00:30


Perbedaan yang saya rasakan antara kuliah dan bekerja adalah intensitas versus durasinya. Satu long duration medium intensity, satunya medium duration high intensity. Ketika kuliah dulu saya masih bisa rileks dan pasif mendengarkan saat dosen mengajar. Hadir setor muka sudah cukup asal tidak bikin gaduh atau tidur di kelas. Santai memang, tapi di sisi lain nanti ketika pulang masih ada tumpukan tugas yang menanti dan menuntut untuk dikerjakan sampai begadang. Menurut kampus, 1 SKS ekuivalen dengan 3 jam aktivitas per minggu: 1 jam di kelas, 1 jam tugas, 1 jam belajar mandiri. Jadi jika sebuah mata kuliah berbobot 3 sks, dosen mendesain bebannya sedemikian sehingga kira-kira mahasiswa akan menghabiskan 9 jam di mata kuliah itu dalam seminggu. Maka untuk jumlah SKS standar yang biasa diambil mahasiswa, anggap 20 SKS, teorinya dalam seminggu dia harus belajar selama 60 jam. Ini belum termasuk kegiatan ekstrakurikuler seperti himpunan, unit kegiatan, dan lomba. 

Sementara itu rata-rata orang bekerja 40 jam per minggu. Lebih pendek, tapi stress dan intensitasnya lebih tinggi karena apa yang dikerjakan adalah kasus di dunia nyata bukan simulasi dan soal ujian lagi, plus kita dibayar untuk melakukan itu. Kalau orang dipaksa bekerja dalam intensitas tinggi selama 60 jam+ seminggu seperti orang kuliah maka sangat mungkin dia akan burnout. 

Tapi kalau lembur sekali-sekali saja boleh lah. Se-worklife balance-worklife balance-nya sini kadang masih perlu bedagang untuk membereskan beberapa hal. Butuh push untuk menjalani lembur setelah hari yang panjang dan melelahkan, apalagi di budaya kerja yang tidak didesain untuk mengakomodir lembur,  saat itulah saya berusaha channeling my mahasiswa energy: membayangkan apa yang biasa saya lakukan dulu, dari mana motivasi dan energi saya dapat, what kept me going ketika lelah, dan berpikir kalau dulu bisa kenapa sekarang tidak.

Saya punya kebiasaan beranjak tidur jam 00:30 waktu di Bandung dulu. Ini sweetspot buat saya, jam segitu biasanya kegiatan sudah rampungan atau bisa dianggap cukup, tapi tidak terlalu pagi juga sehingga menyebabkan kurang tidur. Saya tandai kalau tidur jam 01.30, hanya mundur 1 jam dari kebiasaan, paginya badan nggak karuan banget dan recovery-nya butuh setengah hari sendiri. Kebiasaan saya adalah tutup laptop dan buku jam 00:30, gosok gigi dll, nyetel ESPNFC di NET sambil mengaktifkan timer biar TV mati sendiri, lalu mapan tidur. Biasanya saya bisa terlelap dalam 30 menit ditemani analisis para pandit ESPN Indonesia, tapi kalau mblandang ya sampai ke acara Breakout yang dibawakan Boy William dan Sheryl Sheinafia di jam 01:00. Saya nggak terlalu suka acaranya, tapi terlalu tanggung kalau harus bangun lagi karena TV saya tidak ada remote-nya. Paginya salat subuh, cek-cek HP, dan menyiapkan segala yang dibutuhkan hari itu, lalu jalan keluar sarapan nasi kuning.

Malam ini saya lalukan itu, setelah istri tidur saya buka laptop lagi dan bekerja sampai 00:30. Tidak ada yang nyuruh, ini inisiatif sendiri untuk nyicil kerjaan minggu depan. Sangat-sangat tabu bagi orang sini untuk bekerja di malam minggu. Kalau kata buku The Good Enough Job (Simone Stolzoff), ada istilah integrator dan separator. Budaya Indonesia itu integrator, jadi di tengah-tengah jam kerja bisa disusupi aktivitas pribadi seperti ambil rapot anak, perpanjang SIM, dan beberes rumah tapi tidak keberatan untuk mulai kerja lebih awal atau selesai kerja lebih akhir. Sementara Belanda sangat separator, mereka secara tegas memisahkan jam kerja dan jam pribadi. Saya bahkan punya teman yang di jam kerja handphone-nya dimatikan karena tidak ingin terganggu urusan selain kerjaan. Orang sini kalau makan siang jam 1 teng sudah balik meja, nggak molor sampai setengah 2 karena keasyikan ngobrol. Di sisi lain jam 5 waktunya pulang ya pulang. Tenggo adalah budaya, kalau kerja lebih dari itu malah dipandang aneh. Kami-kami anak baru dari Asia dan Amerika Latin culture shock dengan ini.


Saya batasi sampai 00:30 karena saya ingin functioning properly esok hari. Pada akhirnya saya tidur jam 1 lewat sedikit, mirip-mirip dulu. Bedanya sekarang tidak ada ESPNFC dan Breakout, diganti dengan YouTube dan Noice kalau mau ada backsound pengantar tidur. Pagi harinya tidak ada lagi nasi kuning, harus terima roti tawar dikasih blue band dan meses. Tapi Alhamdulillah pagi ini saya punya cukup kesadaran dan waktu untuk menulis ini. Balik lagi karena budaya yang sangat separator, di hari senin sampai jumat sulit buat saya menemukan bandwidth untuk membuat tulisan, maka postingan saya dua bulan terakhir rata-rata di akhir pekan.

Menulis ini mengingatkan pada tempat kami biasa sarapan di Bandung dulu, nasi kuning dan sambalnya enak banget, semoga bapak ibu sehat dan bahagia selalu.



Thanks,
Chandra

Starstruck


Orang bisa starstruck misalnya saat bertemu public figure yang ia ikuti kehidupannya, seniman yang ia sukai karyanya, politisi yang ia dukung sejak lama, penulis yang bukunya ia baca, dan lain sebagainya. Saya barusan starstruck karena ketemu sebuah lukisan.



Padahal seharusnya lukisan ini memancing rasa marah atau minimal gusar. Sebab apa yang digambarkan di sana adalah salah satu momen paling miris dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme, yaitu peristiwa penjebakan Pangeran Diponegoro. Perang yang dipimpin Pangeran Diponegoro adalah salah satu yang paling berat bagi Belanda walaupun secara durasi relatif pendek, hanya 5 tahun dari 1825 sampai 1830. Ini perang yang sangat membangkrutkan sampai-sampai secara tidak langsung menyebabkan Belgia merdeka dari Belanda.

Karena sudah sangat merugikan, Belanda memutuskan untuk menjebak Pangeran Diponegoro dengan cara mengajak melakukan perundingan. Namun licik, saat perundingan sedang berlangsung Pangeran Diponegoro malah ditangkap. Peristiwa itu dipotret melalui lukisan oleh dua orang berbeda, yaitu Nicolaas Pieneman dari Belanda dan Raden Saleh dari Indonesia. Sudut pandangnya tentu berbeda, siapa yang melukis dia yang bercerita. Pada versi Pieneman, ditampilkan seolah Pangeran Diponegoro menyerah pada Belanda. Sementara pada lukisan Raden Saleh ditunjukkan bahwa Pangeran Diponegoro dikhianati dan ditangkap, bentuk fisik orang kulit putihnya sengaja dibuat kurang proporsional sebagai bentuk protes. 

Versi Raden Saleh
Judul: Penangkapan Pangeran Diponegoro (Gevangenname van Prins Diponegoro)
Tahun: 1857
Saat ini disimpan di: Museum Kepresidenan, Yogyakarta, Indonesia

Versi Nicolaas Pieneman
Judul: The Arrest of Diponegoro by Lieutenant General De Kock
Tahun: circa 1830-1835
Saat ini disimpan di: Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda

Peristiwa ini sendiri terjadi pada 28 Maret 1830 di Wisma Residen Kedu di Magelang. Di hari itu pula Pangeran Diponegoro diasingkan, tampak pada lukisan Pieneman Jenderal De Kock menunjuk ke arah kereta yang akan membawa Pangeran Diponegoro ke Semarang, Batavia, Manado, lalu Makassar. Ini berbeda dengan gambaran Raden Saleh dimana digambarkan Pangeran Diponegoro menegakkan kepalanya dan berdiri sejajar dengan De Kock. 

