktor saja: gaji. Tapi kalau sudah bicara migrasi banyak faktor lain yang juga harus diperhitungkan: keluarga, makanan, bahasa, cuaca, budaya, dan pertimbangan pribadi lainnya. Lalu sebaiknya acuan yang dipakai nett bukan gross karena kalau sudah bicara negara yang berbeda aturan pajak, asuransi, dan pensiun pasti berbeda.

Kegunaan lain dari kaidah ini adalah untuk menjawab kalau ditanya soal harga-harga oleh keluarga atau teman di Indonesia. Pertanyaan 'barang X di sana harganya berapa?' adalah salah satu yang sering muncul. Agak susah buat menjawab mentah-mentah dengan harga yang dikalikan kurs karena jadi terlihat sangat mahal dan nggak make sense bayar segitu untuk barang itu. Saya lebih seneng menjawab secara kualitatif saja dengan mahal/murah/sedang berdasarkan 'rasa' mahalnya ketika membayar, dan ini terbantu dengan kaidah kali lima tadi.

Ada beberapa pengecualian dari aturan ini. Pertama adalah barang-barang yang stoknya melimpah seperti keju, coklat, susu, dan beberapa jenis buah. Karena banyaknya supply, harga keju, coklat, dan susu di sini relatif murah. Bahkan kalau dikalikan kurs sebenarnya pun angkanya masih masuk akal. Produk teknologi juga tidak terimpact karena karakteristik produksinya yang global (chip dari negara A, screen dari negara B, R&D di negara C, produksi massal di negara D). Misalnya IPhone 16 128GB Black di Amac Belanda harganya €839 (16 juta), untuk tipe yang sama harga di Ibox Indonesia adalah 14 juta. 

Terimakasih sudah membaca, ambil baik-baiknya saja.

Chandra

Aerospace By Heart


Ada seorang YouTuber yang video Shorts-nya sering lewat di tempat saya akhir-akhir ini, namanya Max Klymenko. Salah satu kontennya adalah Career Ladder, di mana Max berdiri di atas tangga lipat bersama orang yang dia temui di jalan. Max kemudian melempar beberapa pertanyaan cepat seputar karir dan pekerjaan pada orang itu. Tujuannya dalam waktu 2 menit dia harus bisa menebak apa pekerjaan lawan bicaranya, jika Max gagal si obyek boleh stay misterious atau memberikan jawabannya ke kamera. Mungkin sudah ratusan video seperti ini dia buat di berbagai tempat yang dia kunjungi.

Max sering gagal, tapi sebagai penonton berhasil atau tidaknya dia tidaklah penting, kalaupun gagal kita bisa menunggu jawaban dari narasumbernya. Pekerjaan mereka macam-macam, mulai dari firefighter, public relation, therapist, designer, comedian, chef, event organizer, aktor, politisi, notaris, penulis, dan lain sebagainya. Basically semua profesi yang bisa kita bayangkan, beberapa bahkan baru pertama kali saya dengar. Beberapa pertanyaan yang diajukan Max untuk mengerucutkan jawaban misalnya apakah pekerjaan ini bersifat kreatif, apa kamu menjual barang/jasa, apa kamu bekerja di luar ruangan, apa perlu gelar akademik untuk melakukan pekerjaan itu, sudah berapa lama kamu bekerja di profesi ini, dan lain lain.

Pertanyaan yang juga sering dia lontarkan adalah do yo enjoy your job. Jika orangnya jawab ya maka kemungkinan pekerjaannya bersifat seni atau pelayanan. Tapi jika jawabannya tidak, mungkin lawyer atau software engineer. Pada satu episode ketika obyeknya menjawab yes, Max langsung menyimpulkan 'so it's not software engineer'. Saya setuju, software engineer memang bukan job of passion, sejauh yang saya tahu orang bekerja di bidang ini antara karena itu yang paling dia bisa atau itu kesempatan terbaik yang dia punya. Berapa banyak anak kecil sebelum era digital ini yang punya cita-cita jadi ahli komputer? Nggak banyak saya rasa. Ketika bilang bercita-cita jadi insinyur, yang dibayangkan adalah bekerja di lapangan pakai rompi dan helm proyek bukan duduk depan laptop working from home.

