Jakarta

Saya merasa punya unfinished business dengan Jakarta. Lima tahun tinggal di kota itu suasananya hanya kerja, kerja, dan kerja. Saya masuk ke Jakarta hanya satu hari sebelum hari pertama masuk kerja, lalu pindah dari Jakarta hanya empat hari setelah last day dari pekerjaan terakhir di sana. Di antaranya pun saya tidak pernah punya kesempatan libur yang cukup panjang untuk menikmati tempat ini. Saya juga tidak mengjalani masa 'muda' di Jakarta layaknya saya alami di Jogja dan Bandung. Saya tinggal di Jakarta tapi tidak hidup di Jakarta. 

Tempat-tempat, jalan-jalan, dan fasilitas yang ada di Jakarta lekat memorinya dengan suasana bekerja, yang artinya target, tekanan, frustrasi, meeting, dan Microsoft Teams. Saya tidak sempat meng-overwrite memori-memori itu dengan suasana lain yang lebih manis karena perpisahan dengan kota ini yang bisa dibilang buru-buru. Tentu ada weekend-weekend menyenangkan, makan-makan enak, jalan-jalan, camping, dan semacamnya, tapi itu hanya untuk mempersiapkan diri for yet another working week. 

Saya kadang mempertanyakan what it feels berada di Jakarta tapi bukan untuk bekerja. Bagaimana rasanya naik MRT untuk nongkrong ke blok M bukan untuk berangkat ngantor. Bagaimana rasanya naik KRL ketika jam kosong bukan jam orang berdesakan berangkat/pulang kerja. Bagaimana rasanya bermacetan di jalan tapi tetap santai karena tidak ada waktu yang dikejar. Bagaimana rasanya ke Ashta untuk main bukan untuk naik ke lantai 65. Bagaimana rasanya padel di hari Kamis siang lalu pulangnya makan nasi padang eksekutif. Bagaimana rasanya setelah jumatan tidak perlu buru-buru balik ke meja kerja. Bagaimana rasanya bisa ngopi sampai malam di tengah minggu tanpa perlu khawatir besoknya kesiangan. 

Maka dalam kesempatan pulang kali ini tempat yang ingin saya kunjungi bukanlah Bali, Komodo, Labuan Bajo, atau Raja Ampat, tapi Jakarta. Saya mau ke Jakarta di hari kerja. Saya mau melihat jakarta dari sudut pandang yang berbeda. Saya mau mengunjungi Jakarta sebagai pelancong (yang tahu jalan dan tempat, ini sangat membantu). Saya mau menikmati Jakarta di waktu dan kesempatan yang dulu saya tidak punya. Itu semacam misi pribadi yang mesti dituntaskan di liburan kali ini. Bahwa kemudian di Jakarta saya juga ketemu keluarga, teman, dan bisa menjajal makanan yang dikangenin atau dulu tak terbeli itu bonus. Tujuan utamanya adalah untuk mengalami yang belum saya alami di Jakarta. 



Kadang-kadang saya sampai mikir Jakarta owes me something. Selama di sana yang saya dapat adalah macetnya, polusinya, dan ruwetnya. Maka saya bersyukur kemarin sempat short escape empat hari ke Jakarta. Saya tidak membuat agenda yang terlalu padat, dalam beberapa kesempatan saya hanya strolling around, walking slowly, relaks menghabiskan waktu. Polusi tetep polusi, macet tetep macet, tapi setidaknya itu dijalani dengan mindset yang berbeda. Ternyata ini surprisingly refreshing, banyak hal baik tak terlihat selama ini karena hidup yang terburu-buru. 

Weekend berakhir? Muscle memory sepertinya masih mentrigger produksi hormon adrenalin pre-senin jadi ada sedikit rasa gatal. Gejala itu masih kicks in setelah ratusan minggu terbentuk pola yang sama bahkan ketika logically tahu hari senin tidak seseram itu. Butuh kesadaran untuk memaksa diri untuk tenang dan whisper bahwa besok masih libur. Ini adalah libur terpanjang yang pernah saya alami selama bekerja, bahkan jika dibandingkan beberapa momen lebaran. Jadi sudah barang tentu saya ingin nantinya mengakhiri liburan ini dengan badan dan pikiran yang fully refreshed, dan Jakarta jadi salah satu komponen penting liburan kali ini.


