CEO minta maaf


Dua minggu terakhir sektor transportasi Belanda sedang tidak baik-baik saja. Tidak tercapainya kesepakatan antara Nederlandse Spoorwegen (KAI-nya Belanda) dengan serikat pekerja terkait gaji dan kesejahteraan memicu terjadinya strike alias mogok kerja para karyawan kereta api. Akibatnya ada beberapa hari di mana kereta tidak beroperasi di seluruh atau sebagian wilayah Belanda. Situasi ini menjadi sorotan dan headline media karena kereta adalah salah satu moda transportasi paling penting di negara ini. Karena strike terus berulang dan sampai saat ini belum jelas kapan akan tercapai kesepakatan, CEO NS sampai mengirim email permohonan maaf langsung ke email pelanggan, berikut emailnya:

***

Dear traveler,

We don't often speak to each other one-on-one. Nevertheless, I think it is important to make myself heard now. After all, you are the most important reason why we at NS do what we do: keeping the Netherlands sustainably accessible for everyone.

That is also exactly why I am so annoyed that today you are having to deal with the consequences of a strike on the railways for the fourth time. I would like to offer you my apologies for that. It is a nuisance that you do not deserve.

The strikes are the result of stalled collective labor agreement negotiations between unions and NS. Although of great importance to our company, these negotiations are ultimately an internal conflict in which you have no part. Partly because of this, I find it annoying that on a day like today you do not get what you may expect from NS.

My colleagues take care of your train journey. A cheerful announcement on the train, good service at the station: it makes a world of difference. Other colleagues ensure behind the scenes that you can take your train; for example by creating a timetable or work schedule or tinkering with the trains.

All those colleagues deserve a good reward. That is also an investment in the future of your journey. At the same time, we also want to continue investing in beautiful stations, new and clean trains and keeping our tickets affordable. Things that you as a traveller can also benefit from.

The financial possibilities for our company - with five years of losses in a row and no profit this year either - are limited. We have to get our balance sheet in order like any other company, NS cannot structurally spend more money than it has.

What now? NS had not yet negotiated. Unfortunately, negotiations are difficult if not everyone shows up at the table. That is why we will now make the unions a so-called final offer and ask them to present it to their members. The floor is then up to them.

Unfortunately, I cannot promise that the strikes will end quickly with this step. I do hope that the unions and NS will still find a solution quickly. In your interest, that of my colleagues and for the future of NS.

Yours sincerely,

Wouter Koolmees
President and CEO of NS

***

Seorang kolega kedatangan keluarganya dari Kolombia pada Jumat 6 Juni kemarin. Namun hanya beberapa hari sebelumnya NS mengumumkan bahwa akan terjadi mogok kerja di seluruh Belanda tepat pada hari itu. Biasanya mogok kerja terjadi sektoral di provinsi tertentu saja, tapi kali ini strike meliputi pusat kontrol NS di Utrecht sehingga NS sama sekali tidak bisa beroperasi. Akibatnya teman ini terpaksa menyewa mobil untuk menjemput ke Schiphol. 

Perjalanan jarak dekat bisa digantikan bis atau kereta lokal non-NS (tersedia untuk rute tertentu saja), tapi mogoknya NS benar-benar merepotkan orang yang perlu pergi antar kota. Akibatnya terjadi kemacetan di highway karena lebih banyak orang memilih bawa mobil. Bahkan jalur sepeda pun jadi lebih semrawut karena commuter jarak dekat/sedang banyak yang pakai sepeda hari itu. Situasi ini tidak ideal dan sudah terjadi empat kali dalam dua minggu terakhir. 

Beda dengan KAI di Indonesia yang selain mencari profit juga punya fungsi pelayanan pada masyaratakat, NS bisnisnya lebih swasta. Maka pemerintah seperti tidak punya kontrol penuh atasnya. Tapi di sisi lain isu ini menunjukkan bahwa NS punya serikat pekerja yang kuat dan solid sampai bisa head-to-head selama berminggu-minggu dengan perusahaan sebesar ini. 

Kini negosiasi masih terus berjalan dan NS sudah memberikan tawaran terakhir pada union. Para pekerja selanjutnya akan voting untuk menentukan apakah mereka akan menerima tawaran itu. Entah apa yang terjadi kalau mereka menolak tapi untuk sementara belum ada rencana untuk mogok lagi. Statement dari CEO NS di atas juga jadi penjelasan yang ditunggu para customer untuk meredakan spekulasi. Inisiatif untuk mengirim email adalah keputusan PR yang baik, instead of hanya pasang ucapan maaf di instagram official perusahaan.


Setidaknya take away dari ini adalah bahwa negara yang biasanya tampak beres apa-apanya ini sebenarnya juga punya masalah di belakangnya. Begitu ngikuti berita politik dan ekonomi, akan terlihat morat maritnya sebuah negara. Belum lama sebelum ini terjadi pecah koalisi pemerintahan karena isu kebijakan suaka. Geert Wilders mundur dan akan ada pemilu pada Oktober nanti. 





Billing Lumba-Lumba



Siapa ingat xfile-enigma dan terselubung? Ya, itu adalah salah dua blog yang populer di awal era internet masuk secara masif ke Indonesia. Dulu informasi di internet dari yang sifatnya profesional sampai entertainment mayoritas masih berbasis tulisan karena internet cepat belum tersebar secara merata. Sekarang model tersebut sudah usang digantikan konten berbasis video dan mungkin pada waktunya nanti AI. Dulu kalau mau cari berita teraktual top of mind-nya detik.com. Namanya detik seolah-olah mereka mengeluarkan update baru setiap detiknya, sungguh brilian. Kini mencari tahu jauh lebih mudah, dengan memasukkan kata kunci di media sosial sudah keluar semua pembahasan soal sesuatu.

Dulu istilahnya berselancar karena untuk bisa berinternet kita butuh usaha ekstra. Minimal harus menyalakan komputer dan modem, kalau belum ada koneksi intenet di rumah maka harus pergi ke warnet. Beda dengan sekarang di mana kita 24/7 terhubung ke internet lewat smartphone, dulu ada waktunya kita online dan offline. Ketika offline kita benar-benar terputus dari dunia maya, no update, no notif, no nothing. Ingat dulu di facebook chat ada penunjuk siapa saja teman yang sedang online? 

