Fiets Gazelle


Saya sudah mendengar bahwa ada banyak kemiripan kata dari bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia atau Jawa, tapi saya tidak menyangka ada bidang-bidang tertentu yang kemiripannya bukan main. 

Saya kemarin lewat sebuah kawasan berisi beberapa bengkel dan pusat suku cadang mobil. Dari situ saya tahu asbabun nuzul kita di Indonesia menyebut bagian yang berputar dari kendaraan itu ban dan velg. Dalam bahasa Inggris mereka disebutnya tyre dan rims, namun dalam bahasa Belanda ternyata namanya band (banden) dan velg (velgen). Bukan hanya itu, sebutan rem itu juga Dutch, bahkan penulisannya sama, sementara per (pegas) itu dari kata veer. Istilah onderdil juga berasal dari kata onderdeel, sedangkan reting (lampu sein) mirip dengan richting dalam Dutch yang artinya arah. 


Pernah dengar orang-orang tua nyebut kata 'atret' yang artinya memundurkan mobil? Nah dalam bahasa Belanda sebutannya achteruit. Masih banyak yang lain, persneling dari versnelling (dalam English gear), kopling dari koppeling (dalam English clutch), rem tromol dari trommelrem (dalam English drum brake). Bengkel mungkin terinspirasi dari winkel, walaupun winkel punya arti lebih luas sebagai shop. Larangan lewat suatu jalan biasa disebut verboden, itu mentah-mentah copy dari bahasa Belanda. Jalan itu sendiri bahasa sininya weg, makanya di Jogja ada tempat namanya Kewek, itu berasal dari Kerkweg, yang artinya jalan menuju gereja (kerk), mungkin maksudnya yang di Kotabaru. Banyaknya kesamaan ini membuat saya menduga pertukaran budaya banyak terjadi waktu orang dulu berurusan tentang kendaraan dan transportasi. 

Tempat lain di mana banyak kesamaan adalah tempat-tempat di mana terjadi urusan ekonomi. Kita menyebut kantor itu serapan dari kantoor, makelar berasal dari makelaar, dan maskapai dari maatschappij. Tiga kata itu jauh sekali dari kata office, broker, dan carrier, maka tidak mungkin diambil dari English, pasti Dutch. Bicara soal harga, gratis dan korting itu tulisannya plek ketiplek dalam bahasa Belanda. Membeli secara tunai disebutnya contant (jadi kontan), dan bukti pembelian di toko namanya bon. Bapak saya kalau bilang tanda tangan masih teken, dalam Dutch sebutannya handtekening. Sama halnya ketika menyebut menelepon sebagai ngebel, bel berarti call di sini.



Saya dulu merasa heran mendengar istilah paklaring, tidak terdengar seperti kata dalam bahasa Indonesia ataupun Inggris, ternyata itu berasal dari kata bahasa Belanda verklaring yang artinya surat keterangan. Dalam perbankan ada istilah inkaso (collection), itu berasal dari incasso. Sementara itu rekening ditulis serupa dalam bahasa Indonesia dan Belanda.

Banyaknya kesamaan ini entah kenapa melemparkan pikiran saya pada sebuah pasar tradisional dekat rumah. Terutama pada deretan bapak-bapak dan pakde-pakde yang menjual perkakas lanang seperti onderdil sepeda, motor, senter, lampu, dan lain sebagainya yang memanjang di kanan kiri jalan sampai ratusan meter dari pasar. Lalu ada seorang mbah kakung yang datang melihat-lihat dengan menaiki fiets Gazelle-nya.


Salam,
Chandra

Sumber gambar dari google, oleh pemilik usaha masing-masing (Zaanse Banden Centrum dan Makelaar Bert)

Firasat



Bicara soal liga sepakbola di Eropa, top of mind-nya tentu saja Liga Inggris dan Italia, mungkin ditambah Spanyol. Setelah itu baru Belanda dan Jerman yang punya beberapa tim besar seperti Bayern Munich dan Ajax Amsterdam. Tapi buat saya entah bagaimana Liga Belanda justru lebih nempel dibanding yang lain, hanya kalah dengan Liga Inggris yang memang saya ikuti tiap minggunya. Jaman-jamannya PS1, PS2, PES 2013 dulu kalau mau coba main pakai tim 'medioker' saya sering pilih PSV Eindhoven dengan ujung tombaknya Jefferson Farfan, inget banget. Dari situ saya tahu hubungan Phillips dengan PSV, walaupun saya belum tahu Eindhoven itu dimana tepatnya. 

Nama Amsterdam dan Den Haag saya tahu dari buku pelajaran IPS, tapi kota-kota lain seperti (NEC) Nijmegen, (Feyenoord) Rotterdam, (Vitesse) Arnhem, (NAC) Breda, (VVV) Venlo, (AZ) Alkmaar, (RKC) Waalwijk, (FC) Groningen, dan (FC) Twente, sampai (FC) Volendam ya saya dapatnya dari bola. Tahun lalu saat Volendam masih di Eredivisie saya sempat nonton siaran langsung pertandingannya di TV. Kok ya ndilalah TVRI Sport beli hak siar Liga Belanda jadi bisa ditonton dari TV Indonesia, ini ada fotonya:


Kemarin saya harus memutuskan mau pasang internet pakai provider apa. Nggak sulit bagi saya untuk memutuskan subscribe ke Ziggo karena itu satu-satunya provider yang pernah saya dengar namanya, lagi-lagi dari bola. Ziggo saat ini jadi sponsor Ajax, sementara joint venture-nya Vodafone semua orang juga tahu pernah pasang logo di jersey MU. KPN dan Odido bisa jadi bagus juga, tapi buat saya belum familiar saja karena baru saya dengar saat di sini. 

Ini mungkin bukti suksesnya marketing Ziggo atau sayanya saja yang gampang kemakan iklan. Tapi lebih dalam ya sepertinya memang jodohnya dengan Ziggo. Katanya keberuntungan itu adalah bertemunya persiapan dan kesempatan. Nggak nyangka ternyata jam-jam main PES dan nonton bola saat itu bisa di-log sebagai 'persiapan' kini setelah kesempatan relokasi ini datang. Sebab dengan begitu urusan per-wifi-an yang sangat krusial dalam perkara remote working ini jadi lebih mudah dibereskan. 


Keakraban saya dengan sepakbola Belanda ini cuma salah satu dari beberapa 'firasat' yang baru saya sadari sekarang. Dua tahun terakhir saya suka ngobrol soal peninggalan masa kolonial di Indonesia, kebetulan ada teman yang punya interest yang sama. Topiknya mulai dari jembatan tua, bekas pabrik gula, rel kereta, stasiun, bekas landhuis, dan lain sebagainya. Di YouTube ada video TEDx soal Stasiun Radio Malabar di Bandung selatan yang keren banget, ini salah satu video yang saya tonton berulang-ulang sejak dulu. Di Instagram juga ada akun mfatoni86 yang mengunggah situs-situs peninggalan Belanda dan keadaannya sekarang serta rizki.rmadhani yang membahas tempat-tempat di Jabodetabek dan asal usulnya yang kalau dirunut banyak berhubungan dengan masa kolonial. 