Lucu juga kalau ingat dulu Jakarta adalah kota impian sejak SMA dan kini sudah jadi masa lalu (masa depan balik Jakarta lagi? who knows). Ini adalah kunjungan singkat yang menyenangkan ke Jakarta. Tapi ternyata tetap tidak mungkin menghapus memori-memori yang telah lalu, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah membungkusnya dengan memori dan kesan baru yang lebih baik. Karena saya ingin di masa depan yang saya ingat dari Jakarta adalah baik-baiknya saja.

Semua terekam tak pernah mati
Semua terekam tak pernah mati

Chandra

Schiphol


Saat jalan menuju gate di bandara Schiphol kemarin, mata saya menangkap banner dari ING ini. Saya merasa relate dengan grafis ini karena beberapa tahun yang lalu punya hobi 'jalan-jalan' via google street view. Salah satunya saya tuliskan di sini, di mana saya eksplor street view di negara-negara bagian di US. Saya belum sampai ke Amerika saat ini, tapi Belanda sebagai gantinya ya no complaint. 

Overall 15 bulan terakhir crossing the border has been a journey. Mengingat ke belakang, kami melalui beberapa hal yang kalau diingat ada gila-gilanya. Berasa nyemplung ke kolam yang tidak tahu di dalamnya ada apa lalu mikir kok dulu berani ya. Sejak kebutuhan paling dasar, kami harus memilih apartemen without barely know the city and the streets. Bagaimana kalau ternyata tempatnya seram atau berbau aneh? Apakah landlordnya amanah? Apakah tetangganya menerima kami sebagai pendatang? Apakah lingkungannya aman untuk imigran? Kalau terjadi sesuatu dan harus cari akomodasi dadakan jelas susah dan mahal. Ternyata setelah sampai tempatnya justru terlalu bagus dan letaknya telak di pusat kota. Setelah tahu lokasi kami pindah ke hunian lain yang lebih pas dan justru dapat harga lebih terjangkau.

Saat pertama kali masuk swalayan Albert Heijn saya baru tahu bahwa supermarket tidak selalu ada kasir manualnya, beruntung kartu BCA yang saya bawa bisa dipakai bayar di mesin. Banyak hal baru yang harus secepat mungkin dipelajari bahkan saat kami masih kesulitan memahami banyak instruksi karena kendala bahasa: cara naik kereta, cara nyegat bis, cara registrasi nomor HP, cara beli furnitur, bahkan cara buang sampah yang juga diatur pemerintah. Kami berusaha menavigasi makanan halal ketika belum tahu terjemahan komposisi di kemasannya. 

Saya datang ke showroom mobil bekas tanpa pernah sekalipun sebelumnya bawa mobil setir kiri. Durasi setengah jam yang dikasih untuk test drive adalah waktu yang saya pakai untuk belajar nyetir pertama kali. Tentunya saya tidak tunjukkan pada salesnya bahwa saya gugup, dia tahunya saya punya SIM (kebijakan visa memungkinkan menukar SIM Indonesia dengan SIM Belanda tanpa tes). Kami berusaha secepat mungkin memahami rute transportasi umum dan cara bayarnya. Suatu hari kami pernah salah naik kereta sehingga sampai rumah dini hari. Pernah juga dimarahi sopir bis karena kami mencet tombol stop terlalu cepat padahal masih kurang satu halte. Bis berhenti di halte pertama dan membuka pintu tapi tak ada yang turun. Bis berhenti lagi di halte berikutnya lalu kami turun, sopir berkata dengan nada agak tinggi "next time say sorry!". Sejak itu saya paham untuk jangan diem-diem bae dengan Dutchies, mereka sangat direct dan suka keterbukaan bahkan kalaupun itu pahit. Say thanks, say sorry, etc to the face.