Ada excitement ketika pulang sekolah masuk bilik warnet, klik aplikasi billing lumba-lumba, login FB, lalu melihat semua notif yang masuk selama kita offline: chat, wall-to-wall, friend request, ulang tahun, poke/colek. Ada kebiasaan add orang-orang yang sama sekali tidak dikenal karena sebuah kebanggaan lebih kalau punya banyak teman di FB. Facebook sempat jadi bagian dari lifestyle, lebih heboh daripada medsos-medsos pendahulunya. Tergantung kapan kamu lahir, mungkin kamu sempat mengalami eranya myspace atau minimal friendster :)


Dulu twitter DIY banget dengan format RT-RT-nya yang khas itu. Kini retweet sudah rapi, tapi siapa yang tidak kangen masa-masa itu? Banyak yang terjadi sejak saat itu: twitter sempat redup karena kalah dengan instagram, lalu ramai lagi, dibeli Elon Musk, sampai namanya berubah jadi X. Kini tidak ada lagi aplikasi pihak ketiga yang dipakai mengakses X layaknya ubersocial dan writelonger dulu. Signature 'twitter for blackberry' juga sudah tidak ada lagi. Yang tersisa dari era lama twitter tinggal twit-twit kocak dan fun jaman dulu yang masih muncul kalau di-search.

Kalau kamu ketik handler twitter di search bar, yang akan muncul adalah twit-twit lama pre-2015 karena di jaman itu masih butuh handler untuk retweet dan mention, twit modern tidak lagi setelah adanya fitur reply dan quote. Serius, kalau kamu punya waktu luang cobalah, time capsule. Kita punya teknologi yang lebih canggih tapi tidak lagi punya keberanian ngepost seperti dulu. Siapapun kamu sekarang, twit 2012-mu gak bisa bohong.

Mengerjakan tugas sekolah dan kuliah tidak semudah sekarang. ChatGPT dan kawan-kawannya jelas belum ada. Referensi benar-benar harus baca dan tidak boleh dari wikipedia apalagi mencantumkan 'google' sebagai sumber. Handphone belum sesupport sekarang untuk bekerja jadi kebanyakan urusan harus dari laptop atau komputer yang tidak di setiap saat tersedia. Banyak urusan masih paper-based sehingga harus menyisihkan waktu untuk ngeprint dan semacamnya. Kalau berurusan dengan bahasa asing mesti cermat karena terjemahan google translate masih sering ngaco.

Saat streaming service belum sebagus sekarang, orang ke warnet untuk nyetok film. Musik masih didengar secara offline dalam format MP3, belum ada perdebatan mana yang suaranya lebih bening antara Apple Music dan Spotify, bisa mendengar lagu di handphone saja sudah sebuah kemewahan. Kalau butuh liriknya perlu install MiniLyrics atau browsing di google lalu ketemu blog warna-warni dengan teks lompat-lompat. Akui saja, seminimal-minimalnya kamu pernah pakai Wordart di Word dan animasi gerak-gerak di Powerpoint.

Sekarang berbagi file dengan orang lain semudah mengirimnya via WhatsApp, dulu pakai flashdisk karena orang belum terbiasa dengan email. Kalau sial bisa tular-tularan virus wkwk. Sekarang anak-anak bisa bergaya kirim-kiriman file via airdrop, dulu bisa pakai bluetooth saja sebuah kemawahan, sebagian anak muda mesti settle dengan infrared yang kalau geser dikit koneksinya putus.

Kita beruntung jadi bagian dari generasi ini karena mungkin jadi yang paling nyemplung ke teknologi. Generasi sebelum kita besar sebelum ada komputer dan internet. Sementara generasi sesudah kita lahir ketika teknologi sudah terlalu advanced sehingga tidak perlu dioprek lagi. Jaman itu struggle-nya riil, tapi kalau ada cara untuk bisa mencicipi itu lagi, sign me up. Internet boom terasa seperti baru kemarin, padahal itu sudah 10-15 tahun yang lalu. Teknologi berubah, manusianya lebih lagi. Apa ingatanmu soal masa-masa itu?

Now playing: "Dear God, the only thing I ask of you is to hold her when I'm not around, when I much too far away"

Chandra

Paris Happens


Sejak melangkah keluar dari stasiun kereta bawah tanah Champ de Mars, semua mata langsung tertuju ke atas menyaksikan betapa besar dan garangnya Eiffel Tower. Tempat ini adalah keajaiban dunia nomor dua yang saya kunjungi setelah Candi Borobudur di Magelang. Borobudur juga sebuah struktur yang besar, bedanya candi itu mengesankan nuansa kalem dan dingin, sementara Eiffel tampak sangar dan progresif. Bentuk dan material besinya menjadikannya punya kesan modern dan masih relevan dengan jaman. Eiffel jauh lebih mengesankan ketika disaksikan secara langsung. 



Eiffel bisa dinikmati dengan menaikinya lalu memandang semua yang ada di bawah, bisa juga dilihat dari kejauhan dari arah Trocadero. Di bawahnya ada hamparan rumput hijau yang nyaman untuk piknik dan berfoto. Sebagian orang yang mementingkan dokumentasi sengaja bolak-balik naik Metro jalur 6 supaya bisa memvideokannya secara dramatis sambil jalan. Eiffel adalah landmark yang bisa dinikmati dengan berbagai macam cara. 

Dari apa yang saya lihat kemarin, tidak heran kalau Paris jadi salah satu kota tujuan wisata terfavorit dunia. Eiffel itu baru salah satunya, masih ada Musee du Louvre, Arc de Triomphe, Seine River, Grande Mosquee de Paris, dan Montmartre. Pelancong dari berbagai negara, ras, dan bahasa berbaur di sana. Ada yang solo traveling, datang bersama keluarga, maupun dalam rombongan besar dengan pemandu wisata. Sejak pindah ke sini, Paris jadi salah satu bucket list yang prioritas dikunjungi. Namanya terlalu besar untuk diabaikan ketika jaraknya kini hanya beberapa jam perjalanan. Sebagai penggemar tetralogi Laskar Pelangi, kesempatan mengunjungi Paris jelas sesuatu yang tidak ingin saya lewatkan.