Saya juga sempat melakukan sedikit eksplorasi soal lukisan Pangeran Diponegoro setelah nonton film Mencuri Raden Saleh. Ternyata lukisan itu ada 2 versi, versi pertama adalah karya Raden Saleh dimana orang-orang Belanda-nya dilukis secara *redacted*. Lalu versi lainnya dilukis oleh Nicolaas Pieneman yang tentu saja mengambil POV Belanda. Topik-topik seperti ini entah kenapa menjadi minat saya beberapa waktu terakhir padahal saat itu sama sekali belum ada bayangan akan pindah kesini. 

Saya ternganga lebar waktu menemukan bahwa jembatan kereta bekas Belanda pada video mfatoni86 di atas hanya berjarak 150 meter dari kantor imigrasi Wonosobo. Yang mana itu adalah kantor imigrasi satu-satunya di sekitar DIY yang memungkinkan saya untuk membuat paspor untuk ke Belanda di hari pertama setelah libur lebaran. I can't believe my eyes waktu melewati terowongan itu. Ya Allah..




Waktu sampai sini makin banyak easter egg yang saya temui. Take out-nya sih saya pikir ya memang harus begitu jalannya kali ya. Setelah enam tahun di Bandung terasa cukup lalu pindah ke Jakarta. Lalu lima tahun setelahnya sudah selesai yang ingin dilakukan di Jakarta lalu pindah ke Belanda. Saya masih antara percaya tidak percaya dengan firasat. Tapi saya lebih yakin bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan. Kadang saya memalingkan muka ketika di jalan melihat sebuah klinik, karena saya tidak ingin tahu klinik ada di mana, karena saya tidak ingin sakit. Ini karena saking seringnya ketemu momen 'oh yang dulu itu gunanya ini'.

Kenapa mendaftar beberapa beasiswa dan gagal semua.  Kenapa T&ES tutup dan CommBank merger.  Kenapa (baru) kebeli mobil di 2 tahun usia pernikahan. Kenapa harus ke Jakarta dulu. Kenapa harus ngekos di Ciledug dulu. Kenapa ketemu orang-orang tertentu. Kenapa pergi ke tempat-tempat tertentu. Kenapa memilih ini bukan itu. Kenapa harus dapat masalah dulu. Kenapa harus kena humbling dulu. Kenapa harus A dulu, lalu B, baru C. At the end it falls in perfect fit.

Elingo sliramu marang embun enjang kang prasaja
Nemoni sliramu tumekaning cahya
Ingatkah engkau kepada angin yang berhembus mesra
Yang 'kan membelaimu, cinta 


Thanks
Chandra

The Rookie


Serial The Rookie bercerita tentang John Nolan, mantan pekerja konstruksi yang pindah ke Los Angeles untuk menjadi polisi pada usia 40 tahun. Tentu dia harus menghadapi berbagai macam tantangan dan pandangan skeptis dari banyak orang sepanjang hari-harinya. Serial ini bergenre crime comedy, jenis yang memang saya gemari karena menghadirkan thrill sekaligus fun secara bersamaan. Kalau Anda suka series sejenis White Collar, Suits, Castle, atau Only Murder In The Building, kemungkinan Anda juga bisa suka The Rookie. 


Saya bisa kasih The Rookie nilai 8 dari 10, masih belum bisa mengalahkan all-time favourite saya White Collar, yang sayangnya tidak bisa ditonton di Netflix NL. Mungkin di Disney bisa seperti di Indonesia, tapi saya tidak lagi berlangganan. Meskipun tampil baik, menurut saya lebih keren penampilan Nathan Fillion di Castle karena perannya lebih menonjol, di The Rookie perannya sebagai John Nolan agak terdilusi oleh banyaknya pemain lain. Tapi di luar itu The Rookie adalah tontonan yang menyenangkan, terutama kombinasi karakter Tim Bradford dan Lucy Chen. The Rookie masih berlanjut, kabarnya season 7 akan meluncur 2025 nanti.

Saya menemukan The Rookie kepasan dengan kondisi saya yang kini balik lagi menjadi rookie. Pasalnya dalam pindah ke sini yang berubah bukan hanya pekerjaan, tapi nyaris hidup secara keseluruhan. Saat pindah kerja di Jakarta dulu antara kantor lama dan baru hanya beda dua halte bis. Sementara kini yang berubah ya banyak sekali. Bukan berarti komplain, merugilah saya kalau kufur nikmat dengan semua perubahan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir sejak November tahun lalu (mungkin akan saya tulis lain waktu). Tapi kalau kata Seurieus, 'kadang kurasa lelah, harus tampil sempurna, ingin ku teriakkaaan...'

Saya masih dalam proses mendalami posisi saya dalam pekerjaan. Karena meskipun core teknologinya sama dengan yang pernah saya garap di Jakarta, tapi practice-nya berbeda. Ini wajar karena bidang industri dan customer-nya juga lain. Pekerjaan yang bisa diselesaikan orang lama dalam 4 jam, mungkin baru bisa saya bereskan dalam 6 atau 8 jam. Jadinya level work life balance untuk saya belum bisa seenak orang sini, kadang-kadang masih begadang atas inisiatif sendiri demi baca atau mempelajari sesuatu. Banyak yang perlu dikejar, learning curve apalah itu. Ah tapi ya it is what it is lah, orang Asia sudah terbiasa dipaksa lembur. 

Di saat bersamaan, sehari-hari saya berusaha untuk menyerap informasi sebanyak dan secepat yang saya bisa demi adaptasi yang lebih lancar. Saya mengusahakan banyak jalan untuk tahu berbagai what-where: franchise supermarket beserta plus minusnya, stasiun + halte + jalur kereta dan bis, toko bahan makanan asia/halal dan restoran Indonesia, rumah sakit dan klinik, taman + tempat olahraga + hiburan, toko furniture baru/bekas, dan lain sebagainya. Hal-hal yang sifatnya administratif juga banyak yang perlu ditangani: housing, registrasi di municipality, rekening bank, asuransi, listrik, air, internet, tes TBC, berbagai macam subscription, pajak, dll sampai banyak sekali tab yang terbuka di browser laptop saya. Sudah berusaha seteliti mungkin pun tetap ada yang kelewat dan berakhir bingung sendiri, beruntung ada beberapa orang yang dengan sedang hati ditanya banyak hal.