Kami datang membawa paspor sebagai identitas dan visa sebagai ijin masuk. Tapi kami belum punya KTP, belum punya rekening bank, belum punya SIM, belum punya asuransi, belum terdaftar di fasilitas kesehatan, belum tahu cara bayar pajak, dan surat-menyurat sebagian besar dalam bahasa Belanda. Saya punya perjanjian kerja, tapi belum tahu hukum ketenagakerjaan di sana seperti apa, apakah akan langsung terima gaji sejak bulan pertama? 

Di sana tidak ada saudara yang berprofesi sebagai dokter, aparat, dan lainnya. Kenalan dari Indonesia baru 2 orang itupun jauh di kota yang berbeda. Safety net sangat tipis tapi alhamdulillah 15 bulan pertama berjalan tanpa major issue. Last time saat sakit flu kami sudah kehabisan obat flu, sementara dokter Belanda terkenal konservatif dalam meresepkan obat dan biasanya hanya ngasih paracetamol. Beruntung ada tetangga masih punya stok obat yang dibawa dari Indonesia. Silaturahmi menambah rejeki dan memperpanjang umur itu beneran kerasa ketika di tempat yang asing.

Tidak banyak tahu apa yang akan dihadapi justru menghindarkan diri dari kekhawatiran yang berlebihan. Have a faith saja sambil jalani hari ke hari. Lama-lama things are getting figured out, kenalan makin banyak, datang ke kantor tidak lagi terasa kerja bareng bule, tulisan-tulisan berbahasa Belanda makin bisa dipahami, pikiran bukan lagi untuk survive tapi bagaimana caranya happy. Awal-awal mau makan saja mikir apa yang doyan, bisa dimasak, dan aman (halal). Sedangkan minggu-minggu sebelum pulang mikirnya sudah milih mau raket padel yang mana.

Satu tahun plus ini masih sebentar dibandingkan banyak diaspora Indonesia lain. Kami masih bersemangat untuk lanjut lagi. Liburan kali ini adalah pitstop untuk recharce baterai sekaligus supaya tidak lupa asal. Tracing root, finding home.



Chandra

Padelisme


Saya pernah nulis bahwa obrolan di lapangan badminton malam-malam selesai kerja lebih berbahaya daripada obrolan di ruang rapat. Di sana gosip-gosip underground bermunculan, informasi yang tidak semua orang tahu dibagikan, dan hal-hal yang tabu di forum resmi bisa dibicarakan. Agenda seperti ini adalah forum berharga, kalau pejabat dan pengusaha lobi-lobinya di lapangan golf, anak muda ngobrolnya di lapangan badminton.

Bahkan olahraga yang sama di tempat yang sama akan berbeda rasanya antara dilakukan malam-malam dan akhir pekan. Olahraga pagi weekend itu untuk cari keringat biar sehat, tapi olahraga malam setelah bekerja adalah untuk blowing off some steam. Maka sepengelihatan saya orang jadi lebih banyak ngomong dan terbuka. Pukulan mawut-mawut nggak masalah, yang penting pikiran plong dan pulang bisa tidur nyenyak. Apalagi seringnya selesai main masih mampir warung dulu menyelesaikan obrolan.

Saat di Bandung dan Jakarta dulu GOR sering full disewa di hari kerja jam 7-10 malam. Itu primetime-nya orang-orang pulang kerja menjalankan aktivitas olahraga seminggu sekali. Di jam-jam ini banyak first-timer yang main. Tapi nggak masalah toh tujuannya have fun bukan cari keringat. Kalau mau beneran olahraga mainnya minggu pagi bareng bapak-bapak angkatan Liem Swie King yang sampai sekarang masih belum move on dari sistem 15 poin dan pakai pindah bola.