Sebuah pengalaman menarik di Paris Grand Mosque. Masjid ini free entry untuk muslim yang akan menjalankan ibadah salat tapi juga dibuka untuk visitor dengan membayar tiket masuk 3€. Sekitar 75% area masjid bisa diakses oleh pengunjung umum, hanya area salat yang tidak boleh. Tempat salatnya punya beberapa pintu besar yang terbuka dan terlihat dari luar sehingga orang-orang salat sambil dilihat para turis. Saya pikir ini inisiatif yang bagus untuk menunjukkan ademnya Islam ke masyarakat Perancis di tengah Islamophobia yang lumayan tinggi.


Arc de Triomphe berdiri di tengah persimpangan Charles de Gaule dan menjadi penanda kawasan belanja mewah Avenue de Champ-Elysees. Arc de Triomphe-nya sendiri tidak semengagumkan itu jika dibandingkan Eiffel kalau saya bilang, tapi kawasan di sekitarnya menawarkan pengalaman iconic walk yang sayang jika dilewatkan. Paris sebagai kota mode dan fashion terasa di sini.



Musee de Louvre dengan prisma-nya yang ikonik sudah barang tentu wajib dikunjungi. Kalau mau bisa sekalian book tiket untuk masuk ke dalamnya menyaksikan koleksi karya seni yang ada di sana, salah satunya yang paling terkenal adalah lukisan Monalisa. Waktu terbaik untuk mengunjungi Louvre ini adalah di waktu pagi atau sore ketika matahari tidak sedang terlalu terik dan di luar musim liburan sehingga tidak terlalu ramai.

Sungai Seine membentuk busur setengah lingkaran mengelilingi kota Paris dan hampir di semua titiknya cantik. Kalau nyore di sembarang pinggiran kali saja sudah asik, apalagi kalau kalinya adalah Seine. Di kanan kirinya banyak bangunan tua bersejarah yang sangat komikal. Kapal wisata dan pesiar sungai hilir mudik di aliran sungai ini. Jembatannya dibangun bukan sekedar untuk bisa dilewati orang tapi juga dipikirkan dengan matang estetikanya. Dari jembatan-jembatan ini kita bisa bertegur sapa dengan orang-orang yang melintas dengan kapal di bawah. Mungkin ada ratusan spot berbeda untuk menikmati Seine, jadi dimanapun berada melipirlah kesana dan hampir pasti ketemu tempat yang menarik.


Secara umum Paris kota yang cantik, ratusan bahkan mungkin ribuan cafe dan restoran estetik berjejer di sepanjang jalan. Bangunan lawas tersebar di area yang luas bukan hanya di pusat kotanya saja. Third space ala Eropa-nya tersebar dimana-mana. Untuk kota sebesar dan seramai ini, kualitas air dan udaranya cukup bagus. Matter of fact, perlu stiker khusus pada kendaraan yang mau masuk ke kota Paris untuk mengontrol emisinya.

Sistem transportasi dalam kotanya mencakup moda kereta, metro, tram, bis, hingga taksi yang memungkinkan menjangkau seluruh sudut kota. Tidak butuh waktu lama untuk memahami cara kerja transportasi umum di sana. Hanya saja ketika sampai di Paris harus membeli kartu khusus (navigo) dulu untuk masuk transportasi umum karena tidak bisa pakai kartu bank seperti di Belanda. Meski begitu topup bisa dilakukan lewat handphone, 1-day pass harganya 12€ sudah bisa dipakai untuk keliling kota tanpa batas sehari penuh (kecuali arah bandara, bis wisata, dan taksi).

Kami datang ke Paris dengan sedikit waswas karena kabar yang bilang bahwa di sana banyak copet, homeless, dan scammer. Scammer benar ada dan kami ketemu langsung, mereka minta tandatangan seolah untuk mendukung sebuah gerakan non profit tapi endingnya minta uang. Homeless dan beggars juga ada walaupun tidak sebanyak yang kami bayangkan sebelumnya. Tapi dalam hal keamanan alhamdulillah kami pulang tanpa kehilangan dan kekurangan suatu apapun. Beberapa sudut kota gelap dan pesing, masih lebih baik Belanda dan Indonesia (ada benefitnya jadi negara mayoritas muslim karena orang-orangnya lebih bersih). Beberapa stasiun dan kereta bawah tanahnya tampak usang dan tua, kalau saya lihat mereka lebih mementingkan headway yang singkat daripada comfort.


Kami punya limitasi dalam menikmati Paris karena tidak bisa sembarang masuk pesan makanan dan minum wine di cafe-cafe-nya seperti yang dilakukan wisatawan-wisatawan barat. Kami mengandalkan cemilan supermarket, buah, dan kebab shop untuk mengisi tenaga yang habis dipakai untuk melangkah lebih dari 16 ribu langkah sehari. Setelah bosan dengan kentang goreng dan kebab, baru di hari ketiga kami makan nasi dan mie goreng hangat dari warung Thai halal. Paris bukan yang paling muslim friendly dalam hal kuliner. 

Perancis dikenal sebagai negara Eropa paling tidak bisa berbahasa Inggris. Bahkan di Paris pun kami sering menemui kesulitan dalam berkomunikasi. Pengalaman ikut les bahasa Perancis level paling basic sedikit membantu untuk sekedar nyebut bilangan angka atau mengucap terimakasih, tapi itu jelas tidak cukup. 


Apakah akan kembali lagi ke Paris? Mungkin. Empat hari di sana terasa belum cukup. Tadinya saya mau juduli tulisan ini Tiba Tiba Paris tapi nggak jadi karena terlalu Vindes. Kadang saya mikir karena apa bisa ada di sini sehingga Paris hanya sepelemparan batu. Laa kuwwata illa billah..


Chandra

Eet Smakelijk!


Tidak perlu terlalu banyak berkata-kata, cuma mau taruh foto-foto makan siang ala Belanda. Gimana rasanya adaptasi dari universe nasi padang, soto, dan bakmi ke roti, salad, dan keju?