Ini memang salah satu pekerjaan yang cukup dijalani tanpa harus dinikmati. Bayangkan sebuah pekerjaan di mana 'error-nya udah ganti' adalah sebuah prestasi wkwk. Error adalah suatu keniscayaan yang ditemui hari ke hari: syntax error, gateway timeout, invalid input, missing semicolon, class not found, compilation error, bad request, unauthorized, etc. Butuh adaptasi untuk jadi biasa saja dan bisa membedakan mana error yang perlu ditanggapi dan mana yang bisa diabaikan.

That being said, setelah enam tahun secara intens menekuni profesi ini, saya tetep tidak mengatakan pekerjaan ini sesuai passion. Bahwa saya bersyukur atas kesempatan ini, sangat. Sama bersyukurnya dulu pernah kuliah penerbangan. Pesawat terbang tetap punya tempat khusus buat saya. Bukan hanya pesawat sebagai barang, tapi juga sebagai keilmuan. Sesimpel sebagai obrolan, saya lebih tertarik berbincang soal teknologinya Boeing dan Airbus daripada AI dan cloud technology. 

Cara berpikir yang dibentuk dengan belajar teknik penerbangan dulu cocok buat saya. Bagaimana dalam banyak hal optimasi perlu dilakukan dan you can't have it all. Bagaimana dalam merancang sesuatu perlu memikirkan aspek fail-safe. Bahkan pendekatan terhadap fault/error pun saya suka: calculated safety factor dan redundancy. Kadang-kadang saya masih bawa cara pikir ini dalam bidang software dan ternyata belum tentu cocok.

Maka untuk kasus saya ada batas yang jelas antara passion dan profesi. Jadi saya tidak merasa sia-sia kuliah 4 tahun dan sekarang bekerja di bidang lain karena I got to keep it as a hobby. Saya masih suka nontonin pesawat dan planespotting, seneng ada di bandara, gemar mengamati perangkat aero di mobil dan motor balap, masih punya keinginan membangun UAV dan kincir angin, serta takjub melihat besarnya kincir pembangkit listrik skala besar. 

                Planespotting bandara Schiphol

Saya masih ingat dulu di Bandung gedung PTDI tampak keren sekali dilihat dari atas jembatan layang Pasupati. Kalau saya not into penerbangan mungkin tidak segitunya. Tapi karena gemar, saya sering naik motor lewat depannya hanya untuk melihat gedungnya dan hanggarnya dari dekat sekalian planespotting dari dekat runway Bandara Husein Sastranegara. Kini di Belanda alhamdulillah ada kesempatan serupa: mengunjungi kampus Aerospace Engineering-nya TU Delft.

TU Delft adalah salah satu tujuan favorit pemerintah Indonesia menyekolahkan insinyur penerbangannya kala itu sehingga termasuk kampus yang 'dekat'. Dosen-dosen penerbangan banyak yang lulusan sana, di lab ada windtunnel hibah dari Delft kalau saya nggak salah ingat, dan salah satu buku pegangan wajib "Synthesis of Subsonic Airplane Design" ditulis oleh Pak Egbert Torenbeek yang adalah orang Delft. Ibaratnya AE ITB ikut mazhab-nya AE TU Delft. Saat ini juga ada beberapa teman yang sedang kuliah master dan doktoral di sana. 

Jalan-jalan ke kampus ini berasa seperti pilgrim. Bangunannya yang tinggi di antara bangunan lain di sekitarnya mengingatkan saya pada gedung PTDI. Saya tidak bisa masuk karena datang ke sana hari Sabtu, semoga lain kali ada kesempatan datang ketika weekday sehingga bisa masuk setidaknya sampai lobi. Saya lihat ada beberapa barang-barang menarik di dalam. Tapi di luar pun sudah nyaman untuk duduk-duduk, khas suasana kampus yang teduh, tenang, lega, dan terbuka. 


Luchtvaart- en Ruimtevaarttechniek, keren sekali namanya. Kalau di-Bahasa Indonesia-kan jadi Aeronotika dan Astronotika, nama resmi yang dipakai di ITB sebelum diubah jadi Teknik Dirgantara. Tampaknya Aerospace Engineering TU Delft sudah berumur 85 tahun, masa yang panjang dan hampir pasti sudah berkontribusi banyak pada kepakaran dan perkembangan teknologi penerbangan dan antariksa dunia. 




Saya nggak tahu apakah di masa depan akan balik ke bidang penerbangan lagi atau tidak. Tapi saya bersyukur pernah belajar itu sebagai sesuatu yang sangat saya gemari.