Saat pindah dari Jakarta tahun lalu musimnya masih badminton, mini soccer mulai muncul tipis-tipis, tapi padel mungkin baru viral di Bali. Saat sekarang padel boom-nya gila-gilaan, itu nular ke diaspora Indonesia di Belanda. Saya selama ini kesulitan menemukan komunitas badminton yang English-based, eh malah ketemu grup padel yang isinya orang-orang Indonesia seumuran. Berbasis ini temennya ini, ini satu kantor sama ini, ini ketemu di pengajian, dll networknya ternyata jadi besar dan saya ketarik ke dalamnya.


Ternyata susah adaptasi dari badminton ke padel, apalagi buat saya yang belum pernah main tenis sebelumnya. Bola yang bisa mantul ternyata sangat berbeda dengan shuttlecock. Cara mukulnya juga jadi beda, badminton banyak pakai wrist, sementara padel lebih cocok pakai bahu. Baru di pertemuan kedua saya bisa sekedar pede untuk mukul, untuk bisa nge-trik butuh main lebih banyak lagi. Untungnya karena ini olahraga 'baru' jadi banyak first-timer yang juga baru masuk. 


Padel sudah banyak dimainkan di Belanda sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi sekarang ikut naik juga dengan adanya tren ini walaupun tidak semeledak itu. Di setiap kota ada lapangan padel, ada satu tempat di Arnhem yang cukup unik di mana bangunan bekas gereja disulap jadi lapangan padel lalu dinamai Holy Padel lol. Decathlon jual raket padel dari yang basic sampai yang serius. Di marktplaats juga banyak orang jual raket second.

Grup padel yang saya ikuti biasa main di Utrecht karena kota ini lokasinya central dan banyak anggotanya tinggal di sekitar sana. Grup ini memang tidak berbasis co-worker, tapi karena sesama orang Indonesia dan seumuran tetap banyak yang bisa dirasani: pemerintah Indonesia, isu imigran di Belanda, info tempat tinggal, destinasi liburan, ngrasani atasan, dan lain sebagainya. Main weekday dapatnya slot jam 10 malam, selesai setengah 12, lalu perjalanan pulang 1 jam. Sampai rumah sudah ganti hari dan ngantuk, tapi agenda untuk minggu depannya sudah dibuka lagi di aplikasi Reclub.

Chandra






Kotak-Kotak Lampu Merah

Saya dulu penasaran dengan kotak-kotak yang ada di depan lampu merah ini. Ketika aspalnya sedang kering terlihat permukaan jalannya seperti diiris. Awalnya saya pikir ini adalah bagian dari proyek galian, mungkin bukaan supaya mudah mengakses sesuatu di bawahnya seperti kabel atau pipa. Tapi saya perhatikan kok ada banyak sekali hampir di setiap traffic light, bentuknya seragam, dan rapi.






Di sisi yang lain, saat mulai menyetir saya menangkap indikasi bahwa lampu lalu lintas di sini bekerja secara adaptif. Saat berkendara larut malam atau pagi hari ketika jalan masih sepi, saya sering mendapat lampu hijau berturut-turut. Bahkan kadang meskipun saat approach masih merah, beberapa meter menjelang persimpangan tiba-tiba lampu berubah jadi hijau semua seolah tahu ada yang datang. Awalnya saya pikir ini kebetulan belaka. Tapi setelah terjadi berulang kali saya yakin ada sistem yang bekerja. Saya coba cari barangkali ada kamera yang melihat dari mana mobil datang atau bagian mana yang antrenya sudah panjang sehingga komputernya dapat mengatur mana yang harus dikasih hijau. Tapi kamera itu tidak saya temukan.

Akhirnya saya menyadari bahwa dua hal di atas berhubungan. Cara sistem traffic light mengetahui adanya kendaraan adalah dengan alat yang ditanam menjadi kotak-kotak tadi. Saya baru tahu yang namanya inductive loop. Jadi di permukaan jalan itu ditanam sebuah rangkaian yang menghasilkan medan induksi. Ketika ada obyek di atasnya berupa kendaraan, medan induksi ini akan terganggu dan gejala ini ditangkap oleh sensor. Dengan begitu secara akurat, reliable, dan tidak perlu banyak maintenance sistem tahu di mana ada kendaraan. Sistem ini tampak jauh lebih sederhana dan robust daripada kamera dengan image processing.