Surprisingly saya cocok dengan sopnya, rasanya gurih hangat dan teksturnya kental, biasanya isinya asparagus, prei, atau ui. Untuk keju yang paling cocok adalah varian jong belegen karena empuk dan rasanya ringan. 

Kadang saya ambil tortilla dan/atau roti tawar. Biasanya orang-orang membikinnya jadi sandwich dengan diisi daging, tapi karena saya menghindari perhewanan jadi biasanya cuma saya isi keju dan sayur. 

Saya juga ambil satu bun roti yang nantinya diolesi mentega, andalan dari dulu kalau sarapan di hotel. Telur rebus dan pisang biasa saya ambil untuk dikantongi biar nanti bisa dimakan ketika lapar. Minumnya jus jeruk atau ladang-kadang infused water.

Soal rasa memang butuh adaptasi tapi lama-lama lidah cocok juga. Justru yang agak ribet adalah cara makan. Sebagai orang yang biasa makan ngadep tumpukan nasi dan lauk di atas piring dan makan dengan sendok, makan model seperti ini jujur agak ribet.

Tidak setiap hari saya makan seperti ini karena tidak tiap hari pula WFO dan kalaupun di kantor kadang-kadang makan siangnya bawa bekal. Tapi inilah salah satu realita yang harus diterima tanpa menjadi kagetan: cara makan ala barat, tidak bisa asal makan daging, dan tidak ada rasa pedas.


Eet smakelijk,
Chandra

Menjadi Imigran


Secara umum orang Belanda tidaklah rasis, mereka justru termasuk toleran dan ramah. Tapi housing crisis dan naiknya biaya hidup mau tidak mau meningkatkan tekanan di masyarakat. Ditambah dengan ulah beberapa oknum imigran, persepsi orang Belanda terhadap pendatang tidak sedang dalam tren positif.


Populasi sebuah negara naik itu biasa bahkan perlu. Tapi ada beda antara naik karena angka kelahiran dan naik karena imigran. Lahirnya 1 juta anak-anak beda dengan datangnya 1 juta orang dewasa baru dalam kaitannya dengan housing, lapangan kerja, dan hubungan sosial. Masuknya banyak imigran ke Belanda ini di satu sisi diperlukan karena negara ini perlu lebih banyak orang untuk menggerakkan ekonominya, tapi di sisi lain dampak sosial yang ditimbulkan kadang tidak sesuai yang diharapkan dan sulit dikendalikan.

Orang-orang Eropa timur banyak datang untuk bekerja. Secara umum mereka disambut baik karena mau mengerjakan hard labour yang dihindari para dutchies. Pendatang dari Polandia misalnya, mereka terkenal banyak bekerja di pergudangan dan ekspedisi. Banyaknya jumlah mereka membuat toko-toko Polandia yang menjual barang-barang impor dari Eropa timur tersebar dimana-mana, on par dengan toko Asia/oriental.

Sementara pendatang dari Asia Timur dan Tenggara, meskipun secara looks sangat berbeda dengan orang lokal, mereka tidak banyak tingkah, willing to integrate, sopan, dan restoran-restorannya dikenal enak sehingga jarang dianggap masalah. Kelompok ini juga datang dengan tujuan yang jelas seperti belajar atau bekerja. Mereka juga secara umum tidak terlalu menancapkan akar di sini, artinya punya rencana untuk setelah sekian tahun akan keluar dari Belanda, entah kembali ke negara asal atau pindah ke negara lain. 

Khusus untuk Indonesia, orang Belanda seperti punya soft spot karena hubungan sejarah dan banyaknya orang Indonesia yang menikah dengan locals. Bahkan menurut agency statistika pemerintah Belanda, Indonesia dikategorikan sebagai 'westeners' bersama orang-orang dari Eropa, US, Australia, NZ, dan Jepang. Posisi Indonesia semakin unik karena semua itu terjadi di tengah fakta bahwa mayoritas pendatangnya culturally atau nominally Muslim. This brings us to the next point.

Paham sekuler mulai berkembang di Belanda sejak tahun 1960an. Kini agama semakin ditinggalkan dan dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Merry Christmas diganti dengan Happy Holiday, Sinterklas bukanlah Santa Claus, minggu bukan lagi hari yang sakral, dan gereja-gereja semakin sepi bahkan kosong. Orang Belanda bukan meninggalkan kekristenan, tapi meninggalkan agama secara umum. Maka ketika banyak migran dari negara muslim datang, membentuk komunitas, membangun masjid, dan menjalankan agamanya, mereka tidak 100% disambut hangat, I'll put it that way.

Inilah kenapa migran dari MENA (Middle East & North Africa) tidak seberterima migran dari Eropa Timur dan Asia. Selain faktor propaganda media barat soal dunia Islam, pendatang dari MENA ini memang lebih ekspresif dalam beragama jika dibandingkan migran Indonesia atau Malaysia. Mereka membangun tempat ibadah yang besar dan kelihatan bahwa itu masjid, lalu menjadikan lingkungannya terlihat terlalu Arabic/Turkish. Banyak diantara mereka yang pindah kesini memang untuk menetap dan membentuk keluarga besar. As a muslim mungkin tidak masalah, tapi kalau dilihat dari kacamata warga lokal wajar kalau mereka merasa risih.

Belum lagi oknum-oknum seperti 'arab kids on fatbike' menjadikan kelompok ini overrepresented dalam pemberitaan-pemberitaan negatif. Bahkan ketika banyak dari imigran MENA ini bisa berbahasa Belanda dan lebih terintegrasi, itu tampak tidak terlalu menolong di tengah kondisi masyarakat yang capek sebab biaya hidup yang makin tinggi dan housing yang makin susah dicari. 

Melihat imigran dari sudut pandang locals, wajar jika mereka terganggu dengan influx yang tak terkendali. Apalagi jika para pendatang ini membawa dan menunjukkan warna hidup yang berbeda dan mencolok. Saya membayangkan jika sedang makan di sebuah restoran di Jakarta lalu tidak ada satupun dari pelayannya yang bisa bicara bahasa Indonesia tentu menyebalkan sekali. Itulah yang juga dirasakan dan ditakutkan orang Belanda asli ketika harus menggunakan bahasa Inggris untuk keperluan sehari-hari karena lawan bicaranya belum bisa Dutch. Meskipun mereka terkenal sangat fasih berbahasa Inggris, tapi hassle-hassle kecil seperti ini akan tetap terasa melelahkan.