Adanya dua lukisan untuk peristiwa yang sama ini menjadi bahasan di kalangan kritikus seni. Muncul banyak persepsi seperti lukisan Pieneman berlatar siang hari sementara milik Raden Saleh ambigu antara pagi atau petang, mengisyaratkan kolonialisme akan berakhir dan kemerdekaan akan lahir. Lukisan Raden Saleh juga digambar dari sudut bangunan yang berbeda, kemungkinan untuk tidak menampilkan bendera Belanda. Pendukung Pangeran Diponegoro pada lukisan Raden Saleh ada yang menggunakan pakaian bangsawan dan pakaian santri, ini untuk menunjukkan persatuan. Selain itu tentu proporsi tubuh tadi, raut muka, tone warna, dan suasana jadi pembeda dua lukisan di atas.

Beberapa fakta menarik:
- Raden Saleh bertahun-tahun belajar seni di Eropa atas biaya pemerintah Belanda, di sana ia belajar salah satunya dari Nicolaas Pieneman. Jadi kedua seniman ini punya hubungan guru-murid.
- Raden Saleh tidak pernah bertemu Pangeran Diponegoro. Tapi pada lukisannya ia menyisipkan wajahnya menjadi salah satu pengikut Pangeran Diponegoro sebagai tanda bahwa ia berada di pihaknya.
- Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro aslinya adalah ucapan terimakasih Raden Saleh pada raja Belanda atas biaya yang sudah diberikan selama belajar, lukisan itu sempat disimpan di berbagai tempat di Belanda sebelum direpatriasi ke Indonesia pada 1970.
- Lukisan sempat direstorasi pada 2012 karena mengalami kerusakan.
- Lukisan Pieneman awalnya adalah milik keluarga De Kock kemudian didonasikan ke kerajaan Belanda. Dari caption yang ada di museum, diakui bahwa peristiwa itu adalah sebuah 'betrayal'.


Di luar apa yang diceritakan Pieneman melalui lukisannya yang ada di Rijksmuseum, seberapa bagus estetikanya, dan bagaimana museum menampilkannya, mungkin ini adalah titik terdekat yang pernah saya capai dengan sejarah Pangeran Diponegoro. Dan sebagai orang Jawa khususnya Jogja/Mataram, buat saya ini sesuatu. Bukan orangnya, hanya cerita dan peninggalannya sudah cukup membuat starstruck. 

Lukisan ini didisplay di ruangan yang menyimpan barang-barang seputar Dutch East Indies. Di sana ada buku Max Havelaar karya Multatuli, ilustrasi baju bangsawan Jawa, maket pasar tradisional, foto-foto KNIL, lukisan Postweg (Jalan Raya Pos), lukisan pabrik gula di Jawa Tengah, dan beberapa barang dari Suriname, Antilles, dan Jepang.



Lukisan Diponegoro membuat kunjungan ke museum hari ini bukan hanya sekedar hiburan tapi juga pelajaran sejarah. Ruangan yang memajang sejarah kolonialisme ini jadi yang paling lama saya tongkrongi dan paling banyak ambil gambarnya. Padahal ini hanya sebagian kecil dari Rijksmuseum, bagian lain memajang karya seni terutama lukisan dari berbagai abad dan era, mulai 1100-an hingga 1800-an. Ada juga perpustakaan dengan koleksi ribuan buku yang kalau di deskripsinya dituliskan sampai 1 kilometer, mungkin itu kalau bukunya dijejer-jejer. Technically in museum terbaik dan 'termahal' yang pernah saya kunjungi.





Tentang Rijksmuseum, ini adalah salah satu museum yang jadi destinasi wisata favorit di Amsterdam. Orang yang mau datang harus reservasi dulu secara online di rijksmuseum.nl. Ini untuk mengontrol jumlah pengunjung saking banyaknya yang mau masuk. Pemegang museum kaart tidak perlu membayar tiket lagi tapi tetap perlu reservasi. Museum ini berada di kawasan Museumplein, berdekatan dengan Van Gogh Museum (ini juga harus reservasi), Stedelijk Museum, dan Moco Museum. Dari stasiun Amsterdam Centraal pengunjung bisa naik tram dan turun di halte Museumplein atau Rijksmuseum. 



Pieneman sudah, mungkin nggak ya suatu hari lihat lukisan asli versi Raden Saleh?

Chandra

Fall Back


Saya sengaja melek sampai jam 3 pagi di malam minggu kemarin hanya untuk menyaksikan perubahan jam di handphone. Fenomena ini yang pertama untuk saya dan saya tidak berniat melewatkannya.



Di zona Central Europe, setelah waktu menunjukkan 2:59:59, ia berbalik ke 2:00:00. Ini terjadi satu kali dalam setahun saat pergantian musim panas ke musim gugur. Kebalikannya nanti saat pergantian musim dingin ke musim semi jamnya akan maju satu jam. Handphone, laptop, dan perangkat modern lainnya otomatis menyesuaikan tanpa perlu intervensi pengguna. Tapi untuk barang-barang analog seperti jam dinding dan oven tetap perlu, jadi anjurannya 'set your clock one hour back before going bed on saturday'. Saya membayangkan di jaman dulu waktu semua jam masih tradisional pasti ada orang yang lupa mengeset jamnya lalu datang kepagian ke suatu tempat atau acara.


Aktivitas masyarakat tidak terganggu karena perubahan ini terjadi pada semua orang. Semua tetap pada jadwal biasanya, yang bekerja 9 to 5 tetap datang dan pulang di jam yang sama, toko yang tutup jam 6 tetap akan tutup di jam itu, jadwal perjalanan bis dan kereta juga tidak ada perubahan. Justru poinnya adalah 'menggeser' jam kegiatan masyarakat relatif terhadap posisi matahari agar orang tidak perlu keluar rumah kepagian. Ini adalah foto waktu sebelum fall back saya keluar di sekitar jam 7.30. Masih gelap karena syuruq saja belum. Nanti semakin mendekat ke musim dingin malamnya akan lebih panjang lagi yang berarti sunrise-nya makin telat.


Sementara itu karena mengacu pada posisi matahari, waktu salat maju satu jam. Di bawah ini adalah jadwal salat hari sabtu versus minggu sebelum dan sesudah fall back. Jam yang baru ini lumayan mirip dengan jadwal salat di Indonesia, tapi yang paling menyenangkan adalah jam salat dzuhur/jumat yang jatuh di jam istirahat kerja. Kalau mau puasa durasinya juga sudah cukup pendek.



Sekarang selisih waktu Belanda dengan Indonesia bagian barat jadi 6 jam. Yang ngikutin bola mungkin ngeh di saat-saat begini 12.30 kick-off-nya Liga Inggris berubah jam tayang dari jam 18.30 jadi 19.30, sementara Liga Champion jam 3 pagi. Berasa makin jauh saja dari rumah padahal jaraknya tidak berubah. Tapi jujur sebagai first timer perubahan dari GMT+2 ke GMT+1 ini serasa memberikan bonus tambahan jam tidur 1 jam setidaknya di hari-hari awal. 

Overall nyaman, mari sambut perubahan dengan tangan terbuka walaupun rada kademen. There's always first time of everything.

Thanks,
Chandra

What 'Belum Ada Zonasi' Did To You?


Banyak yang bilang, 'andai dulu sudah ada zonasi, tentu saya yang dari kampung ini tidak akan bisa masuk SMP A, SMA A, lalu kuliah di A, sehingga sekarang jadi A'. 

Meskipun saya juga berasal dari daerah pinggiran kabupaten, somehow ini tidak berlaku untuk saya. Walaupun dari SD sampai SMA di sekolah negeri, saya tidak pernah daftar sekolah pakai NEM dan tidak pernah ikut PPDB. Sehingga ada tidaknya zonasi bisa dibilang nggak ngaruh. Jadi begini..