Gambar di bawah adalah ilustrasi komponen inductive loop. Sumbernya dari karya ilmiah berikut: Researchgate

Setelah tahu cara kerjanya, saya menyadari bahwa keberadaan kotak-kotak ini lebih banyak dari yang saya kira sebelumnya. Semakin besar dan rumit persimpangannya, biasanya semakin banyak pula kotaknya. Di sebagian traffic light kotaknya memanjang ke belakang, saya duga ini untuk mengetahui berapa banyak kendaraan yang antre. Kadang di highway juga ada, kemungkinan untuk menghitung jumlah kendaraan yang lewat. Frekuensi gangguan medan induksi = debit kendaraan, simpel dan akurat. Inductive loop juga bisa dipakai untuk mengetahui panjang kendaraan dan sebagai sensor kecepatan.

Teknologi ini efektif digunakan di tempat yang mayoritas pengguna jalannya adalah kendaraan roda empat atau lebih. Dengan begitu disrupsinya lebih bisa diprediksi dan tidak terlalu random. Meski begitu tidak jarang jalur sepeda juga dipasang sistem ini. Memadukan informasi dari jalur utama, lijn bus, jalur sepeda, dan pelican crossing untuk pedestrian, inductive loop mengambil keputusan mana yang dikasih jalan duluan.


Sistem ini menjadikan pengendara tidak banyak membuang waktu menunggu lampu merah berganti hijau. Prinsipnya kalau sudah aman untuk jalan silakan jalan. Bahkan jika memang tidak ada kendaraan yang menunggu di salah satu sisi, tidak perlu memberi giliran hijau untuk sisi tersebut. Lampu lalu lintas yang berdekatan juga jadi bisa diprogram sehingga kalau dapat hijau di lampu pertama, lampu kedua dan seterusnya juga akan hijau untuk meminimalkan stop and go. Berkendara jadi lebih efisien dan intuitif.

Karena sistemnya adaptif, lampu lalu lintas tidak lagi perlu dilengkapi papan LED hitung mundur.  Rotasi giliran jalan pun tidak tentu, tidak melulu counter-clockwise misalnya. Walaupun di sisi lain ini menuntut driver untuk selalu siap jalan, apalagi dengan kebiasaan menyetir orang sini yang kalau hijau harus maju sesegera mungkin, kalau perlu saat berhenti siap di gigi satu. 


Karena sistemnya tahu ada berapa kendaraan yang antre, lampu hijau biasanya hanya akan diberikan secukupnya sampai antrean habis, tanpa menunggu ada kendaraan lain datang (kecuali di perempatan besar yang mestinya ada durasi minimal). Jadi kalau kita berada di posisi paling belakang, sebelum melewati garis kadang lampu sudah berubah jadi kuning (karena sesegera mungkin di-merah-kan, biar yang lain bisa segera jalan, efficiency). Was-was juga jika dapat lampu kuning seperti ini karena takut tiba-tiba jadi merah sebelum kita selesai lewat.


Untuk membayangkan seberapa ekstensif teknologi ini diterapkan, semua foto di atas kecuali satu yang terakhir, saya ambil hanya dari satu lokasi. Sistem inductive loop ini adalah satu dari banyak teknologi yang ada di jalan raya. Pada akhirnya tujuan utamanya adalah memaksimalkan flow dengan tetap menjaga keselamatan. Teknologi seperti ini membantu mengurangi hambatan sehingga waktu tempuh bisa cepat tanpa perlu ngebut. 

Chandra

Kramp Run Varsseveld

Alhamdulillah, event lari pertama seumur hidup terlaksana sudah lewat Kramp Run Varsseveld 2025.



Varsseveld adalah sebuah kota kecil di provinsi Gelderland, lokasinya sudah dekat perbatasan Belanda-Jerman. Meskipun kotanya kecil dan populasinya tidak banyak, kota ini jadi kawasan industri dan pergudangan terutama di bidang agriculture dan bisnis penopangnya. Ada beberapa perusahaan beroperasi di Varsseveld, tapi Kramp jadi synonimous dengan kota ini karena perusahaan ini asli berasal dari Varsseveld. Tahun 1951 Johan Kramp mendirikan bisnis sparepart dan alat-alat pertanian di tempat ini sebelum berekspansi ke wilayah dan negara lain di Eropa.