Belum lagi para pendatang mengisi posisi-posisi di pekerjaan secara tidak merata. Industri-industri yang berkembang di Belanda banyak menyerap tenaga kerja luar negeri, tapi sektor seperti healthcare dan pendidikan tidak. Maka seolah semua baik-baik saja padahal nyatanya anak-anak akan belajar di ruang kelas yang semakin penuh dan orang-orang perlu mengantre lebih lama untuk mendapat layanan kesehatan atau sekedar terdaftar di general practicioner. Itu efek-efek sosial lain yang disebabkan imigrasi.

Tapi sebenarnya kemarahan ini tidak semata-mata ditujukan pada para migran, tapi juga pada pemerintah Belanda yang dianggap terlalu santai dan terbuka terhadap pendatang. Pemerintah dianggap menerima terlalu banyak pencari suaka dan memberikan terlalu banyak benefit terhadap pendatang. Di sisi lain pemerintah dibilang lamban dalam menyediakan housing baru sehingga kini terjadi krisis hunian. 

Tapi pemerintah juga kepepet karena kebutuhan industri tidak bisa dipenuhi oleh tenaga kerja dari dalam negeri saja. Bahkan ketika corak pemerintah Belanda kini sayap kanan, tekanan dari industri seperti ASML sangat kuat hingga pemerintah tidak bisa begitu saja menutup keran imigrasi. Kalau perusahaan dilarang merekrut dari luar mereka akan mencabut usahanya dari Belanda yang berarti hilangnya potensi ekonomi yang sangat besar. 

Terakhir, dari sisi migran, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung mestinya bukan sekedar peribahasa. Penting sekali menghargai budaya dan komunitas lokal selama itu tidak bertentangan dengan prinsip. Orang Belanda itu sudah sangat baik mentolerir rookie mistake yang dibuat para pendatang, ramah menyapa walaupun looks-nya berbeda, dan secara umum baik dengan tetangga. Maka pendatang juga mesti sensitif dengan apa yang terjadi di sekitar, berusaha mengintegrasikan diri, dan sebisa mungkin aktif mempelajari bahasa setempat. 

Saya bekerja di tempat yang secara aturan bahasa resminya adalah English. Tapi ketika saya pamit pulang dengan bilang fijne avond, lebih hangat sambutannya daripada sekedar good evening. 

Thanks,
Chandra

Belajar Liburan


Merencanakan liburan adalah hal yang lumayan asing buat saya. Faktor besar di kota destinasi wisata dan tinggal serumah dengan simbah* menjadikan saya orang yang tidak terbiasa pergi berlibur. Sejak merantau momen liburan saya mostly diisi dengan pulang ke rumah, mudik, ketemu keluarga. Saya tidak terbiasa staycation, trip ke Bali, atau naik gunung, jarang sekali saya pergi lebih lama dari 2 hari di akhir pekan. Dolan buat saya sifatnya pendek-pendek: pergi ke sebuah pantai, main ke kota sebelah, makan ke suatu warung. 

Lalu sekarang saya berada di lingkungan orang-orang yang rutin liburan. Orang Eropa terbiasa pergi vakansi sampai 2-4 minggu dan bisa dilakukan beberapa kali dalam setahun. Semuanya terencana dengan detail mau kemana-kemananya padahal tempat yang disebut itu bisa jadi ada di belahan dunia yang berbeda. Mereka bisa trip sampai ujung barat di Portugal, membelah Eropa dari Belanda di utara sampai Italia di selatan, dan menembus Jerman untuk sampai Polandia dan negara Eropa timur lainnya. Iklim yang tidak terlalu menyenangkan di musim tertentu dan arrangement cuti yang sangat support vakansi menjadikan orang kulit putih ini pelancong yang handal menurut saya.

Orang-orang Asia/Afrika seperti kami ini belum tentu dapat kesempatan yang sama karena kami masih harus menyisihkan sebagian (besar) cuti untuk pulang ke negara asal. Tapi tentu eman kalau kesempatan berada di sini ini disia-siakan dengan tidak kemana-mana. Apalagi integrasi antar negara Schengen ini sangat mulus, pindah negara seperti pindah dari satu provinsi ke provinsi lain saja. Maka di summer kali ini kami coba belajar untuk liburan, setelah sebelumnya ke Jerman, weekend kemarin alhamdulillah kami berkesempatan berkunjung ke Brussels dan Ghent di Belgia. 

Selain dekat, alasan kami ke Belgia adalah karena saya penggemar berat novel Edensor karya Andrea Hirata dan salah satu tempat transit Ikal dan Arai sebelum ke Perancis adalah Belgia. Kami memang belum sampai ke Brugges seperti mereka tapi setidaknya saya sengaja pilih jalan yang mirip dengan mereka yaitu masuk Belgia lewat Breda. Absurd dan nggak penting-penting amat sebenarnya, tapi it was fun.

Brussels adalah kota yang menarik karena dia memadukan dua hal yang bertolak belakang di dalam satu kota. Satu sisi Brussels, sama dengan banyak kota-kota di Eropa, menawarkan sejarah, bangunan kuno, dan third space yang melimpah. Tapi di sisi lain Brussels ada pusat bisnis dan kantor Uni Eropa yang modern, canggih, dan sangat abad 21. Bayangkan Jogja dengan kraton, tamansari, malioboro, dan tugu-nya bertetangga dengan SCBD-nya Jakarta, itulah Brussels. Beberapa destinasi di Brussels diantaranya Brussels Town Hall, Royal Palace, Mannekin Pis, dan Royal Gallery.