Waktu SD, orang tua mendaftarkan saya ke sekolah dekat rumah sebagaimana umumnya teman-teman sebaya di sana. Sebuah SD negeri sederhana yang oleh tetangga sekolah lebih akrab disebut SD inpres karena dibangun atas Instruksi Presiden jaman Pak Harto. Sekolah ini seperti gambaran yang muncul di kepala kalian kalau mendengar kata SD di desa. Semua yang daftar kesana diterima, 99% diantaranya adalah warga sekitar. Orang-orang tua menyekolahkan anaknya di sana karena dekat dan tidak perlu nyebrang jalan raya. Cuma ada satu teman saya yang rumahnya agak jauh, dia sekolah di situ karena bapaknya guru. 

Waktu itu di desa saya belum ngetren yang namanya menyekolahkan anak ke sekolah favorit di kota kabupaten, top of mind ketika mendaftar SD ya yang dekat rumah. Favorit atau tidak itu urusan belakangan, yang penting si anak bisa bersosialisasi dan punya teman. SD saya ini favorit tingkat kecamatan saja belum, lomba olahraga sering kalah, drumband alatnya kalah mewah, cuma akademik saja yang lumayan menyala di tahun-tahun terakhir sebelum sekolahnya tutup :)

                  Sekolah kami dari street view

Yes, sekolah kami sudah tutup, angkatan saya adalah lulusan terakhirnya. Saya tidak tahu persis sebabnya, setelah gempa 2006 pemerintah banyak melakukan regrouping dan SD kami adalah salah satu 'korbannya'. Suasananya agak sedih dan marah waktu tahu sekolah akan digabung waktu itu karena dalam banyak aspek sekolah ini sedang tumbuh, lagipula tidak ada SD negeri lain yang dekat dari sana. Pada akhirnya gedung sekolah yang kosong itu dipinjam oleh Muhammadiyah untuk dijadikan SD Muh, adik kelas saya yang masih sekolah pindah nyaris semuanya ke SD Muh itu. Cuma ada satu siswa yang ikut diangkut pindah ke sekolah negeri yang baru, fail banget kebijakannya.

Setelah regrouping itu bapak ibu ex-guru dan alumni masih saling kontak, di beberapa kesempatan kami ketemu dalam acara syawalan saat lebaran. Kami dengar bahwa beberapa guru jadi rebutan sekolah-sekolah lain karena dianggap bagus, saya sih tidak heran karena beberapa guru menurut saya memang pintarnya di atas rata-rata. SD kami kalau lomba ekstrakurikuler babak belur karena keterbatasan fasilitas, tapi kalau lomba matematika-IPA not bad.

Kakak kelas saya juara 1 lomba IPA se kabupaten, sekarang dia sedang PPDS di UGM, S1-nya dulu juga masuk kedokteran UGM jalur reguler. Tahun berikutnya saya juara 2 di ajang yang sama. Di angkatan saya, selain saya saat ini banget ada satu orang di Inggris dan satu orang di Jepang. Memang ini bukan standar 'kesuksesan', but still sampai sekarang masih dongkol kenapa sekolah yang punya potensi, melayani warga beberapa desa, dan dapat nilai ujian akhir daerah ranking 1 sekecamatan (orangnya sekarang di Manchester) malah ditutup dan digabung ke SD yang prestasinya lebih di bawah (tapi lebih tua). Bisanya bilang prestasi sekecamatan aja, karena kalau sekabupaten out of question, sebab ada satu kecamatan di pinggiran Bantul juga yang entah kenapa anaknya pinter-pinter, zonasi benefits them karena sekarang SMA di wilayah itu makin bagus, will get to that.

Cukup cerita SD-nya, beranjak ke SMP. Di Jogja ada koran Kedaulatan Rakyat (KR). Rumah kami dulu langganan itu sebelum masuknya kanal berita digital. Suatu hari ibu saya melihat iklan di KR tentang try out yang diselenggarakan SMPN 1 Bantul, sekolah paling favorit di Bantul (saat itu, sekarang masih gak ya). Daftarlah saya jadi salah satu dari 1181 peserta, banyak banget sampai harus pinjam ruang kelas SMA 2 yang ada di depannya. FYI info-info event dan lomba seperti ini sering tidak sampai ke SD saya mungkin karena saking 'jauh'-nya, atau barangkali sampai tapi guru tidak mengumumkan karena khawatir dikira mewajibkan ikut. Saya, berdua teman, pernah hampir ikut lomba matematika Pasiad di Kota Jogja, tapi pas sudah dekat batal berangkat :)

Saya merasa inferior di try out itu karena siapalah saya yang dari SD antah berantah ini. Banyak anak-anak dari SD negeri dan swasta bagus di kota kabupaten, rame-ramean pula. Saya mengerjakan soal tanpa ambisi, orang tua menunggu tidak jauh dari lokasi karena dikira acaranya nggak lama. Setelah selesai peserta menunggu proses koreksi sambil lihat-lihat sekolah bagus itu, lalu sekitar satu jam kemudian kami diminta masuk ke dalam ruangan lagi untuk dibagikan hasilnya. Sebelum mengumumkan panitia meminta saya dan satu anak lagi di ruangan kami untuk pindah ke lab biologi, tapi dia tidak bilang untuk apa. Ternyata ranking 1 sampai 20 dari babak pertama tadi dikumpulkan lagi untuk babak final. Serius saya bahkan tidak tahu kalau try out ini ada finalnya, saya cuma ikut karena mau tahu kesiapan saya untuk ujian akhir (dan mau memastikan pensil 2B saya valid dipakai di LJK). Di babak final ini soalnya essay menjurus olim.

Pada akhirnya di final saya nggak menang, dapat rangking 13. Tapi yang paling penting justru pengumuman yang disampaikan kepala sekolah saat pidato penutupan, beliau bilang bahwa di tahun itu SMPN 1 Bantul membuka kelas RSBI alias Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional angkatan pertama. Saya mendaftar karena why not, pendaftaran dan tesnya dilakukan sebelum PPDB reguler sehingga kalau belum diterima pun nanti bisa daftar jalur normal. Lagi-lagi informasi soal RSBI ini tidak sampai ke SD saya, jadi semua info dicari sendiri. Setelah mendaftar ada tes, bridging course selama 2 minggu (sekolah di SMP padahal belum lulus SD), tes lagi, lalu alhamdulillah diterima. Teman seruangan yang dipanggil ke lab biologi tadi akhirnya jadi teman sekelas saya 3 tahun, classmate paling jenius selama saya sekolah. Di antara 20 finalis tadi juga banyak yang berteman sampai sekarang. 

Itu RSBI pertama dan pelaksanaannya sangat serius. Kelas kami diberi komputer, proyektor, AC, meja kursi baru, dan lain-lain. Aktivitas khusus kelas RSBI juga banyak, ekstrakurikulernya beda, ada lomba dan event khusus sekolah RSBI, niat banget lah saat itu karena targetnya untuk menghapus huruf R sehingga menjadi SBI. Walaupun akhirnya malah program RSBI dihentikan karena dianggap tidak sesuai dengan semangat kesetaraan pendidikan. 

Di jenjang berikutnya saya mendaftar RSBI lagi di SMAN 1 Bantul, walaupun kali ini rasa RSBI-nya sudah pudar karena semua kelas statusnya sama, tidak seperti pas SMP yang mana RSBI hanya 2 kelas berisikan 50-an anak. Meski begitu masuknya tetap dengan tes sehingga lagi-lagi saya tidak perlu ikut PPDB. Saya tidak mendaftar PPDB Kota Jogja untuk mencoba masuk sekolah favorit di sana seperti yang banyak dilakukan anak-anak dari kabupaten. Saya tidak daftar karena jarak yang jauh dari rumah dan ada beberapa sebab lain. Jadilah saya seumur hidup tidak pernah mendaftar sekolah pakai NEM, dan karena itulah andaikata saat itu sudah ada zonasi mungkin tidak ada pengaruhnya anyway.