Kramp Run adalah event lari yang tahunan diselenggarakan di pusat kota Varsseveld. Ada beberapa kategori lari: Kids Run 1km, Jeugd (youth) Run 2km, Recreanten (fun) Run 5km, Business Run 5km, dan Top Run 5km. Course-nya memang tidak panjang, hanya di sekitar centrum Varsseveld. Yang menarik justru untuk Recreanten Run dan Business Run rutenya melewati gudang milik Svedex dan Kramp, dua perusahaan besar yang ada di sana. Di dalam gudang peserta lari sambil disuguhkan musik dan permainan lampu, sangat Dutch sekali. Meskipun ini event lari kecil, tapi untuk result tetap pakai professional equipment sehingga catatan waktu yang didapat akurat.


Acara dimulai dengan lari anak-anak dan remaja. Dikenal sebagai negara dengan bocah paling fit karena sering beraktivitas di luar ruangan dan bersepeda, anak-anak Dutch ini memang kelihatan sehat: lean, kakinya panjang, tegap, dan jauh dari obesitas. Beberapa anak masih sangat kecil sehingga lari sambil digandeng orang tuanya, tapi tetap saja impresif bisa lari sampai 1 km. Beberapa yang sudah agak besar tampak kompetitif dan memang larinya kencang. 

Setelah itu giliran Recreanten Run dan Business Run start bareng sehinggga starternya paling banyak. Rute dan aturannya sama, bedanya hanya untuk Business Run peserta mendaftar secara berkelompok (umumnya mewakili bisnis/kantornya) lalu di akhir catatan waktunya di-average. Sementara Recreanten Run berlari sebagai individu seperti biasa, saya ikut yang ini. Nanti terakhir ada Top Run di mana yang ikut rata-rata atlet  yang larinya kencang dan memperebutkan hadiah yang serius. Beberapa peserta berasal dari luar daerah bahkan luar negeri.

Saya belum pernah ikut event lari, jadi belum pernah pakai bib dan dapat medali finisher sebelumnya. Lari di Kramp Run ini seperti pertandingan home, lari in our own backyard. Meskipun saya mendaftar perseorangan, di sana saya ketemu beberapa familiar faces yang sering saya lihat di tempat kerja. Sebelumnya saya sudah 2 kali lari di Varsseveld untuk nyoba medan, terakhir seminggu yang lalu. Tapi tetap saja ketika akan mulai ada sedikit grogi. 

Event lari pertama, langsung di Varsseveld, disponsori Kramp, bersama para Dutchies, dan personal best 5k, what an experience. Alhamdulillah.


Salam,
Chandra

Tuhan Tahu Tapi Menunggu

InterNations Expat Insider survey kembali merilis laporannya di tahun 2025 ini. Survey yang mereka lakukan bertujuan mengetahui seberapa bersahabat sebuah negara terhadap ekspat atau pekerja asing. Parameternya ada banyak: Quality of Life, Ease of Settling In, Working Abroad, Personal Finance, dan Expat Essentials. Respondennya lebih dari 10 ribu ekspat dari 172 kewarganegaraan yang tersebar di seluruh penjuru dunia.

Aspek yang dilihat cukup luas sehingga untuk mendapat peringkat tinggi tidak semata-mata hanya dilihat dari majunya ekonomi atau tingginya standar hidup sebuah negara. Justru pendekatan yang dilakukan lebih praktikal dan dilihat dari sudut pandang ekspat itu sendiri dengan segala kebutuhannya. Jadi instead of dikuasai oleh negara Eropa, Nordics, US, atau Asia Timur, ini adalah 10 besarnya tahun ini:


Panama jadi pemuncak klasemen dua tahun berturut-turut. Sementara Thailand, Vietnam, Indonesia, dan Malaysia bertengger di 10 posisi teratas. Ini karena yang dilihat bukan besarnya GDP atau banyaknya ekspat yang sudah menetap, tapi lebih dari 'seberapa mudah jadi ekspat di negara ini?'. Keramahan penduduk, hospitality, dan biaya hidup terjangkau di negara-negara Asia Tenggara sangat signifikan mendorong peringkat mereka. Faktor-faktor itu menjadikan mudah bagi orang asing untuk menetap di sana.