Brussels:


Brussels ini kota besar tapi entah kenapa murah. Parking garage di kota hanya €3 untuk seharian ketika weekend. Kami makan di restoran Jepang (halal) juga dapat harga yang terjangkau. Malamnya kami menginap di daerah Nosegem, sedikit di luar Brussels, rate-nya juga di bawah kota-kota lain. Kurangnya bagi sebagian orang sepertinya Brussels ini terlalu ramai (yang artinya juga beberapa sudut kurang teratur dan kotor), sebelas dua belas lah dengan Amsterdam. Kami juga sempat mau mampir Brussels Grand Mosque untuk salat, sayangnya ketika sampai di sana masjid dalam keadaan tertutup rapat. Memang saat itu bukan di jam salat sih, tapi untuk sebuah grand mosque dalam bayangan saya mestinya buka paling tidak nonstop dari Dzuhur sampai Isya.

Minggu paginya kami meluncur ke Ghent yang jaraknya tidak begitu jauh dari Brussels. Beda dengan Brussels yang punya dua sisi kekunoan dan kekinian tadi, Ghent ini all in lawasan. Pusat kotanya diisi banyak bangunan lama, banyak, beneran banyak banget. Beberapa kota Eropa punya bangunan bersejarah di centrumnya (pusat kota), tapi sedikit di luar dari area itu sudah daerah pemukiman biasa. Sedangkan Ghent ini sampai lelah jalan muter-muter masih ketemu bangunan-bangunan lawas dan masif lengkap dengan ukiran dan patung-patungnya. Ghent juga terasa lebih tenang, relaks, dan slow living dibanding Brussels. 

Ghent:


Alhamdulillah perjalanan kali ini terasa lebih lancar dan effortless dibandingkan saat ke Jerman kemarin. Belajar dari pengalaman, kami mendapat penginapan yang jauh lebih nyaman dengan harga yang tidak beda jauh (shoutout untuk Hotel Taormina Zaventem). Itinerary perjalanan kali ini bisa dilalui dengan lebih baik dan tanpa grusa-grusu. Kami sudah lebih paham bagaimana memanage kebutuhan untuk makan, istirahat, dan ke toilet. Urusan barang bawaan, transportasi, dan akomodasi juga sudah cukup efisien dan tidak ada surprise yang tidak menyenangkan. Overall alhamdulillah.

Thanks,
Chandra


*saat lebaran/liburan jadi jujugan saudara datang jadi malah nggak kemana-mana seringnya

Share?


Pasti ada batas antara memberikan informasi yang cukup dan di mana informasi itu sudah terlalu banyak dan menjadi menyebalkan. 

Orang yang kita ikuti menentukan bubble kita dan bubble itu sangat memengaruhi standar yang kita punya. Orang yang mengikuti twitter saya mungkin jengah dengan twit-twit sampah yang saya post setiap ada pertandingan bola. Tapi itulah hasilnya kalau terlalu banyak follow account banter seperti UTDTrey dan Welbeast. Saya juga paham kenapa teman-teman penggemar k-pop juga banyak retweet soal idolanya. It is what it is, namanya juga media sosial dan attention business.

Problemnya, saya kadang merasa apa yang ingin saya keluarkan belum tentu cocok untuk semua audience (yang tidak banyak itu). Definisi baik, keren, dan bermanfaat yang ada di pikiran saya dipengaruhi orang-orang yang saya follow, sementara orang yang follow saya belum tentu punya definisi yang sama. 

Personal filter di sana buat saya seperti rem yang kadang di tekan kadang tidak tapi tetap harus ada dan berfungsi dengan baik. Sampah-sampah soal bola tadi saya biarkan lepas karena saya pikir tidak akan merugikan siapapun dan hanya di akun twitter yang privat. Tapi tidak semua keputusan untuk share/tidak share sesimpel itu. 

Hampir semua platform media sosial punya limiter dalam bentuk masing-masing: privacy setting, close friend, share to contact except, dll. Semua itu fasilitas ngerem yang disediakan oleh platform. Tapi penggunaannya diserahkan pada user masing-masing.

Saya iseng coret-coret gambar di atas karena kepikiran bahwa yang di sisi kanan tidak bisa kita kontrol: opini dan pandangan orang soal kita. Tapi kita punya kontrol penuh atas apa yang ada di kiri: orang-orang yang kita jadikan referensi. Layaknya makanan menentukan kesehatan badan, informasi juga makanan buat otak dan hati. Kebohongan yang diulang terus menerus saja bisa jadi dikira kebenaran, apalagi hanya definisi baik-buruk, penting-tidak, bagus-jelek. Apa yang kita dengar, baca, dan lihat terus menerus bisa sangat mendefinisikan kita.

Di jaman seperti ini hampir tiap saat kita perlu memutuskan: share or not? Kalau mau simpel jawabannya tidak perlu bermedia sosial sama sekali. Banyak orang memilih ini dan hidupnya tetap menyenangkan. Tapi buat saya pribadi online presence masih penting, atau setidaknya perlu. Maka filter di sana mesti dijaga benar-benar karena andai keputusannya untuk share pun masih harus diputuskan share-nya seperti apa.

Baru kemarin saya dengar nasehat yang makjleb: what you don't share can't be destroyed.


Chandra

Bahasa Inggris


Dalam podcastnya bersama Yusril Fahriza, Raditya Dika dengan yakin bilang bahwa pintu menuju banyak pengetahuan itu sesimpel Bahasa Inggris. Dengan punya kemampuan reading dan listening yang cukup kita jadi punya akses ke kolam pengetahuan yang luar biasa besar. And I'm not talking about 'nerdy' knowledge, dunia yang bisa dieksplor jauh lebih luas dari itu: hobi, olahraga, seni, teknologi, bisnis, ekonomi, spiritual, dll.

Saya dulu menghindari konten berbahasa Inggris karena melelahkan. Saya malas membaca tulisan berbahasa asing karena mungkin hanya 50-60 persen kalimat yang saya pahami maksudnya. Beberapa kata nggak tahu artinya, konteks dalam kalimat dan paragrafnya jadi nggak nyambung, sehingga keasyikan dan informasinya jadi nggak dapat. Begitu juga dengan konten audio visual, too much to grasp karena skill listening standar banget.