***

Tentang zonasi, kalau saya lihat perdebatan di Twitter itu selalu bertabrakan antara dua pandangan atau prioritas yang berbeda. Orang yang pro zonasi berpendapat bahwa pendidikan mesti adil dan setara, baik secara kualitas maupun akses. Harapannya setara pada kualitas yang tinggi, kalau belum ya mesti maju bareng jangan sampai timpang antara sekolah bagus dan sekolah belum bagus. Sementara itu yang kontra zonasi mengkhawatirkan bahwa akan ada talent berbakat yang tersia-sia hanya karena faktor lokasi rumah yang mana si anak nyaris tidak punya kuasa atas itu. Kesetaraan dan anak berbakat sama-sama penting untuk negara, itu masalahnya.

Perdebatan zonasi sampai di topik boleh tidaknya ada sekolah favorit baik secara faktual maupun konsep, bagaimana mitigasi banyaknya kasus pindah KK untuk daftar sekolah (ini sudah ada sejak jaman saya masuk SMA karena efek kuota luar kota), penting tidaknya peer-teaching, daya tampung sekolah vs populasi, dan lain sebagainya. Menurut saya zonasi ini bisa bagus. Kata kuncinya bisa yang tercetak miring karena ada banyak syarat yang mengikutinya. 

Pertama persentase jalur masuk harus dikalibrasi secara benar sehingga kuota jalur zonasi, prestasi, dan jalur lain 'imbang'. Imbang tidak berarti harus sama secara angka, yang penting aksesibilitas dan meritokrasi bisa jalan berbarengan. Untuk sampai ke kalibrasi yang tepat memang butuh waktu, jadi sangat mungkin akan ada beberapa angkatan yang 'dikorbankan'. Ini juga mesti diperhatikan sampai level kabupaten kota karena tiap daerah punya karakter yang berbeda. 

Kedua, permainan pindah-pindah KK perlu dihentikan karena percuma regulasi bagus kalau pelaksanaan amburadul dan aturan dipencoloti. Sulit? Iya, karena yang harus diawasi banyak banget. Maka turunkan motivasinya dengan menurunkan persentase zonasi yang sekarang minimal 50%, katakan ubah jadi 30-40%, sehingga dorongan orang untuk pindah KK agar memenuhi syarat zonasi berkurang karena lebih longgar lewat jalur lain. Ini relate dengan poin sebelumnya soal kalibrasi.

Ketiga, konsep sekolah favorit itu nggakpapa, nggak mungkin semua bisa setara apalagi kalau menghitung sekolah swasta. Makanya ada yang namanya akreditasi di mana untuk tiap tier ada standarnya. Pastikan akreditasi ini works: kriteria dibuat dengan benar dengan melibatkan ahli lalu penilaian dilakukan oleh asesor yang kompeten, independen, dibayar dengan baik, dan berani bilang jelek jika memang jelek. Kalau akreditasi benar-benar dijalankan, kita bisa ambil titik 'setara' di saat semua sekolah sudah terakreditasi A misalnya. Selanjutnya jika ada sekolah, guru, siswa yang ingin going extra miles ya silakan itu bagus. Pada jangka panjang kita berharap pendidikan se-Indonesia bisa bagus semua jadi perbedaan antara satu sekolah dengan sekolah lain hanya masalah alamat saja. Sekarang seberapa percaya masyarakat dengan akreditasi ketika kampus abal-abal nggak jelas aja bisa kasih gelar Dr HC?

Keempat, ini wildcard. Saya kepikiran, kan ada kuota jalur prestasi, kenapa yang jalur prestasi ini nggak pakai tes saja tapi semua orang boleh daftar regardless tinggal dimana? Dengan begitu yang masuk benar-benar tersaring, bukan berkat nilai raport yang nggak bisa dibandingkan satu sama lain karena yang ngasih nilai beda sekolah dan beda guru (di-incentivize ngatrol-ngatrol nilai juga). Toh nantinya di saat mau kuliah seleksinya ada yang dengan tes juga. 

***

Membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar, itu kan semangatnya. Lihat hasil UTBK SMA di Bantul tahun 2022 ini:

Traditional fav SMA 1 dan 2 turun, sementara yang lain naik. Tapi tidak ada yang lebih signifikan daripada SMAN 1 Sanden. Sanden ini adalah sebuah kecamatan di selatan Bantul yang saya sebut tadi, mepet pantai dan jauh dari kota, tapi terkenal pendidikannya bagus dan anaknya pinter-pinter. Balik ke soal hasil ujian SD, di kecamatan saya nilai tertingginya 27.27 (max 30.00) yang didapat teman sekelas saya. Sementara itu di Sanden adalah 28.80, ini nilai tertinggi se-Bantul tahun itu. Di tryout yang pesertanya 1100an tadi, ada sebuah SD negeri di Sanden yang 'mengirimkan' 5 siswa, 4 diantaranya masuk final 20 besar, that's BPK Penabur number. Di jenjang SMP, 1 Sanden dan 1 Bantul sudah wheel-to-wheel sejak dulu, kini saat zonasi diterapkan SMA di sana jadi sangat terkerek prestasinya. 

Saya sih berharap semoga di Bantul ekuilibrium antara zonasi dan meritokrasi ini sudah atau segera ketemu, jadi sekolah negeri di semua kecamatan bisa terkerek tanpa menyebabkan kemunduran pada sekolah yang sebelumnya sudah baik. Hasil di atas lumayan menaikkan optimisme karena banyak panah hijaunya. Cherrypicking? Maybe yes maybe no, tapi di 2021 lebih gila lagi, 400 peringkat naik wkwk. 

Sekarang menterinya baru, urusan dikdasmen juga dipisah dari dikti. Katanya menteri yang baru menjabat ini juga dipilih karena kompetensi (eks kepala BSNP) bukan konsesi. Mari berharap sambil tetap memberikan kritik konstruktif agar pendidikan di Indonesia semakin maju, semua orang punya akses pada pendidikan yang berkualitas, dan bakat-bakat dari kota besar maupun desa terpencil bisa terfasilitasi. Saya banyak pakai nilai-nilai eksak akademis di sini karena itu yang datanya paling mudah didapat, tapi bakat bukan cuma itu, ada banyak anak punya potensi di bidang seni, olahraga, leadership, bisnis, dan lain sebagainya yang semuanya adalah calon mutiara yang bisa dipoles.

Because while student is 20% of our population, they are 100% of our future - Prince Ea


Thanks,
Chandra

Visa Belanda



Meskipun punya hubungan sejarah, tidak lantas membuat orang dari Indonesia mendapat kemudahan untuk masuk ke Belanda. Pemegang paspor Indonesia tetap harus memiliki visa untuk berkunjung, apalagi jika akan menetap. 

Dalam hal orang-orang yang datang untuk bekerja, proses pencarian visa dan ijin tinggal bisa berbeda-beda. Ini sangat tergantung bagaimana orang tersebut memulai bekerja di Belanda. Saya sendiri kemarin direkrut lewat sebuah recruiting agency yang bersedia memberikan sponsor dan mengurus visa kerja serta ijin tinggal. Dalam kasus lain ada orang yang sudah kuliah di sini lalu lanjut bekerja. Ada juga orang yang datang dulu ke Eropa, dapat visa kerja, baru mencari pekerjaannya. Banyak jalan menuju Roma.