Asia Tenggara terkenal dengan gonjang-ganjing politiknya, tapi sebagai ekspat saya merasakan bahwa tidak mudah untuk menangkap semua gejala politik yang terjadi di negara tempat menetap karena perbedaan bahasa dan jarak dengan komunitas umum. Jadi kalau yang ditanya adalah ekspat yang kerja di Treasury Tower dan tinggal di Residence 8 SCBD saya bisa membayangkan pandangannya agak bias ke arah positif. 


Di sisi lain Belanda meskipun sudah naik banyak masih tertahan di posisi 22. Di satu sisi peringkat Belanda bagus dalam hal work culture dan digitalisasi. Saya merasakan ini di mana budaya kerja orang Belanda yang tidak ngoyo dan tidak ingin pekerjaan jadi satu-satunya fokus. Keluarga adalah pusat kehidupan dan mereka sangat menghargai ini. Selain itu budaya volunteering dan keterlibatan dalam aktivitas sosial dan olahraga juga tinggi. Saya punya kolega yang terdaftar sebagai pemain sepakbola profesional di klub kasta bawah Liga Belanda. Suatu hari dia ijin kerja karena kena groin injury setelah bertanding. Jadi kalau ada yang bilang MU kalah lawan part time plumber itu ya bisa jadi benar wkwk

Digitalisasi juga jadi faktor pendorong naiknya peringkat Belanda. Berbagai sistem sudah terintegrasi sehingga mempermudah dan mempercepat proses berbagai urusan. Seamless dan almost paperless. Waktu pertama kali datang dan belum mengurus apapun, kartu BCA yang saya bawa dari Indonesia sudah bisa dipakai untuk belanja dan naik transportasi umum. Setelah jadi penduduk kita punya yang namanya DigId, sistem authenticator tunggal yang sangat memudahkan untuk log in dan mengakses semua layanan digital pemerintah.

Tapi di sisi lain ada yang memberatkan misalnya healthcare. Jumlah migran yang semakin banyak tidak diimbangi dengan naiknya kapasitas dokter umum alias huisart/GP (general practicioner). Sebabnya bidang kesehatan susah untuk dimasuki para migran sehingga terlalu banyak calon pasien untuk jumlah dokter yang terbatas. Akibatnya sulit untuk menemukan GP yang masih punya kuota untuk didaftari. 

Kendala lain adalah housing market yang semakin ketat. Efeknya harga sewa dan beli semakin mahal dan pesaingnya ketika house hunting semakin banyak. Ekspat yang belum bisa bahasa Belanda tentu berada dalam disadvantage ketika bersaing mencari hunian. Pertumbuhan penduduk (banyak dikontribusikan migrasi) terjadi terlalu cepat dan tidak diimbangi kecepatan pertambahan jumlah perumahan. Pertambahan 1 juta penduduk karena migrasi tentu beda dengan pertambahan 1 juta penduduk karena kelahiran dalam hal nge-strecht kapasitas hunian. 

Satu hal lagi yang jadi penghambat bagi ekspat adalah integrasi sosial. Orang Belanda itu ramah dan tidak rasis. Mereka sudah terbiasa melihat orang dengan warna kulit atau cara berpakaian berbeda, terutama di kota-kota besar. Dalam berbicara mereka juga adalah penutur bahasa Inggris yang sangat baik dan mudah dimengerti. Tapi sulit bagi pendatang untuk masuk ke sirkel pertemanan mereka, mereka agak tertutup untuk menerima orang baru dekat-dekat. 