Saat SD saya baru dapat pelajaran bahasa Inggris di kelas 4, itupun baru mulai dari sangat dasar: I am, you are, she is. SMP memang lebih terekspos dan beberapa buku pegangannya bilingual (halaman ganjil indonesia, halaman genap english) tapi tetep english-nya tidak segitunya terasah. Ada awareness yang didapat bahwa bahasa Inggris adalah jendela dunia tapi that's it. Saat kuliah juga masih masuk level english paling basic: reading. 

Tapi ternyata buat saya kuncinya justru di hobi, sesuatu yang dilakukan secara effortless akan lebih lama bertahan dan impactnya lebih besar. Saya tidak punya cukup bahan diskusi menarik soal bola dan formula 1 yang jadi minat saya jadi perlu outsource dari content creator berbahasa Inggris. Dari situ saya mulai sering nonton konten dari youtuber luar seperti tifo football, wtf1, the race, dan the athletic. Bosan dengan autonetmagz dan otodriver untuk bahasan otomotif, saya nemu carwow dan donut media. Sementara untuk gadget, ketika nonton gadgetin dan sobathape belum membuat saya puas saya ketemu mkbhd dan mrwhosetheboss. Waktu-waktu berikutnya saya senang dengan video-video storytelling macam the infographic show, half as interesring, coldfusion, company man, dll.

Dari sana saya jadi tahu soal crashgate-nya Renault, jatuhnya Enron, behind the scene Jurgen Klopp join Liverpool, ponzi scheme-nya Bernie Madoff, Elizabeth Holmes dan Theranos, jatuhnya Nokia dan Kodak, dan lain sebagainya. Tanpa mengurangi rasa hormat pada content creator dalam negeri, konten-konten seperti di atas tidak banyak dibuat di Indonesia. 

Setelah itu semakin banyak youtuber luar yang saya ikuti. Awalnya tentu dengan CC sebagai subtitle, tapi lama-lama ternyata tanpa baca teks dan lihat layar sudah bisa nangkap maksudnya. Enak banget ketika sudah di tahap ini, nonton jadi bisa disambi. Makin kesini saya mulai mendengar podcast, ini agak lebih sulit karena minim visual aid dan efisiensi listening saya masih belum seperti native. Kata Raditya Dika lagi, dibilang listening bagus itu kalau sudah bisa nangkap maksud orang ngomong di video yang diputar dalam speed 1.5, nah ini saya belum bisa.

Dua tahun lalu saya baru mulai secara rutin bisa membaca buku berbahasa Inggris. Bisa dibilang ini telat karena baru terjadi di umur hampir 30, betapa banyak waktu sudah terlewat. Buku mestinya bisa ngasih ilmu yang lebih luas lagi, tapi saya belum sampai ke sana karena buku yang saya baca masih sangat terbatas dan topik tertentu saja. Itupun tidak semua buku yang saya buka bisa saya rampungkan (yah bahkan buku bahasa Indonesia pun tidak semuanya selesai).

Soal baca, sekarang justru saya baca reddit hampir tiap hari karena di sini bisa diakses tanpa VPN. Sejauh ini saya lebih banyak 'tanya' ke reddit daripada chatGPT karena ingin dapat jawaban dari real people yang pernah punya pengalaman atau berada di posisi yang sama. Bahkan saat tidak ada pertanyaan pun saya sering meluncur ke sana untuk sekedar baca-baca. Kombinasi antara there's no stupid question, komunitas worldwide, dan topik yang organik membuat reddit ini sangat menyenangkan dibaca.


Mengonsumsi konten berbahasa Inggris sudah semakin natural, tapi setelah semua itu pun kemampuan english saya masih di bawah rata-rata kolega di sini. Saya juga tidak terlalu pede ngetwit atau menulis panjang di media sosial dengan bahasa Inggris. Singkatnya saya belum bisa dibilang fluent. Teori grammar mungkin tahu, tapi kata-kata masih keluar dengan terbata-bata ketika harus bicara atau menulis panjang. 


Chandra

RWTH


Siapa yang nggak mau kuliah di RWTH Aachen? Walaupun namanya tidak sementereng MIT, Caltech, atau Imperial College, embel-embel 'Pak Habibie dulu kuliah di sini' cukup kuat untuk menarik minat anak-anak muda. Saya belum berkesempatan kuliah di sini, tapi baru sempat mampir.



Aachen adalah kota di Jerman yang berbatasan dengan dua negara sekaligus, Belanda dan Belgia. Kota ini terletak di state North Rhine-Westphalia sehingga kampus yang ada di sana namanya RWTH alias Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule. Kampus RWTH berada telak di pusat kota Aachen, berdekatan dengan landmark seperti Aachener Dom. Aachen bisa dijangkau menggunakan kereta langsung ke jantung kotanya atau bisa juga jalur darat menggunakan mobil.



Jika datang dari arah Belanda, ada satu tempat yang harus disinggahi dulu sebelum masuk Aachen yaitu Drielandenpunt (Three Countries Point). Ini adalah titik pertemuan batas 3 negara yaitu Jerman, Belanda, dan Belgia. Lokasinya ada di atas bukit dan bisa dijangkau dengan naik dari kota Vaals. Di sana ada sebuah monumen yang menunjukkan titik istimewa ini, di dekatnya ada kafe yang punya beberapa pintu yang letaknya di negara yang berbeda, dan ada juga wahana bermain labirin (full size, orang dewasa masuk nggak kelihatan sampai kepala). Fun fact, lokasi ini juga adalah titik tertinggi Belanda padahal tingginya hanya 322 mdpl, menunjukkan betapa flat-nya negara ini.

Aachen tidak jauh lagi dari Vaals dan kami langsung menuju ke pusat kotanya karena memang tujuan utamanya adalah RWTH. Kelihatan sekali RWTH jadi nadi kota ini, banyak (orang berpenampilan) student lalu lalang seperti di Bulaksumur dan Dago haha. Sayang cari parkir di pusat kotanya agak susah dan terbatas waktu jadi kami belum puas menikmati kota ini. 

Kami melanjutkan perjalanan menuju Koln. Setelah riset-riset, tujuan pertama adalah Cologne Central Mosque, sebuah masjid yang berdiri megah di Kota Koln. Sungguh ini masjid paling bagus yang saya lihat di Eropa: arsitekturnya keren, besar, bersih, dan very welcoming. Masjid ini punya orang-orang Turki yang mana memang komunitasnya besar di Jerman.