Thanks,
Chandra

Elliott Jaques

Kenapa manajer secara umum digaji lebih tinggi daripada karyawan di bawahnya? Tanggung jawab lebih besar, betul. Pekerjaan lebih kompleks, bisa jadi. Tapi bisa juga karena manajer harus tahan stres lebih lama daripada bawahannya.

Ada sebuah konsep menarik yang dikemukakan oleh Pak Elliott Jaques soal Stratum, bahwa level dalam organisasi atau perusahaan itu berbanding lurus dengan discretion time yang dimiliki. Karyawan paling bawah yang mengerjakan tugas harian punya discretion time paling pendek. Posisi ini fokus pada operasional, tugas selesai dalam beberapa jam atau satu hari, dan tidak bawa PR dan beban pikiran saat pulang ke rumah.

Pegawai di atasnya yang memanage beberapa orang dengan sekumpulan tugas punya discretion time lebih lama, mungkin 2 minggu atau 1 bulan, setelah itu dia baru bisa 'panen' hasil kerja timnya dan merasa 'selesai'. Sebelum itu dia berada pada kondisi uncertainty yang harus dia tahan, maka discretion time ini bisa dipandang sebagai seberapa lama seseorang bisa tahan untuk berada dalam ketidakpastian, tekanan, dan stres. 

Seorang manajer harus tahan tekanan setidaknya 3 bulan karena perencanaan dan review hasil kerjanya dilakukan per kuartal. Semakin tinggi jabatan semakin lama pula sesorang harus kuat karena semakin lama hasil kerjanya bisa dilihat. Sebelum sampai di waktu itu mungkin belum ada sesuatu yang bisa dirayakan. Tergantung seberapa besar dan rumit organisasinya, tapi chief mungkin harus tahan 1 tahun, GM 5 tahun, dan Presdir 10 tahun.


Leveling ala Pak Jaques ini baru saya tahu belakangan, tapi berdasar pengalaman beberapa tahun bekerja di lingkungan korporat rasanya teori ini sangat masuk. Ini juga menjawab pertanyaan kenapa bos dibayar lebih besar padahal sepertinya yang dia kerjakan sehari-hari tidak lebih sulit dari tugas kita. Salah satu jawabannya karena he/she needs to handle the pressure (and keep their shit together) for longer dan has bigger questions to answer.

Dengan tahu konsep ini maka kita bisa paham bahwa untuk berkembang kita bukan hanya perlu jadi makin jago tapi juga makin kuat. Selain itu, Stratum ini jadi alasan kenapa pejabat karir deserve more respect daripada yang tahu-tahu di atas. Contoh dan pola stratum ini bisa dilihat di berbagai jenis pekerjaan dan bisnis.

Di sebuah gerai cepat saji, store manager punya discretion time dan durasi stres lebih lama daripada waiter. Waiter secara fisik mungkin lebih lelah, tapi ketika shift-nya berakhir dia bisa beristirahat lebih relaks daripada manager yang kepalanya terus berputar memikirkan operasional hari ke hari, minggu ke minggu, bahkan bulan ke bulan. Atlet klub sepakbola Liga Inggris harus menjaga gaya hidup, makan, dan fisik selama 9 bulan kompetisi nyaris tanpa jeda. Sementara atlet menembak mungkin tidak segitunya, masih bisa disambi bekerja sebagai law enforcement atau dosen (ingat Turkish 'assasin' di Olimpiade Paris).

Dalam berwirausaha pun konsep ini berlaku. Siklus sebuah warung madura tentu berbeda dengan Waroeng Steak yang punya puluhan cabang di berbagai kota. Stres dan pertaruhan dalam mendirikan sebuah bengkel motor di kabupaten tentu beda dengan mendirikan pabrik packaging bermodal 5 milyar di kawasan industri. 

Ada sebuah tes terkenal melibatkan anak-anak yang disebut marshmallow test. Di mana anak-anak dibiarkan sendiri di suatu ruangan dan diletakkan marshmallow di depannya. Dia boleh memakannya tapi kalau dia tahan untuk tidak, dia akan diberi hadiah tambahan satu marshmallow lagi. Ini adalah tes yang terkenal berkaitan dengan delayed gratification.

Hubungannya dengan apa yang dikatakan Pak Jaques adalah semakin tinggi jabatan seseorang, akan semakin jarang dia merasakan 'lega' yang muncul saat menyelesaikan suatu pekerjaan -- karena pekerjaannnya tidak selesai-selesai. Maka dari itulah dia berhak dengan kompensasi lebih. Ibarat peribahasa bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, semakin kompleks dan lama sakitnya, semakin besar pula senangnya.