Saya berusaha reach out ke banyak orang. Satu persatu saya terhubung kembali dengan teman sekolah atau kuliah yang kini ada di Belanda atau Eropa. Orang yang sebelumnya nyaris tak terhubung juga jadi mudah untuk connect di LinkedIn atau saling follow di Instagram karena sama-sama di sini. Banyak juga kenalan baru yang saya dapat karena tampaknya kenalan lebih mudah kalau sama-sama jauh dari rumah. Nggak tahu apakah akan berurusan dalam waktu dekat, tapi simpen aja dulu. Dunbar Number menyatakan kita cuma bisa 'berteman' secara optimal dengan 150 orang. Pindah ke sini membuat kuota Dunbar saya punya banyak slot kosong.

Wish me luck & Bismillah.

Chandra


Maulid dan Islamophobia



Tahun lalu kami berkesempatan menghadiri peringatan maulid nabi yang agak 'berbeda'. Saat itu di Jakarta ada acara maulid bersama Habib Husein Ja'far, Bhante Dhira, Band Kotak, dan komika Yusril Fahriza. Acaranya bukan di masjid tapi di Balai Sarbini, tempat yang biasa dipakai untuk pertunjukkan musik. Tahun ini alhamdulillah kami bisa datang ke acara maulid nabi yang juga unik. Tempat acaranya di Masjid Indonesia di Amsterdam, dengan salah satu agendanya yaitu talkshow bersama seorang mantan kader partai sayap kanan Belanda yang convert menjadi seorang mualaf padahal dulunya anti-Islam.



Minggu, 22 September 2024
Selain di Den Haag, ada masjid Indonesia juga di Amsterdam. Lokasinya agak minggir sih, lebih dekat dengan bandara Schiphol. Jujur secara akses agak lebih susah dibandingkan dengan yang di Den Haag, halte bis terdekat jaraknya 800 meter, itupun hanya 1 nomor bis yang lewat situ. Tapi demi melihat postingan PPME Amsterdam soal peringatan maulid nabi hari ini, kami niatkan untuk datang ke sana. 

Enaknya kalau datang saat ada acara begini adalah ada banyaknya orang Indonesia di sana. Apalagi di acara ini panitia mengadakan bazaar makanan dan minuman. Sebuah kesempatan yang baik untuk nyetok makanan Indonesia yang pas di lidah dan pastinya halal. Kami beli bakso seplastik isi satu kilo dan sekotak dendeng. Selain itu ada jajan pasar, es cendol, ayam geprek, bubur, dan lain sebagainya. Panitia memasang tenda tambahan di depan masjid untuk bazaar ini.



Sementara itu di dalam masjid acara peringatan maulid nabi berlangsung. Ada shalawatan yang disambung salat dzuhur berjamaah dipimpin K.H. Hambali Maksum, sesepuh NU Belanda. Lalu setelah itu ada sambutan dari Bapak Duta Besar RI untuk Belanda, Bapak Mayerfas,. yang pada intinya mengucapkan selamat dan terimakasih telah diundang, serta menyampaikan bahwa KBRI siap membantu segala kebutuhan masyarakat Indonesia di Belanda. Menariknya beliau bilang bahwa KBRI tidak memandang paspor, selama dalam hatinya Indonesia maka tetap akan dilayani jika datang pada KBRI. Memang di masjid tadi banyak orang yang sudah lama tinggal di sini hingga beranak-pinak dan sangat fasih berbahasa Belanda, maka bukan tidak mungkin paspornya juga sudah ganti.



Acara berikutnya adalah talkshow yang menghadirkan Bapak Joram van Klaveren. Awalnya saya pikir beliau adalah seorang ustadz lokal. Ternyata saya salah, beliau adalah mualaf yang masuk Islam pada 2016 lalu. Yang menarik bukan mualafnya tapi siapa dia sebelumnya dan kenapa berganti keyakinan. Joram van Klaveren adalah mantan anggota parlemen Belanda dan sosok penting dari partai PVV, partai sayap kanan (far right) yang sangat anti migran dan anti Islam. Konversinya ke Islam mengagetkan banyak pihak termasuk pimpinan PVV Geert Wilders sendiri. Ini menarik karena dia menjadi mualaf justru karena melakukan penelitian untuk buku anti-Islam yang sedang dia tulis. 

Maka tema maulid hari ini nyambung dengan apa yang baru kemarin siang kami bicarakan bersama Fazlur, istrinya, dan Ernest (baik sekali Fazlur mengajak kami makan siang di apartemennya). PVV adalah partai pemenang pemilu Belanda dan mereka tegas sekali dengan ideologinya untuk membatasi migran, termasuk pekerja dan mahasiswa, dan melakukan de-Islamisasi di Belanda. Kemenangan mereka menghadirkan rasa was-was di kalangan migran muslim. Tapi ternyata tentangan atas kebijakan mereka justru datang dari internal kalangan sendiri, terutama dari pelaku bisnis.

Peter Wennink, CEO ASML, dalam sebuah kesempatan menunjukkan kemarahannya dan berkata "If we can't get the people here, then we'll go to Eastern Europe, Asia, or the US. Then we'll go there". Wennink marah pada pemerintah yang ingin membatasi populasi migran. Pasalnya 60% karyawan ASML adalah pekerja asing. Mahasiswa internasional yang belajar di Eindhoven juga banyak yang lanjut bekerja di sana. Jika ASML kesulitan mendapatkan talent, mereka mengancam untuk pindah ke luar Belanda.

Wennink berani mengeluarkan ancaman ini karena ia punya posisi yang kuat. ASML bukan perusahaan kemarin sore, secara sejarah mereka terkait dengan Philips, raksasa elektronik dunia. Kini ASML adalah perusahaan dengan market cap terbesar di Belanda, jauh di atas pesaing terdekatnya. Jumlah karyawannya di Belanda saja lebih dari 20 ribu orang, dengan total di seluruh dunia lebih dari 40 ribu. Bayangkan jika perusahaan sebesar ini cabut, berapa banyak uang yang hilang. Kekuatan tawar ASML ini menjadikan pemerintah tidak bisa sekonyong-konyong mengeluarkan kebijakan ekstrem untuk memangkas jumlah migran. In the end it's all about business.


Kembali ke acara maulid nabi. Menurut saya ini boss move dari panitia untuk menghadirkan ex-PVV sebagai pembicara. Obrolan yang dibawakan jadi sangat dekat dengan suasana batin migran-muslim saat ini. Selain mengulas cerita dibalik convert-nya Pak Joram, juga dibahas apa sih yang bisa dilakukan komunitas muslim agar punya bargaining power yang lebih kuat. Menurut Pak Joram umat muslim di Belanda perlu untuk memformalkan kelompok dan gerakannya. Kalau sudah berupa badan resmi maka komunikasi dengan pemerintah dan stakeholder lain akan jadi lebih mudah. Saat ini komunitas agama besar lain sudah punya lembaga lobi, hanya muslim yang belum. Dengan jumlah muslim yang mencapai satu juta orang, sebagiannya berpendidikan tinggi, dan ada kekuatan modal, mestinya lembaga seperti ini bisa diwujudkan.