Waktu itu dalam kasus saya, setelah melalui serangkaian interview dan offering selayaknya proses melamar kerja di Indonesia, saya diminta untuk mengirimkan beberapa data dan dokumen, diantaranya:

Untuk diri saya:
1. Data pribadi: first name, surname, tanggal lahir, status perkawinan, alamat, no HP, etc
2. Scan paspor
3. Foto diri
4. Akta lahir dalam bahasa Inggris
5. Antecedent form, form pernyataan bahwa tidak pernah terlibat tindak kriminal atau tinggal secara ilegal

Untuk istri:
1. Data pribadi: first name, surname, tanggal lahir, status perkawinan, alamat, no HP, etc
2. Scan paspor
3. Sponsorship form, menyatakan bahwa dia berada dalam tanggungan saya
4. Akta lahir dalam bahasa Inggris 
5. Antecedent form
6. Buku nikah dalam bahasa Inggris

Jika sudah ada anak, maka dokumen berupa akta lahir, form sponsorship, dan paspor juga akan diminta. Untuk akta lahir dan buku nikah harus dalam bahasa inggris (minimal bilingual) dan di-apostille. Silakan cek apakah dokumen Anda sudah bilingual Indonesia-Inggris atau belum, jika sudah maka good to go tinggal di-apostille saja. Jika belum silakan cari penerjemah tersumpah atau untuk akta lahir bisa cetak ulang akta terbaru di dukcapil. Selanjutnya untuk proses apostille saya tuliskan secara lengkapnya di sini: Apostille

Setelah saya kirimkan data dan dokumen di atas, recruiting agency ini membuatkan kontrak resmi untuk signing, di sana tercantum data pribadi dan paspor saya sebagai ID. Karena sebelumnya saya sudah diberikan summary kontraknya, maka saat signing ya tinggal tanda tangan saja. Setelah itu dengan kontrak yang sudah di-sign, form-form imigrasi, akta lahir, dan buku nikah, rekruiter ini memulai pengajuan visa kami. Sejujurnya saya tidak tahu bagaimana persisnya pengajuan ini karena semuanya diurus oleh mereka. Mereka hanya bilang untuk menunggu selama beberapa minggu sampai approval keluar. Selama menunggu ya tidak ada hal-hal administratif yang dilakukan, paling nyicil browsing apartemen dan mengurus resign dari kantor lama.

Beberapa minggu kemudian approval dari IND (Instansi Imigrasi Belanda) keluar. Selanjutnya kami dibuatkan appointment untuk datang ke Kedubes Belanda di Jakarta serta memberikan list dokumen yang harus dibawa:

- MVV form yang sudah diisi
- 2 lembar pas foto 3.5 x 4.5 standar visa Belanda
- Surat dari IND
- Paspor asli dan copy, minimal valid sampai 6 bulan ke depan dan punya setidaknya 3 halaman kosong
- Buku nikah

Studio foto biasanya sudah paham dengan kriteria foto visa tiap-tiap negara, jadi cukup menyebutkan negara tujuannya apa mereka sudah tahu standarnya. Kami kemarin foto di Indah Foto Studio Pamulang, tapi cetaknya di Bona Foto Lebak Bulus. Kenapa foto dan cetaknya di tempat yang berbeda, panjang ceritanya. Alhamdulillah pas foto diterima dengan baik.

                      Bona Foto, recommended

Pada hari appointment kami datang ke Kedubes Belanda di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Saya menyarankan jika ada keperluan ke sana mending pakai taksi saja karena tidak ada parkiran kendaraan umum. The last thing you want to worry about when applying for a visa is your parkir motor/mobil. Pintu masuk kedubesnya via Jalan Besakih (samping) bukan Rasuna Said-nya, dan tentu well guarded. Kami datang agak kepagian jadi sebelum masuk makan mie ayam dulu di trotoar samping kedutaan.

Setelah melalui pemeriksaan badan dan barang bawaan, security menunjukkan jalan kemana kami harus menuju. Saya tidak bisa banyak cerita seperti apa di dalam apalagi mengambil foto, for security reason. Tapi proses di sana lumayan singkat, sekitar 15 menit saja per orang, ada beberapa pertanyaan dan pengambilan biometrik. Paspor asli ditinggal karena nantinya akan ditempeli stiker MVV (ijin masuk Belanda). Kami diberikan receipt untuk nantinya mengambil paspor yang selesai diproses pada tanggal yang sudah ditentukan, tanpa perlu membuat appointment lagi. 

Pemandangan dari ruang tunggu Kedubes Belanda di Jakarta, bagian ini masih boleh difoto



Pada hari pengambilan kami datang lagi ke tempat yang sama. Alhamdulillah paspor sudah berstiker MVV yang artinya kami punya ijin masuk ke Belanda sampai 90 hari ke depan. Ibaratnya pintu terbuka selama 90 hari, tapi jika dalam waktu segitu belum berangkat juga maka harus mengulang proses pengajuannya. Setelah itu kami mampir dulu ke Erasmus Huis, sebuah perpustakaan yang ada di dalam komplek kedubes Belanda, sekedar untuk blow off steam karena proses ini lebih menegangkan aslinya daripada kedengarannya.

Untuk setiap proses saya selalu report ke perusahaan, supaya mereka tahu sudah sampai mana. Bukan hanya urusan administrasi tapi juga akomodasi seperti apartemen, tiket pesawat, hotel transit, dan jemputan bandara. Kami diskusi tanggal berapa sebaiknya kami datang ke Belanda, akhirnya diputuskan berangkat beberapa hari sebelum mulai bekerja. Untuk apartemen saya dapat short term place yang saya huni selama 3 bulan di Nijmegen (sekarang sudah pindah). Penerbangannya kami pilih Emirates karena transit di Dubai dan harganya termasuk murah. Beberapa komponen moving cost ditanggung perusahaan, jadi dalam waktu menunggu berangkat ini kami juga men-settle beberapa expense. Selain itu saya juga lanjut mengurus resign dan yang paling seru adalah menjual barang-barang mulai dari raket badminton, sepatu roda, kasur, meja kursi, lemari, kulkas, sampai kendaraan. 

Pada hari H kami berangkat dari Bandara Soekarno Hatta diantar keluarga. Kami tidak pulang ke Jogja dulu, jadi orang tua yang datang ke Jakarta. Penerbangan dari Jakarta ke Dubai menggunakan Boeing 777, lalu dari Dubai ke Amsterdam naik Airbus 380. Sebagai penghobi penerbangan, sulit mendeskripsikan kekaguman pada 2 pesawat raksasa ini, engineering marvel. Belum lagi sistem entertainment yang lengkap dan makanan yang enak. Semua itu untuk harga yang lebih murah dibanding banyak maskapai lain.

                        A380 dan suguhannya


Kami tiba di Schiphol Amsterdam sekitar jam 1 siang waktu Belanda. Proses immigration check-nya agak lama, mungkin karena musim orang liburan. Setelah keluar bandara kami sudah dipesankan taksi oleh perusahaan yang akan mengantar kami ke hotel. Kami tidak langsung ke Nijmegen karena perlu mengambil resident permit dulu di suatu Kota. Sampai di hotel kami langsung check in dan ketemu salah satu orang dari pihak rekruiter. Dia menyerahkan kartu untuk naik transportasi umum dan ada beberapa paperwork yang perlu saya bubuhkan tanda tangan basah. 

                     Pagi pertama di Belanda


Keesokan harinya kami sudah dibuatkan appointment untuk datang ke kantor pemerintah untuk mengambil residence permit. Bentuknya seperti KTP, menjelaskan siapa kami dan untuk alasan apa kami masuk dan tinggal di Belanda. Setelah data-data dan paspor dicek, kartu diberikan ke kami. Apakah dengan begitu urusan kependudukan selesai? Oh tentu saja belum.

Ada appointment berikutnya dengan Gemeente Nijmegen, kurang lebih untuk mendaftarkan diri sebagai warga baru. Kami datang membawa paspor, permit, akta english yang sudah diapostille, dan buku nikah yang juga sudah diapostille. Urusan-urusan kependudukan di sini kebanyakan appointment-based dan sudah ditentukan waktunya sampai per 15 menit, jadi tidak perlu antri lama karena tinggal datang di waktu yang sudah ditentukan. Beberapa hari setelah appointment ini, kami mendapat surat berisi konfirmasi bahwa kami sudah terdaftar dan informasi nomor BSN. 

             Tipikal loket di kantor layanan publik

BSN ini seperti NIK yang nantinya diperlukan untuk membuka rekening bank, mengambil asuransi, dan lain sebagainya. Jadi setelah mendapatkannya saya segera membuka rekening bank 'besar' supaya bisa dipakai gajian sejak bulan pertama. BSN ini juga saya informasikan ke perusahaan karena diperlukan untuk urusan pajak dan lain-lain. Selanjutnya saya juga subscribe asuransi untuk saya dan istri karena ini sifatnya wajib untuk seluruh penduduk. Untungnya di Nijmegen ini tempat yang kami huni sudah full furnished dan full utility sehingga saya tidak perlu buru-buru beli barang-barang dan mengurus tagihan listrik, air, pajak kota, dan internet/TV. 