Salam,
Chandra

Cerita Ganti Oli

Sekedar ganti oli, but make it cool


Ganti oli adalah maintenance paling dasar yang diperlukan sebuah kendaraan. Kalau mau murah dan bersedia kotor-kotoran dikit kita bisa beli oli di online shop lalu diganti sendiri di rumah. Oli bekasnya kemudian ditampung dan dibawa ke bengkel terdekat untuk dititip buang. Alternatif lainnya yang lebih simpel adalah datang ke bengkelnya langsung, biasanya ganti oli selesai dalam 30 menit kalau tidak antre. Biayanya tergantung mobil dan jenis oli yang dipakai, tapi maksimal 500 ribu sudah termasuk filter dan jasa untuk mobil standar.

Sementara di Belanda, nyuci mobil bukan di tempat cuci mobil saja tidak boleh, apalagi ganti oli. Kadang saya susah paham betapa strict-nya beberapa aturan di sini. Argumen tidak boleh cuci mobil di sembarang tempat adalah air sabun sisa cucinya akan terbuang ke tanah atau jalan dan ini dosa karena bisa mencemari jaringan air bersih (air minum). Jadi kalau mau cuci mobil harus di tempat cucian yang punya sistem pembuangan limbah khusus. Beberapa tempat cuci mobil menyediakan opsi bayar tempat saja, nyucinya lakukan sendiri, jadi lebih murah. 

Kalau bekas air sabun saja treatment-nya begitu, apalagi oli yang jelas lebih berbahaya. Kalau ketahuan ganti oli sendiri di tempat umum seseorang bisa kena denda. Denda. Dua tempat yang kemungkinan boleh dipakai adalah garasi pribadi dan pom bensin, itupun prosesnya harus clean. Oli bekasnya tidak boleh dibuang sembarangan, harus dibawa ke milieustraat, semacam recycling center yang ada di setiap kota. Kalau tidak yakin bisa clean, kendaraan sebaiknya di bawa ke bengkel. Sama seperti banyak urusan lainnya, untuk ganti oli di bengkel pun perlu bikin appointment dulu.



Harga 150€ ini adalah quotation paling masuk akal yang saya temukan, ada bengkel yang matok harga di atas 300€. Memang kebanyakan di sini pakai long life oil yang bisa dipakai sampai 10 hingga 15 ribu kilometer, tapi tetap itu harga yang bisa dibilang mahal untuk ganti oli dan filter. Tapi saya tetap datang karena ganti oli rutin adalah cheap insurance, cara memperpanjang umur kendaraan dengan harga lebih terjangkau daripada biaya perbaikan kalau terjadi apa-apa pada komponen mesin. Selain itu motor mobil yang olinya baru terasa lebih enak dan enteng ketika digas.

Saya datang sekitar 5 menit sebelum appointment di hari senin pagi dan langsung masuk ke bagian Receptie. Mobil langsung dibawa ke belakang dan dinaikkan ke jack. Sebenarnya customer tidak boleh masuk ke area bengkel tapi saya colongan lihat dan ambil gambar karena penasaran. Selanjutnya saya duduk di ruang tunggu sambil lihat-lihat beberapa onderdil dan brosur yang ada di sana. 


Prosesnya lebih lama dari yang saya kira karena paket ganti oli ini ternyata termasuk beberapa check-up dasar. Mereka menginfokan poin advice yang perlu saya tahu kalau nanti mau uji berkala tahunan (APK). Fun fact, saat menjelaskan hasil check-up, mereka menggunakan bahasa yang sangat-sangat awam. Kecuali seseorang tampak jelas sebagai auto enthusiast, dia akan dianggap tidak tahu mobil sama sekali di sini. Padahal di Indonesia ganti oli, kampas rem, dan wiper sendiri adalah hal biasa. Seminimal-minimalnya orang kalau datang ke bengkel akan ikut melongok ke kap mesin untuk tahu apa yang dilakukan mekaniknya. Tapi di sini mobil dianggap seperti black box, pengguna tahu pakai saja, hampir mirip sikap orang terhadap handphone.

Overall pengalaman servis mobil pertama di Belanda berjalan baik. Pelayanan mereka memuaskan dan mereka paham bahwa saya belum bisa berbahasa Dutch dengan baik sehingga komunikasi dalam Bahasa Inggris. Bengkel ini akan masuk pertimbangan untuk melakukan major maintenance sekaligus APK sekitar akhir tahun nanti.


Chandra