Saya datang ke Amsterdam hari ini tanpa ekspektasi apa-apa, tapi ternyata malah mendapat suguhan diskusi bermutu. Tambah menyenangkan karena di sana ketemu banyak orang Indonesia termasuk beberapa yang sudah kenal sebelumnya. Saya nggak menyangka bisa ada crossover antara maulid nabi dan PVV. Mungkin ini pertama kalinya saya bersinggungan dengan Islamophobia yang sebenarnya, membuat jadi teringat film 99 Cahaya di Langit Eropa. 

Dua tahun ini saya mendapat pengalaman maulid yang tidak biasa. Padahal kalau meminjam kalimat Habib Husein tahun lalu bahwa acara maulid di Balai Sarbini itu bertujuan salah satunya memberikan pengalaman maulid yang berbeda bagi yang belum terbiasa bermaulid, nah saya termasuk dalam golongan yang belum terbiasa ini. Jadi ya, saya bersyukur.

Saat menulis ini saya mendapat kabar bahwa Sabtu depan akan ada acara serupa di Masjid Indonesia di Den Haag, datang lagi kali ya?

Salam,
Chandra

Imperatif Deklaratif


Ada dua cara sistem bekerja, yaitu imperatif dan deklaratif. Deklaratif adalah tentang apa yang ingin dicapai (hasil akhirnya), sementara imperatif adalah soal bagaimana sesuatu tersebut dicapai (prosesnya). Kalimat 'I want tea on the table at 9am' adalah kalimat deklaratif, sementara 'go to the kitchen at 8.45, take mug and tea and sugar, then put in hot water' adalah kalimat imperatif.

Kalimat deklaratif berguna pada sistem yang sudah tahu bagaimana menerjemahkan input menjadi output. Jadi kita sebagai pengguna tahu jadi saja, yang penting bisa kasih input dengan benar. Masalah bagaimana proses di antaranya itu bukan urusan kita. Sementara itu pada imperatif tugas kita adalah menyebutkan proses-proses apa saja yang diperlukan menuju ke output yang diinginkan. Deklaratif dan imperatif tidak untuk dibandingkan mana yang lebih baik, dua-duanya ada best practice-nya sendiri-sendiri.

Sebenarnya imperatif dan deklaratif ini adalah terminologi yang sudah banyak dikenal di bidang software engineering. Tapi karena saya tidak secara native belajar itu, saya juga baru tahu dua istilah tersebut belum lama ini. Dalam beberapa kasus kita tentu pernah mengamalkan dua pendekatan ini, hanya saja tidak tahu kalau ada sebutannya. Bahkan bukan hanya pada urusan pekerjaan, hidup sehari-hari pun butuh dua-duanya.

Memesan makanan di restoran itu deklaratif karena kita cukup menyebut menu apa yang kita mau. Kita tidak perlu memberi tahu bagaimana cara masaknya karena yang bertugas untuk itu sudah pasti lebih tahu. Kalau kita mencoba imperatif pada tempat yang tidak seharusnya, minimal kita jadi nyebai dan sok tahu, maksimal malah merusak hasil akhirnya. Sebaliknya pada lingkungan yang imperatif, kita tidak sebaiknya bersikap deklaratif. Sejelas-jelasnya input, kalau sistemnya belum tahu bagaimana cara memprosesnya ya nggak akan jadi apa-apa.


Kemampuan menentukan kapan harus imperatif dan kapan harus deklaratif adalah skill. Mungkin itu salah satu unsur yang terbangun dari terkumpulnya pengalaman. Tapi menurut saya orang bisa punya kecenderungan ke salah satu antara imperatif dan deklaratif. Natural leader bisa jadi punya bias ke deklaratif karena dia bagus dalam memberikan command. Tapi baiknya ia ditemani orang yang tahu bagaimana sesuatu bekerja, alias imperatif. Duet Steve Jobs dan Steve Wozniak yang mendirikan Apple adalah contoh yang bagus menurut saya. Jobs adalah man of vision dan marketing genius (declarative), sementara Wozniak adalah inventor dan computer wizard (imperative). Berapa banyak ide brilian yang tidak terjadi karena tidak ada yang bisa mewujudkannya? Berapa banyak penemuan yang tidak jadi apa-apa karena tidak ada yang membesarkannya? Let's collab.


Chandra

Bank Sampah



Saya pernah dengar ada beberapa inisiatif 'Bank Sampah' di Jogja. Tapi sifatnya masih sporadis, di titik tertentu saja, dan tergantung pada beberapa individu yang menjadi inisiator atau pengelolanya. Sementara itu kini saya menemukan ternyata di Belanda sistem menukar sampah dengan uang ini sudah ada dan berjalan nation-wide. Mungkin di negara EU lain juga sudah ada, tapi karena saya belum kemana-mana jadi belum bisa cerita.

Bentuk 'Bank Sampah' di Belanda beda dengan yang ada di Indonesia. Sesungguhnya sistem yang digunakan sangat sederhana, yaitu memberi harga untuk botol plastik kosong. Jadi setiap membeli minuman kemasan, selain membayar harga minuman tersebut kita juga akan kena charge 15c (0.15euro) untuk kemasan 500ml dan 25c (0.25euro) untuk kemasan 1 liter (kalau ndak salah). Ini memang menambah harga yang harus dibayar, tapi kemudian ketika minumannya habis botol tersebut bisa ditukar lagi menjadi uang. Jadi sistemnya deposit atau di sini disebut statiegeld. Ini adalah contoh saat saya membeli teh botol, ada tambahan statiegeld 0.15 di sana.


Apa yang terjadi kemudian? Orang jadi punya motivasi untuk mengumpulkan botol dan kaleng kosong lalu disetorkan kembali melalui mesin yang ada di jaringan supermarket dan stasiun kereta. Kalaupun tidak berminat menukarnya sendiri, botol bisa dibuang ke tempat sampah kering karena nanti akan ada orang yang mengambil untuk ditukarkan. Pada akhirnya, jalanan relatif bebas dari sampah botol dan kaleng, yah walaupun sampah lain tetap ada ya. Di bawah ini adalah bentuk mesin botol dan kaleng di Albert Heijn dan Stasiun Utrecht Centraal.



Ada beberapa syarat agar botol bekas dapat ditukar, yaitu ada logo statiegeld pada botolnya, barcode masih bisa discan, kemasan dalam kondisi baik, serta botol masih bersama dengan tutupnya. Untuk mendukung sistem ini tampaknya tutup botol di Belanda didesain sedemikian rupa sehingga sulit lepas dari botolnya. Dulu saya pikir ini desain jelek, ternyata ini fitur.