Untuk bergerak ke pusat kota kami memilih pakai kereta bawah tanah agar tidak perlu memusingkan parkir, kendaraan biar istirahat di basement masjid. Pusat Kota Koln ditandai Katedral yang luar biasa besar dan tinggi menjulang ini. Gothic menjurus seram. Di sampingnya ada stasiun kereta dan deretan shoping center. Overall nice city, senang berkunjung ke sini.


Malamnya kami mencoba memilih penginapan di luar Kota Koln. Kami nemu satu airbnb yang lokasinya dekat peternakan kuda. Pengalaman yang unik tapi rasanya cukup satu kali saja. Pagi harinya memang enak karena pemandangannya luar biasa bagus dan bisa lihat kuda dari dekat, tapi minusnya kebersihan dan ketenangan agak kurang karena dekat kandang, bagaimanapun tetap bau. Paginya kami kembali ke Koln untuk sarapan di satu-satunya warung Turki yang sudah buka, susah untuk beli makanan (halal) di minggu pagi di Jerman. Bahkan beda dengan Belanda dan Belgia, swalayan Jerman tutup di hari minggu.


Tujuan terakhir adalah Monschau, sebuah kota kecil (atau village malah) di pinggiran Jerman. Ini tempat yang luar biasa cakepnya, berasa set film bukan dunia nyata. Foto-fotonya sudah saya unggah di instagram.

Danke,
Chandra

Apakah Blog Masih Relevan?


Dua hari yang lalu saya membuat polling ini di instagram. Saya melempar pertanyaan itu setelah browsing sesuatu dan came across blog ini: fitrihasanahamhar.blogspot.com. Yang menarik dari blog tersebut adalah banyaknya link menuju blog lain yang ditampilkan di sana terutama jika dibuka dalam mode tampilan PC. Selain melalui widget yang disematkan, penulisnya juga mempraktekkan konsep followers-following yang membuat blog ini menjadi seperti hub menuju laman-laman lain. Saya punya cukup banyak waktu weekend kemarin jadi sempat untuk berselancar.



Hanya segelintir dari blog-blog yang ada di sana yang pemiliknya saya tahu, misalnya Kurniawan Gunadi, Nurvirta Monarizqa, dan Raditya Dika. Meski begitu, randomly saya coba klik beberapa link yang ada dan menemukan beberapa cerita menarik seperti orang yang tengah studi di Amerika, cerita jalan-jalan di Eropa, cerita soal profesi, perenungan, keluarga, dan lain sebagainya. Sayangnya di antara list itu banyak juga blog yang last updated-nya sudah beberapa tahun yang lalu, tidak ada tulisan baru lagi, atau bahkan link-nya sudah mati.

Saya cukup yakin orang berhenti menulis di blog bukan karena malas (kalau malas mah tidak bikin blog in the first place), melainkan ia tidak lagi melihat blog sebagai media yang relevan untuk berbagi cerita di masa kini. Konten berbasis tulisan (blog, majalah, etc) sudah kalah menarik bagi audience ketika konten video dan vlog bermunculan, apalagi sekarang ketika persaingannya lebih bombastis lagi dengan munculnya platform video berdurasi pendek. Saya membayangkan blog ini seperti pasar yang dulu ramai tapi kini ditinggalkan karena orang berpindah ke tempat yang lebih nyaman dan mewah. Jika pembelinya sudah tidak banyak datang, untuk apa penjualnya bertahan? 

Tapi meski sudah tidak seramai dulu, blog tidak benar-benar mati seperti apa yang terjadi pada MySpace dan Friendster. Banyak informasi di blog yang masih akan direfer oleh search engine, segelintir influencer juga masih membuat konten tulisan di samping konten digital di platform lain. Tapi lebih dari itu adalah masih ada orang-orang yang menjadikan menulis sebagai hobi, tanpa peduli ada yang membacanya atau tidak, serta tanpa motif popularitas dan ekonomi. Sama seperti orang yang enjoy main musik di dalam kamar: dimainkan sendiri, dinikmati sendiri, tanpa perlu ada orang lain yang mendengar.

Makin kesini makin terlihat kesamaan antara menulis dan main musik. Puthut EA bilang ada orang yang belajar menulis karena ingin jadi penulis dan ada yang belajar semata-mata karena ingin bisa menulis. Sama saja dengan musik, tidak semua orang belajar musik untuk jadi musisi, banyak yang untuk mencari kebahagiaan sendiri. Musik dan menulis (serta membaca) adalah skill yang good to have. Orang bisa membunyikan piano dengan memencet tuts-nya, tapi itu belum disebut main musik. Sama halnya orang bisa membaca dan menulis huruf, tapi kemampuan memahami tulisan panjang dan menulis runtut adalah hal yang berbeda.

Hanya 10 orang yang mengisi polling saya di instagram, 8 bilang masih relevan sementara 2 lainnya tidak. Saya dm-an dengan salah satu yang bilang tidak dan maksud dia adalah tidak relevan lagi sebagai media penyampai pesan. Kalau ingin menjangkau audience yang lebih luas butuh media yang lebih menarik dari sekedar tulisan. Itu betul, views pada satu video YouTube atau reels instagram bisa lebih banyak daripada pembaca sebuah blog all time. Saya tidak tahu apakah masih ada konten kreator yang murni berbasis blog/tulisan saja di dunia ini.

Tapi balik lagi tidak semua orang menulis demi populatitas dan follows. Bahkan mungkin sekarang justru banyak yang menulis untuk mengekspresikan dirinya tanpa dibaca banyak orang. Di sisi lain ini malah menjadikan blog walking semakin menarik karena bisa menunjukkan sisi lain orang yang tidak terlihat di media sosial lain. Menemukan blog yang masih diupdate memunculkan sense of community walaupun tidak kenal dan belum pernah ketemu, dan itu menyenangkan.

Satu hal lagi, makin jauhnya blog dari popularitas justru menjadikannya makin eksklusif. Karena bisa jadi yang penting bukan berapa banyak yang membaca, tapi siapa yang membaca. Just my two cents.


Thanks,
Chandra