Walaupun bisa English, ketika ngumpul di antara sesama mereka mereka akan pakai Dutch. Even ketika ada satu dua orang asing, they don't bother switch ke English atau minimal memelankan cara bicaranya, lanjut saja walaupun kita sebagai pendengar roaming parah. Saya cukup yakin mereka tidak berniat buruk menjadikan para pendatang ini outsider, hanya saja itu nyamannya dan kebiasaan mereka. 

Ini seperti kebiasaan orang Jawa yang kalau melingkar dengan sesamanya suka pakai bahasa Jawa bahkan ketika di situ ada yang tidak bisa berbahasa Jawa. Harus diakui saat kuliah saya sering tanpa sadar melakukan ini. Nggak ada niat jahat, cuma ini otomatis setingannya begitu. Sekarang saya paham rasanya teman-teman Jakarta dan luar Jawa ketika berada pada posisi yang cuma bisa senyum-senyum kecut tanpa tahu apa yang dibicarakan.

Tuhan tahu tapi menunggu - Edensor (Andrea Hirata)

Laporan lengkap Expat Insider: Survey Report

Thanks,
Chandra

Bendera Setengah Tiang

Nothing to see here, too many heartbreaking news happening since yesterday. Kalau dalam situasi ini masih ada yang bilang 'gak mau ikut-ikutan politik' bisa dipastikan dia ada di posisi menikmati. Satu korban terlalu banyak, cara aparat menghandle situasi sangatlah buruk. Aparat boleh bersiasat, mereka dilatih untuk itu. Tapi menabrak warga dengan rantis lalu melindasnya adalah hal yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun! Ini belum bicara pembatasan paksa media, skenario false flag, dan tidakan kekerasan lainnya termasuk pada medis dan relawan.

Penyelenggara pemerintahan masih sangat sombong. Video permintaan maaf itu levelnya orang yang nguntit coklat di minimarket bukan pejabat yang membuat kebijakan secara serampangan dan membiarkan nyawa melayang di jalanan. Dengan apa yang terjadi sekarang, seminimal-minimalnya harus ada yang menyatakan mundur. Tapi kenyataannya nihil, belum ada satupun pejabat yang resign. Saya pribadi sudah sama sekali tidak merasa ada ikatan dengan DPR yang katanya wakil rakyat. Ketika anggaran untuk masyarakat kena potong mereka justru nambah tunjangan. Ketika situasi sedang sensitif mereka malah joget-joget dan mengeluarkan statement jelek.


Saya nggak bisa berkontribusi banyak, hanya berusaha bantu share dan repost segala tuntutan, liputan, dan suara-suara di media sosial. Terimakasih para tokoh, public figure, dan creator yang telah memudahkan kami untuk menggaungkan suara perlawanan ini. Tentu yang dimaksud adalah mereka yang lurus bisa berpikir dengan hati nurani, bukan yang bisa dibayar untuk memanipulasi dan memperkeruh keadaan. Terimakasih untuk warga yang dengan lincahnya merekam dan melaporkan apa yang sedang terjadi di sekitarnya. 

Sejauh saya bermedia sosial, belum pernah rasanya ada gaung sebesar ini dalam menyuarakan perlawanan pada pemerintah. Di twitter update perkembangan situasi di berbagai kota menutup info bursa transfer menjelang deadline day. Di instagram post dan template dengan konten darurat dishare ribuan kali saking banyaknya yang relate dan merasa terwakili.

Belum pernah saya semarah ini (sekaligus sebangga ini dengan warga) melihat apa yang muncul di timeline. Yakin tidak ada yang sia-sia, tanpa diakui pun eskalasi semacam ini sudah pasti membuat pemerintah takut. Apalagi kini beritanya sudah tersebar luas di mancanegara, mengekspose ketakutan pemerintah yang selalu ingin dianggap sebagai negara yang besar padahal dalamnya keropos.

Stay safe untuk teman-teman yang ada di lapangan. Take care, keluarga menunggu di rumah. Meanwhile brigade dunia maya, tetaplah ribut.

Chandra