Apakah sistem yang sama bisa diterapkan di Indonesia? Bisa, tapi agak sulit menurut saya. Desain tutup botol bisa diubah dan mesin botolnya bisa dibuat/dibeli. Tapi Indonesia itu luas sekali dan kebijakan seperti ini tidak bisa diterapkan hanya di daerah tertentu saja karena nanti harga barang di daerah A bisa beda dengan daerah B, cenderungnya massa akan bergerak ke yang lebih murah. Kedua, mayoritas minuman kemasan dijual lewat usaha umkm, apa iya warung madura mau disuruh narik pungutan harga botol juga? Ketiga, walaupun inisiatif ini tampak sederhana tapi untuk diterapkan di negara sebesar dan berpenduduk sebanyak Indonesia butuh itikad dari pemerintah dan DPR. Hal-hal seperti ini yang perlu dicatat oleh anggota dewan saat studi banding ke luar negeri pakai uang rakyat.

Salam, tulisan ini tidak disponsori oleh Albert Heijn
Chandra

Hal Baru



Beberapa hal yang baru saya tahu saat di sini:

1. Kita bisa transfer valas realtime dari rupiah ke euro langsung dari Livin Mandiri tanpa perlu install aplikasi tambahan. Lalu kartu debet BCA juga bisa langsung digunakan secara contactless dan bahkan bisa diinput sebagai credit card, canggih bener. Sementara itu teman yang dari Iran tidak bisa transfer uang keluar/masuk negaranya karena sistem perbankannya kena sanksi internasional, kalau memaksa transfer bisa ditandai (flagged). Entah bagaimana dengan yang Rusia, belum tanya.

2.  Sempat ikut sebuah diskusi soal waris, bahasan waris di Belanda ternyata bukan hanya tentang setengah seperempat seperdelapan, tapi sampai ke batasan sah/tidaknya garis waris karena banyak orang yang menikah dengan bule lalu punya mertua, ipar, dan keponakan yang beragama selain islam. Definisi waris menurut islam dan hukum nasional setempat juga beda. Ini lumayan membingungkan.

3. Belanda bagus dalam pengelolaan sampah sehingga kota-kotanya beneran bersih. Yang bikin kotor beberapa tempat justru tumpahan minuman beralkohol yang bisa diduga akibat orang kemabukan. Ini belum termasuk pecahan beling di trotoar dan orang jerat-jerit nggak jelas jam 3 pagi, alkohol memang sebaiknya dibatasi kok. Masih soal kebersihan, walaupun nggak banyak tapi ada beberapa titik pesing karena orang kencing sembarangan, terutama kalau sedang ada event yang ramai orang. Di sini agak kurang kalau soal taharah.


4. Pemahaman warga Belanda dan Indonesia soal masa kolonialisme berbeda. Mereka berpendapat indonesia merdeka pada 1949 bukan 1945, itupun dianggap lebih ke 'pemisahan diri' daripada 'kemerdekaan'. Buku sejarahnya beda tapi saya tidak berminat membahas itu dengan orang sini heuheu.


5. Etnis Maluku/Ambon punya tempat tersendiri di sini karena faktor hubungan sejarah. Suka tidak suka mereka punya kebanggaan besar terhadap kelompoknya dan sebagian sampai level ingin merdeka dari Indonesia. Waktu peringatan 17 Agustusan kemarin ada aksi oleh OPM dan RMS di depan venue persis. Ini fotonya:


6. Orang Belanda ternyata ramah-ramah, lebih ramah daripada Jakarta, mungkin on par dengan Jogja. Saling sapa dengan stranger, bilang terimakasih pada driver bus dan kasir, membuka dan menahan pintu kereta, serta bentuk keramah-tamahan lainnya banyak saya temui di sini bahkan kadang saya rasa berlebihan. Kukira bule hidupnya individualis, ternyata tidak.

7. Wajib banget pakai kaos kaki saat masuk masjid Turki, kalau tidak bakal ditegur dengan tegas. Saat ke tempat wudhu-nya juga wajib pakai sepatu atau sandal. Tapi memang Turki ini adalah komunitas yang paling banyak bikin masjid besar nan megah, kita sebagai jamaah nunut ya manut aja.

8. Desain stasiun kereta di Indonesia sangat mirip dengan di Belanda. Coba lihat Stasiun Haarlem ini:







Salam & Terima Kasih
Chandra

Supaya Jadi Tempat Bertanya


Pada 1982, perusahaan farmasi dari Amerika Johnson & Johnson didera skandal. Salah satu produknya yang bernama Tylenol tercemar sianida hingga mengakibatkan jatuhnya beberapa korban jiwa di Chicago. Mereka tidak tahu apa penyebabnya dan seberapa jauh kontaminasi ini terjadi. FBI dan FDA (badan POM-nya Amerika) menyarankan untuk melakukan recall terbatas pada Tylenol yang ada di Chicago saja, mereka tidak merekomendasikan untuk melakukan recall nasional karena tidak ada laporan korban di daerah lain, selain itu recall besar-besaran bisa mengakibatkan kepanikan publik.

Di luar dugaan Johnson & Johnson mengabaikan saran itu, mereka memutuskan untuk merecall semua Tylenol yang ada di seluruh Amerika walaupun itu berarti mereka harus merogoh kocek tambahan hingga 100 juta dollar. Seluruh sumber daya perusahaan bergerak menangani krisis ini, banyak pegawai mengerjakan pekerjaan yang biasanya bukan tanggung jawab mereka. Pada akhirnya krisis berlalu dan secara mengejutkan brand Tylenol masih bisa comeback dan laku di pasaran dengan kemasan baru yang lebih aman. Respon krisis Tylenol ini menjadi golden standard penanganan krisis di seluruh dunia.

Respon atas kasus Tylenol bukan semata-mata karena tim PR yang brilian, sesungguhnyalah mereka malah tidak punya PR yang proper saat itu. Tapi Johnson & Johnson adalah perusahaan matang yang bertahun-tahun memegang teguh visi dari founding fathers-nya yang dituangkan dalam sebuah Credo. Visi yang mengakar itu menjadi dasar para top management mengambil keputusan penanganan krisis yang brilian. Berikut penggalan Credo Johnson & Johnson yang jadi dasar dalam mereka berbuat: 

We believe our first responsibility is to doctors, nurses, and patiens; to mothers and fathers and all others who use our products and service.

Credo itu ditulis pada tahun 1943 oleh Robert Wood Johnson. Secara keseluruhan Credo-nya berparagraf-paragraf. Tapi intinya menekankan prioritas Johnson & Johnson secara berurutan adalah: (1) Customers, (2) Employees, (3) Community, (4) Company Stockholders. Yang spesial adalah kalimat-kalimat ini dibicarakan berulang-ulang, ditempel di mana-mana, dan sering diucapkan hingga orang-orang di perusahaan itu menyadari bahwa Credo ini sesuatu, lalu memengaruhi mereka dalam berperilaku dan mengambil keputusan. Credo ini tidak dianggap sebagai corporate buzzword dan tempelan dinding belaka.