Appointment selanjutnya adalah untuk tes TBC. Jadi pendatang dari negara-negara yang masih beresiko TBC perlu menjalani screening di Belanda dalam kurun waktu 3 bulan sejak kedatangan. Untuk yang ini saya buat appointment sendiri, bukan seperti appointment-appointment sebelumnya yang dibuatkan oleh perusahaan. Tes TBC dilakukan di GGD, semacam dinas kesehatannya lah. Saya membuat janji dengan GGD Gelderland Zuid di Nijmegen. Untuk orang dewasa metodenya bisa milih antara rontgen atau tes darah. Kami pilih tes darah karena cukup dilakukan 1 kali, sementara jika rontgen besok setelah 6 bulan harus balik lagi. Alhamdulillah hasil tes kami negatif.

Kini kami sudah tidak tinggal di Nijmegen lagi. Dalam proses pindah ini ada urusan dengan Gemeente lagi tapi kali ini bisa online (ada sebuah aplikasi/sistem bernama DigId yang memfasilitasi berbagai macam urusan kependudukan secara online, sangat convenient). Proses ini intinya melaporkan bahwa kita pindah dari alamat lama ke alamat baru. Urusan ini relatif mudah dan cepat, yang lebih menguras tenaga dan waktu justru proses menyiapkan tempat tinggal. Tempat baru yang lebih permanen ini dideliver secara semi-furnished, sudah ada kamar mandi dan dapur yang fungsional tapi perabot lain belum ada. Jadi kami harus membeli beberapa furnitur, pasang internet, dan register account untuk utility. Masih ada urusan yang pending tapi itu bisa nanti, berat juga kalau semua mau diurus bersamaan.

Itu tadi proses yang kami lalui sejauh ini dalam rangka masuk ke Belanda, secara legal tentunya. Balik lagi ke disclaimer di atas, beda kondisi bisa beda pula alurnya. Beda waktu juga bisa membuat alur pengurusan jadi berbeda karena perubahan kebijakan dan regulasi. Ada banyak orang menulis ceritanya masing-masing, ini salah satu yang saya baca waktu itu : Suka Duka Mendapatkan Long Stay Visa. Silakan dicompile dari berbagai sumber, InsyaAllah terbantu.

Beberapa detail dalam perjalanan saya sengaja saya samarkan untuk alasan privacy dan security, tapi kalau saya ditanya langsung dengan senang hati akan coba saya jawab. Semoga bermanfaat.

Thanks
Chandra



#visa #belanda #mvv #longstay #residencepermit #nijmegen #GGD #kedubesbelandajakarta #gemeente #BSN #recruting #netherlands



Fiets Gazelle


Saya sudah mendengar bahwa ada banyak kemiripan kata dari bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia atau Jawa, tapi saya tidak menyangka ada bidang-bidang tertentu yang kemiripannya bukan main. 

Saya kemarin lewat sebuah kawasan berisi beberapa bengkel dan pusat suku cadang mobil. Dari situ saya tahu asbabun nuzul kita di Indonesia menyebut bagian yang berputar dari kendaraan itu ban dan velg. Dalam bahasa Inggris mereka disebutnya tyre dan rims, namun dalam bahasa Belanda ternyata namanya band (banden) dan velg (velgen). Bukan hanya itu, sebutan rem itu juga Dutch, bahkan penulisannya sama, sementara per (pegas) itu dari kata veer. Istilah onderdil juga berasal dari kata onderdeel, sedangkan reting (lampu sein) mirip dengan richting dalam Dutch yang artinya arah. 


Pernah dengar orang-orang tua nyebut kata 'atret' yang artinya memundurkan mobil? Nah dalam bahasa Belanda sebutannya achteruit. Masih banyak yang lain, persneling dari versnelling (dalam English gear), kopling dari koppeling (dalam English clutch), rem tromol dari trommelrem (dalam English drum brake). Bengkel mungkin terinspirasi dari winkel, walaupun winkel punya arti lebih luas sebagai shop. Larangan lewat suatu jalan biasa disebut verboden, itu mentah-mentah copy dari bahasa Belanda. Jalan itu sendiri bahasa sininya weg, makanya di Jogja ada tempat namanya Kewek, itu berasal dari Kerkweg, yang artinya jalan menuju gereja (kerk), mungkin maksudnya yang di Kotabaru. Banyaknya kesamaan ini membuat saya menduga pertukaran budaya banyak terjadi waktu orang dulu berurusan tentang kendaraan dan transportasi. 

Tempat lain di mana banyak kesamaan adalah tempat-tempat di mana terjadi urusan ekonomi. Kita menyebut kantor itu serapan dari kantoor, makelar berasal dari makelaar, dan maskapai dari maatschappij. Tiga kata itu jauh sekali dari kata office, broker, dan carrier, maka tidak mungkin diambil dari English, pasti Dutch. Bicara soal harga, gratis dan korting itu tulisannya plek ketiplek dalam bahasa Belanda. Membeli secara tunai disebutnya contant (jadi kontan), dan bukti pembelian di toko namanya bon. Bapak saya kalau bilang tanda tangan masih teken, dalam Dutch sebutannya handtekening. Sama halnya ketika menyebut menelepon sebagai ngebel, bel berarti call di sini.



Saya dulu merasa heran mendengar istilah paklaring, tidak terdengar seperti kata dalam bahasa Indonesia ataupun Inggris, ternyata itu berasal dari kata bahasa Belanda verklaring yang artinya surat keterangan. Dalam perbankan ada istilah inkaso (collection), itu berasal dari incasso. Sementara itu rekening ditulis serupa dalam bahasa Indonesia dan Belanda.

Banyaknya kesamaan ini entah kenapa melemparkan pikiran saya pada sebuah pasar tradisional dekat rumah. Terutama pada deretan bapak-bapak dan pakde-pakde yang menjual perkakas lanang seperti onderdil sepeda, motor, senter, lampu, dan lain sebagainya yang memanjang di kanan kiri jalan sampai ratusan meter dari pasar. Lalu ada seorang mbah kakung yang datang melihat-lihat dengan menaiki fiets Gazelle-nya.


Salam,
Chandra

Sumber gambar dari google, oleh pemilik usaha masing-masing (Zaanse Banden Centrum dan Makelaar Bert)

Firasat



Bicara soal liga sepakbola di Eropa, top of mind-nya tentu saja Liga Inggris dan Italia, mungkin ditambah Spanyol. Setelah itu baru Belanda dan Jerman yang punya beberapa tim besar seperti Bayern Munich dan Ajax Amsterdam. Tapi buat saya entah bagaimana Liga Belanda justru lebih nempel dibanding yang lain, hanya kalah dengan Liga Inggris yang memang saya ikuti tiap minggunya. Jaman-jamannya PS1, PS2, PES 2013 dulu kalau mau coba main pakai tim 'medioker' saya sering pilih PSV Eindhoven dengan ujung tombaknya Jefferson Farfan, inget banget. Dari situ saya tahu hubungan Phillips dengan PSV, walaupun saya belum tahu Eindhoven itu dimana tepatnya. 

Nama Amsterdam dan Den Haag saya tahu dari buku pelajaran IPS, tapi kota-kota lain seperti (NEC) Nijmegen, (Feyenoord) Rotterdam, (Vitesse) Arnhem, (NAC) Breda, (VVV) Venlo, (AZ) Alkmaar, (RKC) Waalwijk, (FC) Groningen, dan (FC) Twente, sampai (FC) Volendam ya saya dapatnya dari bola. Tahun lalu saat Volendam masih di Eredivisie saya sempat nonton siaran langsung pertandingannya di TV. Kok ya ndilalah TVRI Sport beli hak siar Liga Belanda jadi bisa ditonton dari TV Indonesia, ini ada fotonya:


Kemarin saya harus memutuskan mau pasang internet pakai provider apa. Nggak sulit bagi saya untuk memutuskan subscribe ke Ziggo karena itu satu-satunya provider yang pernah saya dengar namanya, lagi-lagi dari bola. Ziggo saat ini jadi sponsor Ajax, sementara joint venture-nya Vodafone semua orang juga tahu pernah pasang logo di jersey MU. KPN dan Odido bisa jadi bagus juga, tapi buat saya belum familiar saja karena baru saya dengar saat di sini. 