Kisah di atas adalah salah satu kisah yang dibahas dalam buku The Culture Code karya Daniel Coyle. Buku ini ditulis berdasarkan penelitian penulis selama 4 tahun di banyak perusahaan dan kelompok yang berhasil di bidangnya. Ada tiga resep menghasilkan kelompok yang sukses yaitu build safety, share vulnerability, dan establish purpose. 

Penjelasan dari dua poin yang pertama, build safety dan share vulnerability, membuat saya ngeh kenapa ada pertemanan yang seru tapi ada juga yang layu. Itu bukan masalah orangnya kurang baik hati, tapi dalam pertemanan itu ada barrier, ada koneksi yang nggak nyambung, ada sinyal dan cue yang hilang, dan ada jaim-jaiman. Lalu juga kenapa ada tim yang sukses dan yang tidak padahal secara kemampuan teknis hampir sama. Tim yang sering ngobrol, evaluasi, bertukar feedback, dan saling terbuka cenderung lebih berhasil daripada yang saling diam karena menghindari konflik dan awkwardness dalam tim. Saling terbuka -> tahu kekurangannya dimana -> cepat diperbaiki. 

Namun poin ketiga agak berbeda, semua orang juga tahu kalau sebuah kelompok perlu tujuan bersama, establish purpose. Yang saya tidak sangka adalah bagaimana caranya kelompok-kelompok yang sukses itu menghadirkan tujuan yang sama pada seluruh anggotanya. Ternyata cara menanamkan tujuan dan nilai adalah sesederhana dengan mengulanginya terus menerus. Catchprase, motto perusahaan, visi misi, dan jargon ternyata benar-benar ada gunanya. Sungguh dulu saya pikir motto perusahaan itu sekedar omon-omon dan kata mutiara dari CEO dan Direksi saja. 



Membaca buku ini membuat saya ingat pernah bekerja di sebuah perusahaan yang saya tidak yakin perusahaan itu punya motto atau tidak. Kalaupun ada sepertinya hanya 1 kalimat yang kurang catchy. Business as usual sih jalan dengan normal, perusahaan tetap mencetak laba, dan tidak ada krisis seperti Johnson & Johnson tadi. Tapi saat resign dari sana jadi ada kegamangan apakah selama disitu saya sudah melakukan sesuatu yang benar dan meaningful karena saya tidak tahu tujuan dan arah besarnya mau kemana selain performance review tahunan.

Saya ingat di sekolah dulu ada papan bertuliskan 'Wawasan Wiyatamandala', sekolah kalian mungkin juga ada. Terus terang saya tidak ingat satu pun isinya karena tidak pernah dibahas dan dibicarakan. Agak berbeda ketika kuliah, ada kalimat yang mungkin diingat banyak mahasiswa:

supaya kampus ini menjadi tempat bertanya dan harus ada jawabnya. 

Kalimat yang terpatri di Plaza Widya Nusantara (PlaWid) ini ditulis oleh Prof Wiranto Arismunandar, mantan rektor ITB. Sebenarnya secara lengkap ada beberapa kalimat, tapi hanya satu itu yang paling saya ingat. Tentu diingat bersama tulisan di tugu sebelahnya: 'Sekali teman tetap teman', yang ini mungkin maksudnya solidaritas tapi malah sering dibercandai mahasiswa sebagai friendzone.

sumber: aryansah.wordpress.com


Walaupun mengingatnya, saya pribadi merasa kalimat itu terlalu berat untuk mahasiswa dan baru merasakan manfaatnya beberapa tahun setelahnya. Saya merasa dalam dunia profesional orang boleh tidak tahu tapi tidak boleh diam tanpa jawaban sama sekali. Yang diharapkan dari seseorang ketika mendapat pertanyaan atau tantangan adalah, ya jawaban. Entah itu bentuknya inquiry, target, request, atau apapun mesti ada jawabnya. Jika harus menjawab tidak tahu atau belum mampu memenuhi target yang ditetapkan, sebisa mungkin dapat menjelaskan kenapa, apa yang salah, dan apa yang bisa dilakukan supaya lebih baik lain waktu. 

Lagipula semakin menua semakin sadar bahwa yang dicari bukan kesempurnaan. Ini mungkin salah satu prinsip penting yang saya pelajari selama kuliah. Reasoning dan limit adalah hal yang banyak ditekankan terutama di semester-semester akhir. Beda dengan TPB yang banyak tugasnya mengejar nilai 100, di semester akhir-akhir justru ditunjukkan dunia nyata tidak bekerja seperti itu. Ada limit atas sesuatu: material akan patah pada batas tertentu, bahan bakar akan habis setelah jarak atau waktu tertentu, beberapa unsur tidak bisa disatukan, menambah fitur sama dengan menambah kerumitan dan biaya, etc etc. Pemahaman seperti ini di-drill terus menerus sampai terbiasa. Menurut saya inilah fungsinya universitas, membentuk cara berpikir dan menjawab. Saya yakin ini juga diajarkan di kampus-kampus lain, nggak ekslusif di tempat saya belajar. Yang saya syukuri adalah di ITB gagasan ini tertuang sampai level 'ideologi' berupa Plaza Widya Nusantara tadi.


Kembali ke bahasan buku The Culture Code dan isinya. Bagi kalian yang suka dengan karya Malcolm Gladwell seperti Blink, Outliers, dan Tipping Point, saya jamin cocok membaca buku ini. Risetnya sama mendalam, cara penyampaiannya serupa, hipotesisnya menarik, penarikan kesimpulannya bold, dan melibatkan riset di perusahaan dan tim ternama seperti Navy SEALs, San Antonio Spurs, sampai IDEO.

Tapi ada hal yang menurut saya kurang dibahas dalam buku The Culture Code ini. Jadi buku ini berbicara tentang faktor tak terlihat yang mendasari hubungan antar manusia dalam sebuah kelompok, faktor tersebut dinamai cue. Cue ini yang sehari-hari sering kita bilang sebagai kesan, chemistry, frekuensi, atau (se)kufu'. Penulis menjelaskan dengan baik apa itu cue tapi tidak cukup menjabarkan darimana datangnya cue ini. Apakah kesamaan suku dan bahasa? Apakah faktor pernah sekolah di tempat yang sama? Apakah karena kesamaan generasi/usia? Atau apa? Lalu saya juga tidak menemukan jawaban apakah 'warna' cue ini bawaan atau bisa kita ubah sesuai keadaan.

Terakhir tentang jargon dan motto. Kalau di Indonesia, corporate motto yang kena di saya adalah "Benar Sejak Awal". Sederhana banget kalimatnya tapi kalau dipikir baik-baik dan dilakukan semua orang efeknya bisa sangat besar bagi sebuah institusi: menghindari perulangan kerja, mengurangi koreksi yang tidak perlu, memastikan on-time delivery, menjaga kondisi mood team, dan pada akhirnya semestinya bisa meningkatkan performa.

Mari senantiasa belajar, semoga dimudahkan.
Sekian dan terimakasih..

Salam,
Chandra

Kill Them With Passes



Pertandingan kemarin sore melawan Brantford menandai dimulainya era Arne Slot di Anfield. Setelah 9 tahun tumbuh dalam asuhan Jurgen Klopp, kini Liverpool dinahkodai manajer baru yang bisa dibilang new kid on the block di kalangan manajer dan tim papan atas. Ada pertanda baik di mana Liverpool berhasil memenangi dua laga awal musim ini lawan Ipswich dan Brentford. Walaupun ujian sebenarnya baru datang akhir pekan nanti saat bertandang ke Man Utd. Namun setidaknya cara bermain Liverpool kemarin sungguh memberikan angin segar dan optimisme di tengah keringnya bursa transfer.

Sudah nampak perbedaan cara bermain Liverpool era Slot dan Klopp. Gegenpresing-nya Klopp masih ada jejaknya namun tidak se-hard core dulu. Kini serangan lebih banyak dibendung dengan overload di tengah bukan pressing di depan. Smart menurut saya karena menghemat energi dan semoga mengurangi potensi cedera, masalah yang selalu datang menghambat usaha jadi juara.

Kedua, yang lebih mencolok adalah perubahan cara build up dari bola panjang menjadi passing pendek. Dulu serangan Liverpool mengandalkan bola direct dari Trent, VVD, Robbo, bahkan Alisson langsung ke Mane dan Salah. Tapi kini Mane sudah pergi, Diaz jago gocek tapi larinya tidak sekencang Mane, sementara Salah sudah menua dan suka tidak suka melambat. 

Sekarang tampak serangan Liverpool dibangun step by step lewat tengah, hadirnya Szobo dan MacAllister memungkinkan ini dilakukan. Hasilnya Liverpool mencatat akurasi passing 92%, rekor tim dalam 20 tahun sejak statistik ini dihitung, dan itu dihasilkan di pertandingan resmi kedua Slot. Impressive! 



Apakah filosofi 'Kill Them with Passes' ini akan sukses? Kita lihat saja nanti. Tapi minimal apa yang diperlihatkan kemarin sangat menghibur, terutama di babak kedua. Liverpool bersama Slot tampaknya bergerak ke arah yang benar setelah di awal sempat muncul keraguan apakah ia cukup kuat untuk meneruskan nama besarJurgen Klopp.


YNWA,
Chandra

pict (1): @LFC

Perjuangan Mengumpulkan Syarat: Apostille



Dokumen yang akan digunakan di luar negeri perlu mendapat Legalisasi atau Apostille. Termasuk diantaranya adalah ijazah, akta lahir, buku nikah, SKCK, dokumen terjemahan, dokumen karantina, dan lain sebagainya. Legalisasi dan Apostille sendiri sebenarnya serupa tapi tak sama, tapi secara umum mayoritas negara di dunia sudah mensyaratkan Apostille, bukan hanya Legalisasi. Anda bisa cek di apostille.ahu.go.id, berdasarkan jenis dokumen dan negara tujuan, Anda akan tahu apakah yang dibutuhkan adalah Apostille atau Legalisasi. Dokumen yang sudah di-apostille akan dibubuhi sertifikat yang menyatakan keabsahan dokumen dan tanda tangannya, bentuknya seperti gambar di atas.

Dalam kasus saya, dokumen kependudukan (akta lahir saya dan istri) dan dokumen pernikahan (buku nikah) perlu di-apostille untuk digunakan di Belanda. Dua dokumen ini diperlukan untuk mengurus administrasi kependudukan dan mendapatkan BSN number. BSN number ini seperti NIK yang digunakan untuk membuka rekening bank, mendaftar asuransi, dan lain sebagainya. Setiap orang dengan keperluan berbeda punya kebutuhan yang berbeda pula. Sebagai contoh ijazah, apakah ijazah sudah bilingual? Apakah diminta apostille? Silakan dicek untuk kasus masing-masing.

Permohonan apostille diajukan secara online melalui apostille.ahu.go.id. Di sana kita akan diminta membuat akun menggunakan email dan NIK. Setelah akun sukses dibuat kita bisa mulai mengajukan permohonan sesuai jenis dokumen dan negara tujuan. Kita akan diminta mengisi data pemohon berupa nama, email, nomor telepon, jenis kelamin, alamat, NIK, tempat tanggal lahir, dan upload scan KTP. Lalu berikutnya kita diminta mengisi data dokumen seperti tipe dan jenis dokumen, nama dokumen, nomor, tanggal dokumen, jumlahnya, dan upload scan dokumen terkait. Lalu terakhir yang perlu diisi adalah data pejabat publik yang menandatangani dokumen kita dan kantor tempat kita akan mengambil hasil apostille nantinya.

Nantinya ketika permohonan diterima kita akan mendapat voucher untuk melakukan pembayaran. Biaya untuk satu sertifikat apostille adalah 150 ribu (contoh: jika mau meng-apostille 2 buku nikah maka dihitung 2 sertifikat). Setelah membayar kita bisa mengambil sertifikat apostille di Loket Apostille (Jakarta) atau di Kanwil seluruh Indonesia sesuai dengan pilihan pada saat pengajuan. 

Tapi tidak semudah itu kawan, pengajuan apostille akan ditolak jika ada satu saja entry yang salah. Nanti saya jelaskan lebih lanjut, sekarang masuk ke persyaratan dokumennya dulu. Note: kita baru membayar setelah verifikasi sukses, jika pengajuan gagal/tidak lengkap kita tidak bayar apapun.

Buku Nikah
Buku nikah saya terbitan tahun 2020 dan sudah bilingual Indonesia-Inggris, most likely punya Anda juga begitu jika kita seumuran, silakan dicek. Jika belum bilingual Anda punya satu tugas tambahan yaitu mencari penerjemah tersumpah.

Buku nikah pertama-tama perlu dilegalisir oleh KUA Kecamatan tempat buku nikah itu diterbitkan. Untuk melakukan ini Anda tinggal datang saja ke KUA Kecamatan mana Anda dulu menikah dengan membawa buku nikah asli dan fotokopinya. Saya kemarin perlu sekitar 15 menit saja untuk ini karena pejabat yang menandatangani juga ada di tempat. Proses ini tidak dipungut biaya.