Ini mungkin bukti suksesnya marketing Ziggo atau sayanya saja yang gampang kemakan iklan. Tapi lebih dalam ya sepertinya memang jodohnya dengan Ziggo. Katanya keberuntungan itu adalah bertemunya persiapan dan kesempatan. Nggak nyangka ternyata jam-jam main PES dan nonton bola saat itu bisa di-log sebagai 'persiapan' kini setelah kesempatan relokasi ini datang. Sebab dengan begitu urusan per-wifi-an yang sangat krusial dalam perkara remote working ini jadi lebih mudah dibereskan. 


Keakraban saya dengan sepakbola Belanda ini cuma salah satu dari beberapa 'firasat' yang baru saya sadari sekarang. Dua tahun terakhir saya suka ngobrol soal peninggalan masa kolonial di Indonesia, kebetulan ada teman yang punya interest yang sama. Topiknya mulai dari jembatan tua, bekas pabrik gula, rel kereta, stasiun, bekas landhuis, dan lain sebagainya. Di YouTube ada video TEDx soal Stasiun Radio Malabar di Bandung selatan yang keren banget, ini salah satu video yang saya tonton berulang-ulang sejak dulu. Di Instagram juga ada akun mfatoni86 yang mengunggah situs-situs peninggalan Belanda dan keadaannya sekarang serta rizki.rmadhani yang membahas tempat-tempat di Jabodetabek dan asal usulnya yang kalau dirunut banyak berhubungan dengan masa kolonial. 



Saya juga sempat melakukan sedikit eksplorasi soal lukisan Pangeran Diponegoro setelah nonton film Mencuri Raden Saleh. Ternyata lukisan itu ada 2 versi, versi pertama adalah karya Raden Saleh dimana orang-orang Belanda-nya dilukis secara *redacted*. Lalu versi lainnya dilukis oleh Nicolaas Pieneman yang tentu saja mengambil POV Belanda. Topik-topik seperti ini entah kenapa menjadi minat saya beberapa waktu terakhir padahal saat itu sama sekali belum ada bayangan akan pindah kesini. 

Saya ternganga lebar waktu menemukan bahwa jembatan kereta bekas Belanda pada video mfatoni86 di atas hanya berjarak 150 meter dari kantor imigrasi Wonosobo. Yang mana itu adalah kantor imigrasi satu-satunya di sekitar DIY yang memungkinkan saya untuk membuat paspor untuk ke Belanda di hari pertama setelah libur lebaran. I can't believe my eyes waktu melewati terowongan itu. Ya Allah..




Waktu sampai sini makin banyak easter egg yang saya temui. Take out-nya sih saya pikir ya memang harus begitu jalannya kali ya. Setelah enam tahun di Bandung terasa cukup lalu pindah ke Jakarta. Lalu lima tahun setelahnya sudah selesai yang ingin dilakukan di Jakarta lalu pindah ke Belanda. Saya masih antara percaya tidak percaya dengan firasat. Tapi saya lebih yakin bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan. Kadang saya memalingkan muka ketika di jalan melihat sebuah klinik, karena saya tidak ingin tahu klinik ada di mana, karena saya tidak ingin sakit. Ini karena saking seringnya ketemu momen 'oh yang dulu itu gunanya ini'.

Kenapa mendaftar beberapa beasiswa dan gagal semua.  Kenapa T&ES tutup dan CommBank merger.  Kenapa (baru) kebeli mobil di 2 tahun usia pernikahan. Kenapa harus ke Jakarta dulu. Kenapa harus ngekos di Ciledug dulu. Kenapa ketemu orang-orang tertentu. Kenapa pergi ke tempat-tempat tertentu. Kenapa memilih ini bukan itu. Kenapa harus dapat masalah dulu. Kenapa harus kena humbling dulu. Kenapa harus A dulu, lalu B, baru C. At the end it falls in perfect fit.

Elingo sliramu marang embun enjang kang prasaja
Nemoni sliramu tumekaning cahya
Ingatkah engkau kepada angin yang berhembus mesra
Yang 'kan membelaimu, cinta 


Thanks
Chandra

The Rookie


Serial The Rookie bercerita tentang John Nolan, mantan pekerja konstruksi yang pindah ke Los Angeles untuk menjadi polisi pada usia 40 tahun. Tentu dia harus menghadapi berbagai macam tantangan dan pandangan skeptis dari banyak orang sepanjang hari-harinya. Serial ini bergenre crime comedy, jenis yang memang saya gemari karena menghadirkan thrill sekaligus fun secara bersamaan. Kalau Anda suka series sejenis White Collar, Suits, Castle, atau Only Murder In The Building, kemungkinan Anda juga bisa suka The Rookie. 


Saya bisa kasih The Rookie nilai 8 dari 10, masih belum bisa mengalahkan all-time favourite saya White Collar, yang sayangnya tidak bisa ditonton di Netflix NL. Mungkin di Disney bisa seperti di Indonesia, tapi saya tidak lagi berlangganan. Meskipun tampil baik, menurut saya lebih keren penampilan Nathan Fillion di Castle karena perannya lebih menonjol, di The Rookie perannya sebagai John Nolan agak terdilusi oleh banyaknya pemain lain. Tapi di luar itu The Rookie adalah tontonan yang menyenangkan, terutama kombinasi karakter Tim Bradford dan Lucy Chen. The Rookie masih berlanjut, kabarnya season 7 akan meluncur 2025 nanti.

Saya menemukan The Rookie kepasan dengan kondisi saya yang kini balik lagi menjadi rookie. Pasalnya dalam pindah ke sini yang berubah bukan hanya pekerjaan, tapi nyaris hidup secara keseluruhan. Saat pindah kerja di Jakarta dulu antara kantor lama dan baru hanya beda dua halte bis. Sementara kini yang berubah ya banyak sekali. Bukan berarti komplain, merugilah saya kalau kufur nikmat dengan semua perubahan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir sejak November tahun lalu (mungkin akan saya tulis lain waktu). Tapi kalau kata Seurieus, 'kadang kurasa lelah, harus tampil sempurna, ingin ku teriakkaaan...'

Saya masih dalam proses mendalami posisi saya dalam pekerjaan. Karena meskipun core teknologinya sama dengan yang pernah saya garap di Jakarta, tapi practice-nya berbeda. Ini wajar karena bidang industri dan customer-nya juga lain. Pekerjaan yang bisa diselesaikan orang lama dalam 4 jam, mungkin baru bisa saya bereskan dalam 6 atau 8 jam. Jadinya level work life balance untuk saya belum bisa seenak orang sini, kadang-kadang masih begadang atas inisiatif sendiri demi baca atau mempelajari sesuatu. Banyak yang perlu dikejar, learning curve apalah itu. Ah tapi ya it is what it is lah, orang Asia sudah terbiasa dipaksa lembur. 

Di saat bersamaan, sehari-hari saya berusaha untuk menyerap informasi sebanyak dan secepat yang saya bisa demi adaptasi yang lebih lancar. Saya mengusahakan banyak jalan untuk tahu berbagai what-where: franchise supermarket beserta plus minusnya, stasiun + halte + jalur kereta dan bis, toko bahan makanan asia/halal dan restoran Indonesia, rumah sakit dan klinik, taman + tempat olahraga + hiburan, toko furniture baru/bekas, dan lain sebagainya. Hal-hal yang sifatnya administratif juga banyak yang perlu ditangani: housing, registrasi di municipality, rekening bank, asuransi, listrik, air, internet, tes TBC, berbagai macam subscription, pajak, dll sampai banyak sekali tab yang terbuka di browser laptop saya. Sudah berusaha seteliti mungkin pun tetap ada yang kelewat dan berakhir bingung sendiri, beruntung ada beberapa orang yang dengan sedang hati ditanya banyak hal.