Setelah itu dokumen asli dan fotokopi yang sudah dilegalisir dibawa ke Ditjen Bimas Islam Kemenag yang berlokasi di Jalan MH Thamrin Jakarta (bukan yang di Lapangan Banteng). Untuk kasus saya ini relatif mudah karena kebetulan beraktivitas di Jakarta dan hanya perlu naik ojol untuk menuju ke Kemenag. Tapi bersama saya kemarin ada beberapa orang dari luar daerah yang perlu datang ke Jakarta untuk mengurus ini (mungkin sekalian mengurus administrasi yang lain). Cukup salah satu antara suami atau istri yang datang, tidak perlu dua-duanya. Tidak ada biaya yang perlu dibayar dan prosesnya cepat. Pelayanan dokumen masuk sampai jam 12 siang, tapi saya sarankan datang lebih pagi supaya bisa langsung ditangani, saya kemarin datang jam setengah 12 jadi harus nunggu selesai makan siang hehe

Dokumen yang diserahkan dan dilegalisir adalah 2 buku nikah asli dan 3 fotokopi. Satu fotokopian disimpan sebagai arsip dan sisanya diserahkan kembali ke kita. Note: buku nikah ASLI juga dilegalisir (dicap lagi), nantinya justru yang asli ini yang terpakai dan perlu di-apostille. Setelah titik ini buku nikah sudah siap diajukan untuk apostille.


Akta Lahir
Perjalanan apostille akta lahir saya tidak semulus buku nikah. Sebabnya akta saya cetakan tahun 90an yang kertasnya masih kuning itu. Masalahnya bukan di jenis kertas atau font yang masih mesin ketik, tapi pada identitas pejabat penandatangan yang tidak ada di database Kemenkumham. Akibatnya Kemenkumham tidak bisa mengesahkan dokumen akta saya. Kalau mau saya harus datang ke dukcapil membawa surat pengantar dari Kemenkumham untuk meminta sampel tanda tangan pejabat tersebut. Tapi kan (1) saya jadi harus mudik, (2) pejabat yang tanda tangan kemungkinan besar sudah purna tugas, (3) bisa diganti dengan semacam pernyataan dari dukcapil tapi saya nggak yakin itu mudah. Sempat sedikit jengkel sama birokrasi karena kerumitan ini. Sementara itu akta milik istri pernah hilang atau apa sehingga dia buat lagi yang baru tahun 2000an, pejabat yang tanda tangan aktanya ada di database Kemenkumham.

Dari ngobrol-ngobrol saya dapat ide yang sepertinya lebih mudah dilakukan. Saya berpikir bisa nggak ya kalau saya (dan istri) cetak ulang akta baru model sekarang saja? Jika bisa ini akan menyederhanakan banyak masalah: akta baru sudah bilingual, bisa diprint sendiri, dan sudah ditandatangani secara elektronik. Ternyata cetak ulang bisa dilakukan dan bahkan saya nggak harus ke luar kota karena prosesnya bisa lewat aplikasi. Saya segera buat pengajuan online, lalu PDF akta baru saya terima hanya dalam beberapa hari saja. Pergantian akta ini sifatnya penukaran, jadi akta lama dikembalikan ke dukcapil.

Kini kami jadi punya akta bilingual elektronik. Nomor akta tidak berubah walaupun dicetak ulang. Dokumen elektronik jauh lebih mudah untuk di-apostille karena bisa diverifikasi keaslian dokumennya hanya dengan scan QR. Dengan ini akta lahir kami berdua juga siap untuk diajukan apostille.

Perlu Anda Tahu
Dokumen yang valid tidak serta merta menjamin pengajuan apostille diterima. Secara total saya melakukan lebih dari 20 pengajuan dari 2 akun, tentu lebih banyak yang gagal. Setiap pengajuan apostille akan melalui verifikasi selama 3 hari kerja (kadang lebih) dan jika gagal harus membuat pengajuan ulang dan menunggu another 3 hari, jadi antara Anda bisa one-shot atau siapkan waktu yang cukup (minimal 15 hari kalau mau nyaman).

Berikut penyebab pengajuan-pengajuan saya ditolak:
1. Tidak meng-upload dokumen asli, hanya fotokopinya. Awalnya saya tidak tahu bahwa pada setiap pengajuan ternyata bisa melampirkan lebih dari satu PDF.
2. Pejabat penandatangan tidak ada pada database Kemenkumham dan saya tidak menindaklanjuti sampai dengan 7 hari. Ini kasus dimana saya milih bikin akta baru tadi.
3. Pada apostille buku nikah, nama pejabat saya isi nama pejabat KUA Kecamatan, mestinya diisi nama pejabat tertinggi yang menandatangani yaitu dari Ditjen Bimas Islam Kemenag.
4. Salah tulis nama instansi, pada awalnya saya tidak baca FAQ.
5. Salah tulis jabatan, mestinya 'Pejabat Pencatatan Sipil Kabupaten XXX', saya hanya tulis 'Pejabat Pencatatan Sipil' dan itu disalahkan.
6. Tidak menyertakan surat kuasa saat pengajuan apostille akta lahir istri menggunakan akun saya, ternyata perlu surat kuasa jika nama di dokumen tidak sama dengan pemilik akun walaupun keluarga/satu KK.
7. Salah tulis jabatan penerjemah tersumpah, sebelum cetak ulang akta saya sempat translate akta lama dengan penerjemah.


Terlalu rumit menurut saya, bukan ide yang bagus menuntut penulisan sempurna sementara bentuk inputnya adalah FREETEXT. Orang yang dikejar waktu atau bapak ibu yang sudah sepuh dan tidak terbiasa mengoperasikan komputer kemungkinan bakal kesulitan. Pasti ada yang memanfaatkan ini untuk buka bisnis jasa apostille.

Lega sekali ketika akhirnya apostille kami goal setelah berkali-kali gagal, saya bayar via VA Mandiri, lalu mengambil sertifikatnya di Loket Apostille Kuningan City. Awas jangan salah dengan tempat pengurusan visa yang ramai di mall yang sama, apostille ini ada loketnya sendiri yang bernama Galeri Inovasi AHU. Antrinya tidak banyak sehingga beberapa menit saja keperluan di sini selesai. Tidak perlu mencetak bukti transfer karena di sistem pembayarannya sudah terkonfirmasi. Pegawai juga ramah dan helpfull, good experience.

Satu-satunya pain point dan bagian yang memakan waktu dari apostille ya mengisi form (harus sempurna) dan verifikasinya tadi itu. 


Tapi tetap, terimakasih Dukcapil, KUA, Ditjen Bimas Islam Kemenag, AHU Kemenkumham, Galeri Inovasi AHU, Kuningan City, RM Sederhana, Masjid Al-Hikmah Sarinah, teman-teman yang memberi info soal aplikasi Dukcapil, bapak ojek, mbak-mbak fotokopian, ibu resepsionis Kemenag, kurir JNE, bapak supir angkot, dan semua pihak yang tidak dapat saya sebut satu persatu.


Salam,
Chandra