Saya berusaha reach out ke banyak orang. Satu persatu saya terhubung kembali dengan teman sekolah atau kuliah yang kini ada di Belanda atau Eropa. Orang yang sebelumnya nyaris tak terhubung juga jadi mudah untuk connect di LinkedIn atau saling follow di Instagram karena sama-sama di sini. Banyak juga kenalan baru yang saya dapat karena tampaknya kenalan lebih mudah kalau sama-sama jauh dari rumah. Nggak tahu apakah akan berurusan dalam waktu dekat, tapi simpen aja dulu. Dunbar Number menyatakan kita cuma bisa 'berteman' secara optimal dengan 150 orang. Pindah ke sini membuat kuota Dunbar saya punya banyak slot kosong.

Wish me luck & Bismillah.

Chandra


Maulid dan Islamophobia



Tahun lalu kami berkesempatan menghadiri peringatan maulid nabi yang agak 'berbeda'. Saat itu di Jakarta ada acara maulid bersama Habib Husein Ja'far, Bhante Dhira, Band Kotak, dan komika Yusril Fahriza. Acaranya bukan di masjid tapi di Balai Sarbini, tempat yang biasa dipakai untuk pertunjukkan musik. Tahun ini alhamdulillah kami bisa datang ke acara maulid nabi yang juga unik. Tempat acaranya di Masjid Indonesia di Amsterdam, dengan salah satu agendanya yaitu talkshow bersama seorang mantan kader partai sayap kanan Belanda yang convert menjadi seorang mualaf padahal dulunya anti-Islam.



Minggu, 22 September 2024
Selain di Den Haag, ada masjid Indonesia juga di Amsterdam. Lokasinya agak minggir sih, lebih dekat dengan bandara Schiphol. Jujur secara akses agak lebih susah dibandingkan dengan yang di Den Haag, halte bis terdekat jaraknya 800 meter, itupun hanya 1 nomor bis yang lewat situ. Tapi demi melihat postingan PPME Amsterdam soal peringatan maulid nabi hari ini, kami niatkan untuk datang ke sana. 

Enaknya kalau datang saat ada acara begini adalah ada banyaknya orang Indonesia di sana. Apalagi di acara ini panitia mengadakan bazaar makanan dan minuman. Sebuah kesempatan yang baik untuk nyetok makanan Indonesia yang pas di lidah dan pastinya halal. Kami beli bakso seplastik isi satu kilo dan sekotak dendeng. Selain itu ada jajan pasar, es cendol, ayam geprek, bubur, dan lain sebagainya. Panitia memasang tenda tambahan di depan masjid untuk bazaar ini.



Sementara itu di dalam masjid acara peringatan maulid nabi berlangsung. Ada shalawatan yang disambung salat dzuhur berjamaah dipimpin K.H. Hambali Maksum, sesepuh NU Belanda. Lalu setelah itu ada sambutan dari Bapak Duta Besar RI untuk Belanda, Bapak Mayerfas,. yang pada intinya mengucapkan selamat dan terimakasih telah diundang, serta menyampaikan bahwa KBRI siap membantu segala kebutuhan masyarakat Indonesia di Belanda. Menariknya beliau bilang bahwa KBRI tidak memandang paspor, selama dalam hatinya Indonesia maka tetap akan dilayani jika datang pada KBRI. Memang di masjid tadi banyak orang yang sudah lama tinggal di sini hingga beranak-pinak dan sangat fasih berbahasa Belanda, maka bukan tidak mungkin paspornya juga sudah ganti.



Acara berikutnya adalah talkshow yang menghadirkan Bapak Joram van Klaveren. Awalnya saya pikir beliau adalah seorang ustadz lokal. Ternyata saya salah, beliau adalah mualaf yang masuk Islam pada 2016 lalu. Yang menarik bukan mualafnya tapi siapa dia sebelumnya dan kenapa berganti keyakinan. Joram van Klaveren adalah mantan anggota parlemen Belanda dan sosok penting dari partai PVV, partai sayap kanan (far right) yang sangat anti migran dan anti Islam. Konversinya ke Islam mengagetkan banyak pihak termasuk pimpinan PVV Geert Wilders sendiri. Ini menarik karena dia menjadi mualaf justru karena melakukan penelitian untuk buku anti-Islam yang sedang dia tulis. 

Maka tema maulid hari ini nyambung dengan apa yang baru kemarin siang kami bicarakan bersama Fazlur, istrinya, dan Ernest (baik sekali Fazlur mengajak kami makan siang di apartemennya). PVV adalah partai pemenang pemilu Belanda dan mereka tegas sekali dengan ideologinya untuk membatasi migran, termasuk pekerja dan mahasiswa, dan melakukan de-Islamisasi di Belanda. Kemenangan mereka menghadirkan rasa was-was di kalangan migran muslim. Tapi ternyata tentangan atas kebijakan mereka justru datang dari internal kalangan sendiri, terutama dari pelaku bisnis.

Peter Wennink, CEO ASML, dalam sebuah kesempatan menunjukkan kemarahannya dan berkata "If we can't get the people here, then we'll go to Eastern Europe, Asia, or the US. Then we'll go there". Wennink marah pada pemerintah yang ingin membatasi populasi migran. Pasalnya 60% karyawan ASML adalah pekerja asing. Mahasiswa internasional yang belajar di Eindhoven juga banyak yang lanjut bekerja di sana. Jika ASML kesulitan mendapatkan talent, mereka mengancam untuk pindah ke luar Belanda.

Wennink berani mengeluarkan ancaman ini karena ia punya posisi yang kuat. ASML bukan perusahaan kemarin sore, secara sejarah mereka terkait dengan Philips, raksasa elektronik dunia. Kini ASML adalah perusahaan dengan market cap terbesar di Belanda, jauh di atas pesaing terdekatnya. Jumlah karyawannya di Belanda saja lebih dari 20 ribu orang, dengan total di seluruh dunia lebih dari 40 ribu. Bayangkan jika perusahaan sebesar ini cabut, berapa banyak uang yang hilang. Kekuatan tawar ASML ini menjadikan pemerintah tidak bisa sekonyong-konyong mengeluarkan kebijakan ekstrem untuk memangkas jumlah migran. In the end it's all about business.


Kembali ke acara maulid nabi. Menurut saya ini boss move dari panitia untuk menghadirkan ex-PVV sebagai pembicara. Obrolan yang dibawakan jadi sangat dekat dengan suasana batin migran-muslim saat ini. Selain mengulas cerita dibalik convert-nya Pak Joram, juga dibahas apa sih yang bisa dilakukan komunitas muslim agar punya bargaining power yang lebih kuat. Menurut Pak Joram umat muslim di Belanda perlu untuk memformalkan kelompok dan gerakannya. Kalau sudah berupa badan resmi maka komunikasi dengan pemerintah dan stakeholder lain akan jadi lebih mudah. Saat ini komunitas agama besar lain sudah punya lembaga lobi, hanya muslim yang belum. Dengan jumlah muslim yang mencapai satu juta orang, sebagiannya berpendidikan tinggi, dan ada kekuatan modal, mestinya lembaga seperti ini bisa diwujudkan.


Saya datang ke Amsterdam hari ini tanpa ekspektasi apa-apa, tapi ternyata malah mendapat suguhan diskusi bermutu. Tambah menyenangkan karena di sana ketemu banyak orang Indonesia termasuk beberapa yang sudah kenal sebelumnya. Saya nggak menyangka bisa ada crossover antara maulid nabi dan PVV. Mungkin ini pertama kalinya saya bersinggungan dengan Islamophobia yang sebenarnya, membuat jadi teringat film 99 Cahaya di Langit Eropa. 

Dua tahun ini saya mendapat pengalaman maulid yang tidak biasa. Padahal kalau meminjam kalimat Habib Husein tahun lalu bahwa acara maulid di Balai Sarbini itu bertujuan salah satunya memberikan pengalaman maulid yang berbeda bagi yang belum terbiasa bermaulid, nah saya termasuk dalam golongan yang belum terbiasa ini. Jadi ya, saya bersyukur.

Saat menulis ini saya mendapat kabar bahwa Sabtu depan akan ada acara serupa di Masjid Indonesia di Den Haag, datang lagi kali ya?

Salam,
Chandra